Menanti Islami Asli, Bukan Adaptasi



Yüklə 18,64 Kb.
tarix26.08.2018
ölçüsü18,64 Kb.
#64643

Menanti Islami Asli, Bukan Adaptasi
Joko Anwar pernah mengatakan bahwa dalam membuat film, sutradara di Indonesia terbagi dua yaitu sutradara for hire dan sutradara yang memiliki something to say. Sebenarnya “Gelar” ini juga berlaku juga bagi para penulis novel/cerpen. Mereka yang memiliki something to say akan bekerja demi idealismenya, dan bukan mengikui keinginan penerbit yang meng-hire-nya. Mereka pun akan menghasilkan karya yang sesuai dengan idealisme mereka. Atau bila kita bicara tentang karya berlabel Islam, sang penulis mempunyai niat untuk berdakwah lewat tulisannya.

Sejauh ini, di Indonesia karya berlabel Islami lah yang banyak diangkat menjadi film. Bukankah ini adalah sesuatu yang positif? Seno Gumira Ajidarma dalam pidato untuk anugerah SEA Write Award mengatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang belum bisa membaca dengan benar, yakni membaca untuk meningkatkan nilai kehidupannya. Artinya masyarakat Indonesia bukan masyarakat pembaca. Jadi apa label masyarakat Indonesia? Sepertinya label “Masyarakat penonton” lebih layak untuk disandang.

Nah, dengan label seperti itu, maka logis bila kita berharap sebuah film mampu menyampaikan dakwah tentang nilai-nilai Islam dengan lebih bagus dan menyeluruh ketimbang sebuah buku. Dan memang film-film adaptasi berlabel Islami cukup menjamur di Indonesia. Jumlahnya berlipat dibanding label horor atau drama yang seakan bisa terus hidup tanpa harus mengadaptasi.

Silahkan lihat sendiri, selama ini kita sudah punya banyak judul. Antara lain Ayat-Ayat Cinta (Hanung Bramantyo, 2008), Ketika Cinta Bertasbih (Chaerul Umam, 2009), Perempuan Berkalung Sorban (Hanung Bramantyo, 2009), Di Bawah Lindungan Ka’bah (Hanny Saputra, 2011), Hafalan Shalat Delisa (Sony Gaokasak, 2011), Emak Ingin Naik Haji (Aditya Gumay, 2009), dan Ummi Aminah (Aditya Gumay, 2012) yang merupakan skenario adaptasi.

Sementara film Sajadah Ka’bah (Rhoma Irama, 2011), Sang Murabbi (Zul Ardhia, 2008), Kehormatan di Balik Kerudung (Tya Subiakto, 2011), Kun Fayakuun (H. Guntur Novaris, 2008), Khalifah (Nurman Hakim, 2011), Lovely Man (Teddy Soeriaatmadja, 2011), Mata Tertutup (Garin Nugroho, 2011), dan Si Anak Kampoeng (Damien Dematra, 2011) berasal dari skenario asli.

Sebenarnya secara bentuk asal, hal ini tidak perlu dipermasalahkan, artinya adaptasi atau bukan hanyalah sekedar trend. Tapi kalau kita bicara pendapatan dan popularitas antara film Islam hasil adaptasi dengan non adaptasi, kita bisa lihat bahwa yang bisa meraih penonton cukup banyak adalah film hasil adaptasi.

Buktinya? mari kita kembali pada deretan judul di atas, silahkan tanya pada diri kita: film manakah yang lebih bergaung di telinga? Apakah dari kelompok pertama atau kelompok kedua? Kebanyakan akan menjawab, kelompok pertama lebih terdengar. Baiklah, itu memang faktanya, tapi pertanyaannya adalah: Kenapa?
Adaptasi: Antara Kualitas dan Kuantitas

Sebenarnya jika diteliti, film adaptasi memiliki kemampuan meningkatkan kuantitas penonton, apalagi bila sebelumnya karya yang diadaptasi sudah memiliki basis penggemar tertentu. Contohnya: Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih. Jadi bisa diandaikan produser sudah setengah jalan mempromosikan cerita, tinggal setengah jalan lagi untuk membuat orang mau datang menonton.

Lalu bagian promosi dan marketing juga akan lebih mudah membidik target penonton dan menghitung perkiraan pemasukan. Karena—misalnya—pembaca Hafalan Shalat Delisa—juga orang-orang yang mungkin memiliki keterkaitan emosional dengan ceritanya—akan berbeda dengan pembaca Di Bawah Lindungan Ka’bah, bahkan mungkin berbeda dengan pembaca Perempuan Berkalung Sorban.

Tapi kalau kita hanya bicara kuantitas, jelas ini tidak sehat. Karena kuantitas hanya penting bagi para produser (baca: pengusaha film), artinya keuntungan secara finansial dan isi rekening yang bertambah. Sementara apa yang akan disajikan pada penonton? Tentu tanpa harus berdebat, kita mestinya sepakat bahwa uang tiket dari penonton haruslah ditukar dengan kualitas film yang bagus.

Problemnya, di Indonesia sedikit sekali film adaptasi yang berkualitas, dan jumlahnya lebih sedikit lagi untuk film adaptasi berlabel Islam.

Contohnya adalah Hafalan Shalat Delisa. Secara novel, ceritanya berada di atas rata-rata. Tere Liye dengan berhasil bisa membangun kesedihan pasca bencana tsunami yang dipotret dari mata seorang anak perempuan. Banyak pembaca yang mengakui bahwa novel ini bagus—apalagi untuk mereka yang memiliki keterkaitan dengan bencana tsunami pada bulan Desember 2004—tapi emosi dan atmosfir yang begitu baik ditampilkan di novel ternyata menguap di dalam film.

Bagaimana ini bisa terjadi? Sedangkan jelas yang diadaptasi adalah karya berkualitas. Banyak yang perlu digarisbawahi—dan juga merupakan contoh bagi film adaptasi lainnya—antara lain: Penggambaran tsunami sebagai kunci cerita yang tidak menimbulkan kesan mengerikan. Adegan datangnya air di sana terkesan lucu, hanya setingkat lebih baik dari animasi ular naga ungu di sinetron Indosiar. Bagaimana mungkin membangun kesan ngeri bila penonton sadar bahwa yang dia lihat adalah di layar adalah bohong-bohongan?

Lalu akting pemain yang masih menjadi dirinya sendiri. Mike Lewis masih jadi Mike, bukan prajurit Smith. Atau Nirina Zubir masih jadi Nirina, bukan Ummi—Kelemahan ini juga terjadi dalam Ketika Cinta Bertasbih—Hanya Reza Rahadian dan Chantiq Schagerl yang berakting bagus, tapi tentu tidak mungkin jika cerita ini hanya diusung mereka berdua sementara di dalamnya banyak tokoh lain. Beda kalau filmnya sejenis Before Sunset (Richard Linklater, 2004) yang tokohnya cuma dua atau Burried (Rodrigo Cortes, 2010) yang tokohnya bahkan cuma satu.


Skenario Asli: Memperpanjang Dilema

Kembali ke awal, setiap penulis karya Islami pasti memiliki something to say (baca: dakwah) pada pembacanya, dan inilah unsur yang akan menarik pembaca. Lihat bagaimana orang-orang memperbincangkan kemalaikatan tokoh Fahri (Ayat-Ayat Cinta), ketegaran Delisa (Hafalan Shalat Delisa), atau pemberontakan Anissa (Perempuan Berkalung Sorban) dan sepakat bahwa lewat cara-cara para tokoh itulah pesan dakwah tersampaikan.

Tapi harapan itu membentur kenyataan bahwa film adaptasi tidak berjalan dengan baik. Akibatnya semua idealisme penulis tidak akan tersampaikan, unsur dakwah sebagai final conditioning yang diharapkan hadir justru akan menguap begitu saja. Penonton yang tadinya pembaca akan kecewa, dan nilai film akan jadi buruk di mata mereka. Sementara penonton yang bukan pembaca jelas tidak akan mendapatkan apa-apa.

Maka sementara film adaptasi masih harus berkutat dengan problem seperti (1) menerjemahkan bahasa kata menjadi bahasa visual yang harus semirip mungkin sesuai imajinasi pembaca (2) membangun atmosfir yang mirip antara buku dan film (3) dan idealisme penulis tidak boleh menguap, memunculkan skenario asli merupakan pilihan yang lebih ringan. Sebab skenario asli akan dengan bebas membeberkan idealisme tanpa terikat dengan karya sebelumnya. Artinya dalam penggarapan film, sutradara lebih berfokus pada ceritanya sendiri tanpa mempertimbangkan aspek pembaca buku.

Jadi apakah solusinya kembali ke skenario asli? Ini juga ternyata memiliki masalah. Sebab kita lihat sudah banyak film berlabel Islami dari skenario asli, tapi berapa banyak yang bisa benar-benar bicara? Jawabannya: hampir tidak ada!

Menurut data, sepanjang tahun 2011 tetaplah film dengan label lain (baca: drama atau horor) yang mencuat. Seperti yang sudah kita tahu bahwa mayoritas film-film tersebut berasal dari skenario asli.

Data tanggal 30 Desember 2011, tercatat lima besar film Indonesia 2011 dari jumlah penonton adalah: Surat Kecil untuk Tuhan (748 ribu penonton), Arwah Goyang Karawang (727 ribu penonton), Poconggg Juga Pocong (575 ribu penonton), Get Married 3 (563 ribu penonton), dan film ? (552 ribu penonton). Kemanakah film-film berlabel Islami? Bahkan: kemana film-film berlabel Islami hasil adaptasi? Padahal tahun 2011 ada film Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Hafalan Shalat Delisa yang sebenarnya diangkat dari novel yang cukup dikenal dan laris.

Inilah dilemanya, film sebagai sebuah media yang bisa lebih menyentuh masyarakat penonton seperti di Indonesia, seharusnya dapat digunakan sebagai penyebar dakwah keislaman dengan cara yang halus dan brilian. Tapi—setelah hasil adaptasi ternyata bermasalah—kualitas film-film dengan skenario asli pun masih ada di bawah rata-rata.

Banyak faktor yang menyebabkan ini. Bisa dari (1) kualitas aktor/aktris yang belum mumpuni. Harus kita akui bahwa rata-rata aktor/aktris Indonesia bermain dengan kualitas sinetron kejar tayang, (2) penulis skenario yang tidak bisa memahami ruh cerita, (3) kualitas sutradara yang kebanyakan hanya berupa sutradara for hire. Artinya sutradara hanya membuat film sesuai pesanan produser dan tanpa skill penyutradaraan yang benar, atau (4) soal produser yang mayoritas hanya bicara tentang uang tanpa mementingkan kualitas, maka yang dipikirkan hanya bagaimana agar banyak penonton yang datang. Maka idealisme Islam yang diusung akan bergeser pada—misalnya—kisah cinta, atau yang lain sesuai selera pasar.

Atau mungkin ada yang bilang bahwa masalahnya terletak pada kesulitan mencari cerita Islami yang bagus dan bisa menjual. Ya, pemikiran ini tidak terlalu salah. Membuat film dengan cerita original kadang terasa seperti berjudi, para pembuat film tidak pernah tahu apakah penonton akan suka atau tidak. Akan lebih aman jika mereka mengadaptasi sebuah karya yang sudah terbukti disukai. Tapi pemikiran ini sepertinya hanya timbul dari rasa malas, atau keinginan mengeruk uang dalam waktu singkat saja. Coba kita perhatikan apa yang terjadi di luar negeri. Hanya untuk sebuah cerita yang bagus, Jack Neo mau mengambil inspirasi dari film Children of Heaven (Majid Majidi, 2005) dan membuat Home Run. Lalu Quentin Tarantino memerlukan sepuluh tahun menyelesaikan skenario Inglorius Bastard hanya demi mendapat ending yang bagus.

Memang contoh-contoh di luar itu bukanlah contoh film Islami, bahkan bukan film berlabel agama sekalipun. Tapi bisa ditarik kesimpulan bahwa: selama cara kita mengadaptasi belum bisa menyebarkan dakwah dengan baik—malah akan membuat kecewa dan memberi nama buruk—kenapa tidak memperkecil resiko dengan menggunakan skenario asli saja? Kita harus percaya dengan sebuah perjuangan bisa didapat tema yang menarik, dan kita harus percaya bahwa sebenarnya para filmmaker Indonesia memiliki kualitas untuk itu.

Masalahnya tinggal: mereka mau, atau tidak?



Bandung, Januari 2011

Juara I Lomba Movie Critic Essay IMD-FEUI 2011
Yüklə 18,64 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə