Latar belakang permasalahan



Yüklə 92,23 Kb.
tarix20.09.2017
ölçüsü92,23 Kb.
#1105


PENGELOLAAN TANAH PECATU DESA DI KABUPATEN LOMBOK TENGAH SETELAH PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI KELURAHAN

(Pendekatan Teori Sociological Jurisprudence dan Mazhab Sejarah)



  1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Kebijakan Pemerintah Daerah yang paling sering menyisakan permasalahan adalah kebijakan untuk merubah status desa menjadi kelurahan karena terhadap hal ini akan berkaitan dengan keberadaan aset desa antara lain berupa tanah kas desa (tanah pecatu desa)1 yang cenderung menimbulkan konflik pengelolaan antara Pemerintah Daerah dengan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat setempat, mengingat kenyataannya pada waktu ini di banyak daerah masih terdapat tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat. Dengan demikian, kebijakan tersebut haruslah memperhatikan dan menghargai kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat2 yang hidup.

Berangkat dari uraian di atas, paling tidak ada tiga alasan dalam penelitian ini perlu dilaksanakan. Pertama, kebijakan Pemerintah Daerah dalam merubah status desa menjadi kelurahan masih dirasakan belum memberikan kepastian dalam rangka untuk melindungi dan menghormati nilai-nilai budaya dan adat istiadat serta hak-hak masyarakat hukum adat khususnya bagi eksistensi tanah pecatu desa yang diyakininya sebagai hak komunal masyarakat adat atas tanah.

Hak-hak masyarakat adat dalam konteks ini adalah:

“hak kolektif sebagai masyarakat hukum adat sebagai komunitas antropologis, masyarakat hukum adat yang mempunyai hak kolektif, yang diperlukannya maupun untuk membangun dan mengembangkan potensi kemanusiaan warganya untuk mencapai taraf kesejahteraan yang lebih tinggi, terutama hak atas tanah ulayat”.3

Perubahan desa menjadi kelurahan selalu dipersepsikan sebagai bagian dari bentuk pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat, walaupun secara tegas dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 pasal 5 ayat (1) secara eksplisit berbunyi “desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa pemerintah desa bersama BPD dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat setempat”.4 Namun dalam menjalankan kewenangan tersebut pemerintah daerah wajib mengakui dan menghormati asal usul, adat isitiadat dan social budaya masyarakat setempat karena terhadap perubahan tersebut akan berimplikasi kepada kekayaan desa akan beralih menjadi kekayaan daerah yang dikelola oleh kelurahan sebagaimana di tentukan dalam pasal 6 ayat (1). Kekayaan desa sebagaimana disebutkan tadi termasuk didalamnya adalah tanah pecatu desa

Kewenangan ini juga sering dimaknai sebagai usaha yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengembangkan daerahnya dengan kebijakan sendiri sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat dengan pelibatan secara aktif masyarakat adat dan penduduk setempat sebagai pihak yang paling berkepentingan dalam pembuatan kebijakan pemerintah daerah. Dalam konteks kebijakan perubahan desa menjadi kelurahan tentunya pemerintah daerah harus memperhatikan dasar filosofis, yuridis dan sosiologis manakala kebijakan tersebut terbentuk dalam sebuah produk hukum5.

Dasar filosofis dimaksudkan menjadi dasar cita-cita hukum ideal sewaktu menuangkan suatu masalah ke dalam peraturan perundang-undangan. Dasar filosofis sangat penting untuk menghindari pertentangan peraturan perundang-undangan yang disusun dengan nilai-nilai yang hakiki dan luhur di tengah-tengah masyarakat, misalnya etika, adat, agama dan lain-lain. Kemudian dasar yuridis merupakan ketentuan hukum yang menjadi dasar bagi pembuatan peraturan perundang-undangan. Dasar yuridis ini sangat penting untuk memberikan pijakan pengaturan suatu peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi konflik hukum atau pertentangan hukum dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Sedangkan dasar sosiologis mengkaji realitas masyarakat yang meliputi kebutuhan hukum masyarakat, aspek sosial ekonomi dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang (rasa keadilan masyarakat). Hal ini dimaksudkan untuk menghindari tercerabutnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dari akar-akar sosialnya di masyarakat. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang setelah diundangkan kemudian ditolak oleh masyarakat, merupakan cerminan peraturan perundang-undangan yang tidak memiliki akar sosial yang kuat.

Kedua, implikasi perubahan desa menjadi kelurahan terhadap budaya hukum masyarakat dan adat istiadat cenderng diabaikan bahkan dipandang hanya sebagai dampak sederhana dari sebuah kebijakan, padahal apabila mencermati masyarakat desa masih diidentifikasi sebagai masyarakat yang masih mempertahankan tatanan lama, tradisi dan adat istiadatnya manakala berubah menjadi kelurahan cenderung hal-hal yang dipertahankan tadi akan berangsur-angsur hilang.

Hal ini memperlihatkan bahwa bagaimana hukum Negara mengalami konflik dengan hukum lokal dan ancaman bagi keberlangsungan nilai-nilai budaya masyarakat serta kecenderunannya adalah seringkali kehadiran hukum Negara menggerus tatanan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Disini hukum Negara masih melihat masyarakat sebagai objek pengaturan hukum oleh karena hukum yang dibentuk didasarkan pada kepentingan Negara semata yang mengabaikan kepentingan masyarakat. Penghalusan dari sociological jurisprudence yang dipopulerkan oleh Mochtar Kusumatmaja bagaimana hukum itu merekayasa (engineering) masyarakat ternyata memaksa prilaku masyarakat untuk diubah melalui rekayasa social yakni melalui hukum Negara masih belum mampu memberikan penyelesaian yang memadai. Namun apakah rekayasa (engineering) tersebut akan memliki nilai baik bagi masyarakat.

Ketiga, pengelolaan tanah pecatu desa setelah berubah menjadi kelurahan belum memiliki dasar pengaturan yang jelas dalam peraturan perundang-undangan serta belum adanya kesamaan persepsi tentang tanah pecatu desa baik sumber-sumber tanah pecatu maupun dalam hal pengelolaannya. Disini perlu dilakukan penelitian dan penentuan masih adanya tanah pecatu dengan mengikut sertakan pakar-pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada.

Apabila dilihat dari sumbernya paling tidak tanah pecatu itu bersumber dari , pertama Tanah Pecatu Pusaka berasal dari tanah pusaka milik pekasih pamong desa sendiri, dijadikan tanah pecatu dengan maksud untuk menghindar dari pajak. Kedua Tanah Pecatu Medar dapat berasal dari tanah Negara yang dijadikan tanah pecatu, pembelian tanah rakyat oleh pemerintah, dan dapat pula berasal dari pembelian anggota masyarakat dalam lingkungan desa tersebut. 6

Konsepsi terhadap tanah pecatu yang demikian belum jelas akan berpengaruh pada cara penanganan permasalahanya oleh karenanya pertanyaan mendasar yang sering dilontarkan adalah apakah tanah pecatu dapat dipersamakan dengan tanah ulayat7, terhadap pertanyaan ini paling tidak akan dapat mengurai dasar pengaturan tanah pecatu itu sendiri.

Bilamana mencermati konsepsi perlindungan hak ulayat yang sudah diatur dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa:

“negara mengakui dan menghormati kesatuan–kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”8

Secara konstitusional UUD 1945 memberikan jaminan dan memperkuat eksistensi hukum adat bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat adat. Selanjutnya dalam pasal 3 UUPA secara tegas memberikan pengakuan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan dan kesatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi9.

Penelitian ini lebih memfokuskan diri pada pengelolaan tanah pecatu desa di Kabupaten Lombok Tengah setelah desa berubah menjadi kelurahan. Penulis akan melakukan analisa terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, konsepsional, soisologis dan sejarah tanah pecatu desa di Kabupaten Lombok Tengah.

Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Masri Maulana tentang tanah pecatu desa dimana permasalahan penelitiannya adalah pertama, Bagaimanakah kedudukan dan fungsi tanah pecatu desa di Kabupaten Lombok Tengah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Kedua, Bagaimanakah dasar pengaturannya secara yuridis tentang tanah pecatu desa dalam perspektif hukum pertanahan nasional. Ketiga, Apakah yang menjadi faktor penghambat dan pendukung dalam penataan/pengelolaan tanah pecatu di Kabupaten Lombok Tengah.

Persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Masri Maulana pada objek penelitian yakni Tanah Pecatu Desa di Kabupeten Lombok Tengah. Namun perbedaan mendasar adalah penelitian sebelumnya menekankan pada Kedudukan dan Fungsi Tanah Pecatu Desa di Kabupaten Lombok Tengah Perspektif Hukum Pertanahan Nasional. Sedangkan penelitian ini lebih fokus pada pengelolaan tanah pecatu desa di Kabupaten Lombok Tengah setelah desa berubah menjadi kelurahan. Perbedaan yang lain, penelitian ini tidak hanya menjelaskan fakta apa adanya melainkan juga merefleksikan teori sociological jurisprudence dan mazhab sejarah, kaitannya dengan perubahan status desa menjadi kelurahan.



  1. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian pemikiran di atas untuk lebih fokus dalam penulisan ini akan dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

  1. Apakah dasar pertimbangan perubahan status desa menjadi kelurahan?

  2. Bagaimanakah implikasinya terhadap budaya hukum masyarakat?

  3. Bagaimanakah pengelolaan hak-hak asli desa tanah pecatu di Kabupaten Lombok Tengah setelah perubahan status desa menjadi kelurahan?

  1. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

  1. Tujuan Penelitian

  1. Memperoleh data konkrit tentang dasar pertimbangan Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Tengah dalam kebijakan perubahan status desa menjadi kelurahan.

  2. Mengungkapkan bagaimana implikasi perubahan status desa menjadi kelurahan terhadap budaya hukum masyarakat.

  3. Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan hak-hak asli desa tanah pecatu di Kabupaten Lombok Tengah setelah perubahan status desa menjadi kelurahan.

  1. Manfaat Penelitian

  1. Sebagai masukan baik secara teoritis maupun secara praktis bagi kalangan perguruan tinggi, khususnya Fakultas Hukum dalam rangka pengembangan ilmu hukum, penyuluhan hukum dan pelayanan hukum bagi masyarakat.

  2. Sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah dalam rangka pembinaan dan pembentukan peraturan perundang-undangan dalam bidang Pertanahaan khususnya terkait dengan Tanah Pecatu.

  1. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Adanya pembatasan ruang lingkup dari penelitian ini untuk menjaga agar penelitian ini tidak menyimpang dari pokok permasalahan yang diangkat dengan demikian bahwa penilitian ini akan memfokuskan diri pada permasalahan bagaimana pengelolaan tanah pecatu desa setelah perubahan status desa menjadi kelurahan, dimana peneliti akan melakukan studi lapangan di Kabupaten Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat.

  1. KERANGKA TEORI

Perubahan status desa menjadi kelurahan yang berimpilikasi pada eksistensi pengelolaan tanah pecatu mempunyai akar teori yang saling berselisih (the battle of theory) yakni Teori Sociological Jurisprudence dan Mazhab Sejarah.  Teori Sociological Jurisprudence menekankan pada modernisasi, sedangkan Mazhab Sejarah cenderung mempertahankan tatanan lama.   

  1. Teori sociological Jurisprudence

Di Indonesia, ajaran Sociological Jurisprudence selalu dihubungkan dengan "law as a tool of social engineering". Istilah "law as a tool of social engineering"  selalu diidentikkan dengan mantan Dekan Harvard Law School, Roscoe Pound, dengan merujuk pada buku karya monumentalnya yang berjudul: “Jurisprudence”. Istilah "law as a tool of social engineering" pertama kalinya di tahun 1970-an, diperkenalkan di Indonesia oleh alumni Harvard Law School, Mochtar Kusumaatmadja. Mochtar Kusumaatmadja menerjemahkan "Law as a tool of social engineering" = hukum sebagai rekayasa sosial, memberikan pemahaman bahwa penggunaan hukum sebagai "rekayasa sosial", bersifat "top down", yaitu semua pembuatan dan kebijakan hukum harus berasal dari pemerintah, bukan bersifat "bottom up".

Roscoe Pound dalam bukunya “Jurisprudence” memang sama sekali tidak pernah menggunakan istilah "law as a tool of social engineering" dan di dalam indeks buku itu sama sekali tidak ditemukan satupun tema "law as a tool of social engineering." Namun bagi yang menafsirkan ajaran Rosoe Pound sebagai “law as a tool of social engineering” juga tidak keliru karena jantung ajaran Pound adalah bagaimana mendayagunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial10.

Bagi Pound,  ilmu hukum kurang lebih sama dengan teknologi, karena itu analogi “engineering” dapat diterapkan pada masalah hukum dan sosial, sebagaimana dikatakan Pound:

“Ukuran ini praktis ditemukan (dan lama telah ditemukan pada kenyataannya, meskipun tidak dalam teori) dalam sebuah ide dari rekayasa sosial, dengan menggunakan "rekayasa"dalam arti yang digunakan oleh para insinyur industri. Hal ini ditemukan dalam sebuah ide memberikan keamanan yang paling lengkap dan pengaruh skema seluruh tuntutan atau harapan manusia …. dengan sedikit pengorbanan dari skema secara keseluruhan, sedikit friksi, dan sedikit kemubasiran. Hal ini ….adalah masalah dari semua ilmu-ilmu sosial. Dalam sociological jurisprudence kita memperlakukannya sebagai masalah khusus mencapai pengakuan dan perlindungan dari skema harapan manusia dengan alat tatanan hukum, dengan alat kaidah yang dibentuk dari ajaran, teknik pengembangan dan penerapan (social engineering) dan cita-cita yang diterima dalam cahaya yang mereka kembangkan dan terapkan, dan melalui proses peradilan dan administrasi”.11


Social engineering, menurut Pound, dapat diefektifkan dalam proses yudisial dan administratif. Karena itu, bagi penganut sociological jurisprudence, sangat penting mencermati sejauh mana putusan-putusan hakim/administrasi berpengaruh positif bagi masyarakat. Tetapi Mochtar menyadari bahwa Indonesia yang mengikuti tradisi Civil Law, peranan perundang-undangan dalam proses ”social engineering”  lebih menonjol jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang lebih mengandalkan “the judge made law”. Terlebih lagi, pengaruh Positivisme Hukum klasik sangat kuat mengakar di Indonesia. Social engineering kemudian lebih mengandalkan pembentukan hukum melalui pembuatan peraturan perundang-undangan.

Pemikiran dari inti mazhab sociological Jurisprudence berkembang pesat di Amerika dimana melihat hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Ruh dari mazahab ini adalah hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat12.

Teori yang dipopulerkan oleh Roscue Pound ini mengetengahkan pentingnya living law hukum yang hidup didalam masyarakat dalam proses lahirnya teori ini merupakan suatu sintese dari tesenya yaitu positivisme hukum dan anti tesisnya mashab sejarah.13

Dalam pandangan Rosceou Pound akal dan pengalaman sangat penting karena hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal dapat hidup terus dimana hukum-hukum yang kekal adalah pernyataan akal yang berdiri di atas pengalaman yang diuji dengan pengalaman, pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal di uji oleh pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum . hukum adalam pengalaman yang diuji oleh akal yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau mengesahkan undang-undang dalam masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu14



  1. Teori mazhab sejarah

Inti ajaran dari Von Savigny bahwa hukum itu tidak dibuat melainkan tubuh bersama dengan masyarakat (das recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke)15 itu ditemukan bukan dibuat. Menurut Von Savigny bahwa hukum tidak berlaku secara universal karena setiap bangsa memiliki kebiasaan dan budaya yang berbeda dengan bangsa lain yang ditemukan dalam volksgeist (jiwa bangsa) yang menurut ia bahwa volksgeist itu unik tertinggi dan realitas mistis sehingga tidak dapat dipahami secara rasional akan tetapi hanya dapat dipersepsikan secara intuitif.

Menurut Von Savigny hukum merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama dalam suatu bangsa, seperti bahasa, adat moral oleh karena hukum adalah sesuatu yang bersifat supraindividual suatu gejala masyarakat. Tetapi suatu masyarakat lahir dalam sejarah, berkembang dalam sejarah dan lenyap dalam sejarah.16 Dengan demikian hukum selalu terikat dengan perkembagan organis masyarakat, tidak ada perkembangan masyarakat maka tidak ada hukum sama sekali. Cicero mengatakan ibi socitas ibi ius (dimana ada masyarakat disana ada hukum).

Kelahiran mazhab sejarah yang dipelopori oleh Friedrich Carl Von Savigny ini dipengaruhi Montesquieu, melalui bukunya L'esprit des Lois mengatakan adanya hubungan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya. Selain itu juga dipengaruhi paham nasionalisme yang mulai timbul pada abad ke-19. Selanjutnya, kelahiran mazhab ini juga merupakan reaksi terhadap pendapat yang dikemukakan Thibaut yang menghendaki dilakukannya kodefikasi hukum di negara Jerman berdasarkan Hukum perancis (Code Napoleon); serta reaksi tidak langsung terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif17.

Dampak ajaran madzab ini sangat tampak pada para sarjana sosiologi dan hukum adat. Mereka disadarkan tentang pentingnya penelitian mengenai hubungan antara hukum dengan struktur masyarakat beserta sistem nilainya. Pengaruh pandangan Savigny juga terasa sampai jauh ke luar negara Jerman, termasuk ke Indonesia18.

Namun, sebagaimana produk kreativitas manusia lainnya, pemikiran madzab sejarah tentang hukum, tentulah juga memiliki kelemahan, dalam hal ini yang utama adalah kurang diberikannya arti penting perundang-undangan sebagai sumber hukum.19

W. Friedman mengatakan bahwa gagasan yang benar-benar penting dari L'esprit des Lois adalah tesis bahwa hukums walaupun secara samar didasarkan atas beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan seperti iklim, tanah, agama, adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya20. Selanjutnya dikatakan bahwa gagasan Montesquieu tentang sistem hukum merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris dalam kehidupan manusia. Ketika Montesquieu membahas penyebab suatu negara mempunyai perangkat hukum atau struktur sosial dan politik tertentu, dikatakan bahwa hal itu dikarenakan oleh 2 faktor penyebab utama yang membentuk watak masyarakat yaitu faktor fisik dan faktor moral. Faktor fisik yang utama adalah iklim yang menghasilkan akibat fisiologi dan mental tertentu. Yang harus juga dipertimbangkan adalah keadaan dataran, kepadatan penduduk dan daerah kekuasaan suatu masyarakat. Selanjutnya, yang dimaksud sebagai faktor moral adalah: agama, hukum, peribahasa, kebiasaan, ekonomi dan perdagangan, cara berfikir dan suasana yang tercipta di pengadilan negara. Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa Montesquieu mendekati pokok bahasannya lebih sebagai ahli filsafat sejarah daripada semangat seorang ahli sosiologi positivistik.

Sebagaimana dikemukakan di atas, Madzab Sejarah juga diilhami oleh paham nasionalisme yang mulai timbul di awal abad ke-19. "Deutsch uber alles", demikianlah semboyan Jerman mengekspresikan tingginya nasionalismenya21. Dengan memanfaatkan eforia politik yang sedang berkecamuk pada warga negara dan penyelenggara negara pada waktu itu, Savigny menyarankan penolakan terhadap usul Thibaut dalam pamfletnya yang berbunyi: "Uber Die Notwetdigkeit Eines Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutschland" (Keperluan akan adanya kodefikasi hukum perdata negara Jerman)22. Tentulah usul Thibaut, ahli hukum perdata Jerman, yang menghendaki agar di Jerman diperlakukan kodefikasi perdata dengan berdasarkan hukum Perancis (Code Napoleon) dirasakan tidak selaras dengan semangat nasionalisme Jerman yang pada waktu itu sedang menggelora. Eforia nasionalisme yang cenderung chauvinistik tersebut mustahil dapat menerima upaya pembentukan hukum yang berasal dari jiwa bangsa lain (dalam hal ini Perancis yang meninggalkan Jerman). Dalam suasana demikian. Savigny mendapatkan "Lahan subur" untuk menanam dan menyemaikan ajarannya yang mengatakan bahwa 'hukum itu tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Dan oleh karena setiap bangsa memiliki "volgeist" (jiwa rakyat) yang berbeda, maka hukum suatu negara tidak dapat diterapkan bagi negara lain, meskipun negara lain itu adalah bekas penjajahnya.

Dalam kaitan inilah kemudian Savigny mengatakan, adalah tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku universal pada semua waktu. Hukum yang sangat tergantung atau bersumber kepada jiwa rakyat tersebut dan yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah). Inti ajaran Madzab Sejarah yang didirikan oleh Savigny ini terdapat dalam bukunya 'von Beruf Ungerer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft23 (Tentang Tugas Zaman Kita Bagi Pembentuk Undang-undang dan Ilmu Hukum). antara lain dikatakan: 'Das Recht wird nicht gemacht. est ist und wird mit dem volke (Hukum itu tidak dibuat. tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat)24

Latar belakang pendapat Savigny di atas timbul karena keyakinannya bahwa dunia yang terdiri dari bermacam-macam bangsa itu mempunyai volgeist (jiwa rakyat) yang berbeda-beda yang tampak dari perbedaan kebudayaan. Ekspresi itu juga tampak pada hukum yang sudah barang tentu berbeda pula pada setiap tempat dan waktu. Isi hukum yang bersumber dari pada jiwa rakyat itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah). Hukum menurut pendapat Savigny berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana yang pencerminannya tampak dalam tingkah laku semua individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks dimana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh para ahli hukumnya25

Dampak pemikiran hukum Savigny yang kemudian dikembangkan oleh muridnya Puchta, terhadap perkembangan hukum tertulis di Jerman tampaknya sangat kuat. Buktinya tantangan Savigny terhadap kodefikasi Perancis itu menyebabkan hampir satu abad lamanya Jerman tidak mempunyai kodefikasi hukum perdata. Baru pada Tahun 1900 negeri Jerman mendapatkan kitab undang-undangnya dalam wujud Burgerliches Gesetzbuch. Di Indonesia pun pengaruh ajaran madzab sejarah sangat dirasakan, yakni dengan lahirnya cabang ilmu hukum baru yang dikenal sebagai hukum adat, yang dipelopori oleh Van Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya.



  1. Perselisihan Teori

Apabila dipetakan persamaan cara pandang Sociological Jurisprudence dengan Mazhab Hukum Sejarah: sama-sama melihat hukum dan masyarakat sebagai suatu yang tidak terpisah dan saling berhubungan. Perbedaan mendasar adalah cara melihat fungsi hukum. Jika Mazhab Hukum Sejarah memahami hukum lebih romantik, Pound mengandaikan hukum seperti ”teknologi”. Karena itu, fungsi hukum, menurut pandangan Pound, bukan hanya sebagai pengendalian sosial (social control) seperti ketertiban (social order) dan penyelesaian sengketa (dispute settlement) melainkan lebih dari itu, sebagai rekayasa sosial (social engineering). Sebagaimana saran Pound: “…I have suggested thinking of jurisprudence as a science of social engineering.”26

 Jika selama ini hukum diandaikan berjalan tertatih-tertatih mengikuti kenyataan sosial (”het recht hinkt achter de feiten aan”), maka dalam konsep ”social engineering” hukum justru berada di depan kenyataan sosial dan hakim diharapkan oleh Pound menjadi ”social engineer.” ”The task of the lawyer as ”social engineer”, formulated a programme of action, attempted to gear individual and social needs to the values of Western democratic society.”27 Cara berpikir modernis yang cenderung menuju kebaruan akan mudah berbenturan dengan cara berpikir tradisional yang bersikukuh mempertahankan nilai-nilai lama. Ketika hukum didayagunakan sebagai rekayasa sosial, tentu akan berbenturan dengan tradisi-tradisi yang sebelumnya mapan. Tradisi terguncang, misalnya perubahan status desa menjadi kelurahan, karena ia “dipaksa” berubah melalui rekayasa sosial. Namun, pembaruan melalui rekayasa sosial yang ditawarkan Roscoe Pound tidak bersifat radikal dan lebih menekankan kemanfaatan praktis (pragmatis).



  1. METODE PENELITIAN

Dalam rangka memperoleh dan mengumpulkan data serta menganalisis data dan informasi atau keterangan yang bersifat ilmiah tentunya dibutuhkan suatu karya tulis ilmiah maupun susunan yang sistematis terarah dan konsisten, Adapun metode dalam penelitian ini adalah :

        1. Jenis Penelitian

Dari masalah yang dikaji dalam penelitian ini, maka penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum normatif-empiris, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan (inabstracto) serta melihat fakta-fakta hukum yang terjadi di lapangan (inconcreto)28 berkaitan dengan Pengelolaan Tanah Pecatu Desa di Kabupaten Lombok Tengah Setelah Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan

        1. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif empirik, yaitu memandang hukum bukan saja sebagai perangkat kaidah yang bersifat normatif atau apa yang tertuang dalam teks peraturan perundang-undangan (law in books), akan tetapi juga melihat (law as it is society) bagaimana hukum itu bisa dijalankan di tengah-tengah masyarakat, oleh karena itu pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :

  1. Pendekatan perundang-undangan (statuta approach) dilakukan untuk meneliti norma-norma hukum yang terkandung di dalamnya terkait satu sama lain secara logis, dan apakah norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak ada kekurangan hukum dan apakah proses norma-norma hukum tersebut tersusun secara hierarkis.29

  2. Pendekatan Konsep (conceptual approach) digunakan untuk memahami konsep yang digunakan dan berkaitan dengan Pengelolaan Tanah Pecatu Desa di Kabupaten Lombok Tengah Setelah Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan.

  3. Pendekatan Sosiologis (sociological approach) digunakan untuk mengetahui bagaimana aturan hukum dilaksanakan berkaitan dengan Pengelolaan Tanah Pecatu Desa di Kabupaten Lombok Tengah Setelah Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan dan penegakan hukum (law enforcement).30

  4. Pendekatan Sejarah (historical approach), mengkaji bagaimana perkembangan hukum dalam Pengelolaan Tanah Pecatu Desa di Kabupaten Lombok Tengah Setelah Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan.

        1. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang terkait dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian mengenai bentuk hukum Agraria Nasional Undang-Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960, Undang-Unndang Nomor 32 Tahun 2004

  2. Data Lapangan yang dapat melalui penelitian lapangan berdasarkan hasil wawancara dengan para informan dan melalui pengamatan.

  1. Informan

  1. Staf Bagian Pemerintahan Umum dan Staf bagian Aset Daerah Kabupaten Lombok Tengah.

  2. Sekretaris Desa.

  3. Masyarakat

  1. Bahan hukum tersier yang bersumber dari kamus hukum, kamus bahasa, artikel-artikel pada koran/surat kabar dan majalah.

        1. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Lombok Tengah focus pada beberapa desa yang sudah berubah statusnya menjadi kelurahan karena mengingat di kabupaten Lombok tengah terdiri dari 129 desa dan 10 kelurahan, maka lokasi penelitian akan dilakukan di 3 kelurahan dengan asumsi bahwa dari sampel yang diambil penulis sudah dapat mewakili kelurahan yang lain.

Adapun kelurahan dimaksud adalah, kelurahan leneng, kelurahan gerantung dan kelurahan gerunung mengingat kelurhan ini baru dibentuk akan memudah penulis untuk menelisik data dan informasi terkait dengan keberadaan tanah pecatu desa.




        1. Teknik pengumpulan dan pengolahan Bahan Hukum/ Data

Untuk mendapatkan data akurat yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan teknik dan alat pengumpul data sebagai berikut:

    1. Data Primer

Teknik dan alat pengumpulan data primer data didapat melalui Wawancara (interview). Metode interview ini dengan melakukan wawancara langsung dengan informan, dalam hal ini wawancara dilakukan dengan:

  1. Staf Bagian Pemerintahan Kabupaten Lombok.

  2. Sekretaris Desa.

  3. Tokoh Masyarakat

    1. Penelusuran Bahan Hukum

Studi dokumentasi adalah cara memperoleh data dengan jalan mengumpulkan segala macam bahan hukum serta mengadakan pencatatan yang sistematis. Kemudian menghubungkan paparan yang ada dalam bahan hukum tersebut.

        1. Analisis Data

Dari semua data/bahan hukum yang terkumpul, kemudian diolah, selanjutnya dinalisis dengan metode analisa kualitatif deskriptif yaitu dengan merumuskan dalam bentuk menguraikan yang dapat memberikan penjelasan secara signifikan terhadap pokok masalah yang menjadi obyek yang diteliti, sehingga merupakan jawaban sebagai hasil temuan dari hasil tujuan penelitian dengan pola berpikir yang runtun dan sistematis.

Analisa kualitatif dilakukan dengan cara deduktif yaitu menarik suatu kesimpulan dari data yang sifatnya umum ke khusus untuk mendapatkan kejelasan terhadap suatu kebenaran sehingga memperoleh gambaran yang jelas masalah yang diteliti.



  1. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk penulisan tesis ini penulis akan menyusun dengan sistematika sebagai berkut:

        1. BAB I : latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, kerangka teori, sistematika penulisan.

        2. BAB II : menguraikan pembahasan kaitan dengan rumusan permasalahan yang pertama yakni apa sajakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum pemerintah daerah dalam merubah status desa menjadi kelurahan.

        3. BAB III : menguraikan pembahasan rumusan permasalahan kedua yakni bagaimana pengelolaan tanah pecatu desa di kabuaten lombok tengah setelah perubahan status desa menjadi kelurahan.

        4. BAB IV : berisi tentang uraian pembahasan kaitan dengan rumusan permasalahan ketiga yani apakah dasar kewenanagan pemerintah daerah dalam mengelola tanah pecatu desa

        5. BAB V : Penutup yang berisi simpulan dan saran



  1. DAFTAR PUSTAKA

Achmad Sodiki & Yanis Maladi, Politik Hukum Agraria, cetakan I, Mahkota Kata, Jogjakarta, 2009

Amidhan “Menggagas Pembentukan Komisi Nasional Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA)”(Makalah yang dibawakan pada Konfrensi Nasional Agraria, Yayasan Kemala, Jakarta, Oktober 2004

Amirudin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006

Direktorat Agraria Provinsi Nusa Tenggara Barat, Dokumen Tanah Pecatu: Data Inventarisasi Tanah Pecatu di seluruh Wilayah provinsi Nusa Tenggara Barat, 1979

Harjono, Penelitian Hukum pada Kajian Hukum Murni, dalam Joni Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, Malang, 2005

Lili Rasjidi & Ira Tania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, cetakan x, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2004

Theo Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982

W friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Edisi I Cetakan 3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996

--------------- Teori dan Filsafat Hukum, Edisi II Cetakan 3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996

---------------, Teori dan Filsafat Hukum, Edisi III Cetakan 3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996

Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Genta Publising, Yogyakarta, Tahun 2011



Zen Wen, Gong 2000; Eksploitasi Sumber Daya Alam Dan Peminggiran Rakyat Semakin Menjadi, Otonomi Daerah Sumber Daya Alam Lingkungan, cetakan I, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001

1Tanah pecatu desa merupakan tanah jabatan bagi pamong desa (kepala desa dan pembantu-pembantunya) dimaksudkan sebagai sumber penghasilan dalam rangka menjalankan tugas-tugas pemerintahan di desanya masing-masing. Dalam tesis Masri Maulana, kedudukan dan fungsi tanah pecatu desa di Kabupaten Lombok Tengah persepektif hukum pertanahan nasional, Universitas Mataram Tahun 2011, hal. 7

2 Masyarakat hukum adat atau istilah lain yang sejenis seperti masyarakat adat atau masyarakat tradisional atau The Indigenous people adalah suatu komunitas antropologis yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar sebagai berasal satu nenek moyang yang sama dan mempunyai identitas dan budaya yang khas yang ingin mereka pelihara dan lestarikan untuk kurun sejarah selanjutnya, serta tidak mempunyai posisi dominan dalam struktur dan sistem politik yang ada. dikutip dari Himpunan Dokumen Peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Sedunia, Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, tanggal 9 Agustus 2006, Jakarta, Komnas HAM press, September 2006, hal. 9. (Masyarakat hukum adat dan masyarakat adat atau the indigenous people dalam tulisan ini akan digunakan secara bergantian untuk menunjuk pada subjek yang sama)

3 Ibid. hal. 10

4 PP 72 Tahun 2005 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4587)

5 Produk hukum dimaksud dalam tulisan ini adalah peraturan perundangan-undangan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan Keputusan Bupati.

6 Direktorat Agraria Provinsi Nusa Tenggara Barat, Dokumen Tanah Pecatu: Data Inventarisasi Tanah Pecatu di seluruh Wilayah provinsi Nusa Tenggara Barat, 1979. Hal. 1.

7 Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Rumusan ini dikutip dari ketentuan Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, pasal 1 ayat (2). Sedangkan hak ulayat merupakan kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi keberlangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan lahiriah dan bathiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan. Hak ulayat disini merupakan sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum adat dan dikalangan masyarakat hukum adat diberbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi dalam hukum adat. Dikutip dari buku Hukum Agraria Indonesia, Budi Harsono, Djambatan, Jakarta Edisi 2004 hal. 62

8 UUD 1945, Pasal 18b ayat (2)

9 Achmad Sodiki & Yanis Maladi, Politik Hukum Agraria, cetakan I, Mahkota Kata, 2009, Jogjakarta, Hal 188

10 Roscoe Pound, Jurisprudence, Volume I, New Jersey: The Lawbook Excange, 2000, hal 346-347 mengutip Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Posistivisme Hukum, Genta Publishing 2011


11 ibid

12 Lili Rasjidi & Ira Tania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, cetakan x, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, Halaman 66

13 Ibid Halaman 67

14 Ibid Halaman 67

15 Widodo Dwi Putro, Op. Cit. Hal. 87

16 Theo Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982, Halaman 118

17 ibid

18Lili Rasjidi, Loc. Cit Hal. 66

19 Ibid

20 W friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Edisi 1 Cetakan 3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996 Halaman 86

21 bahkan kemudian semboyan itu terkesan menunjukkan sikap chauvinisme

22 Lili rasjidi. Hal. 64

23Ibid. Hal. 65

24 Ibid

25 Ibid

26 Ibid. Hal 545

27 MDA freeman, Op. Cit, hal. 678

28 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2004, Hal. 29.

29 Harjono, Penelitian Hukum pada Kajian Hukum Murni, dalam Joni Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, Malang, 2005. Halaman 303.

30 Amirudin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006. Halaman 134.

Yüklə 92,23 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə