Responsi kasus sindrom nefrotik



Yüklə 293,65 Kb.
səhifə1/5
tarix26.03.2018
ölçüsü293,65 Kb.
#34342
  1   2   3   4   5


RESPONSI KASUS
SINDROM NEFROTIK



Oleh

ANDIK SUNARYANTO (0402005114)

Pembimbing

dr. I KETUT SUARTA, SpA (K)

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DI LABORATORIUM/SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RS SANGLAH DENPASAR

2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena penulisan responsi kasus yang berjudul Sindrom Nefrotik ini dapat selesai tepat pada waktunya.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:



  1. Dr. I Komang Kari, SpA (K) selaku kepala bagian di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak.

  2. Dr. I Ketut Suarta, SpA (K) selaku koordinator pendidikan di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak dan pembimbing dalam penulisan responsi kasus ini.

  3. Dr. A.A.Tri Yuliantini selaku residen nefrologi yang juga telah membimbing dalam penulisan responsi kasus ini.

  4. Pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Responsi kasus ini masih jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik untuk menyempurnakan tulisan ini. Semoga tulisan ini bermanfaat.


Denpasar, September 2009

Penulis


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3



  1. Definisi 3

  2. Epidemiologi 3

  3. Etiologi 3

  4. Patofisiologi 5

  5. Manifestasi Klinis 7

  6. Pemeriksaan Penunjang 8

  7. Penatalaksanaan ……………………………………………… 9

  8. Komplikasi 13

  9. Prognosis 15

BAB III LAPORAN KASUS 17

    1. Identitas 17

    2. Anamnesis 17

    3. Pemeriksaan Fisik 18

    4. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis 19

    5. Diagnosis 21

    6. Penatalaksanaan 21

BAB IV. PEMBAHASAN

4.1 Resume ………………………………………………………… 22

42. Diskusi …………………………………………………………. 23

DAFTAR PUSTAKA



BAB 1

PENDAHULUAN


    1. Latar Belakang

Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari proteinuria masif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine sewaktu > 2mg/mg atau dipstick ≥ 2+ ), hipoalbuminemia (≤ 2,5 gr/dL), edema, dan dapat disertai hiperkolesterolemia (250 mg/uL).1

Angka kejadian sindrom nefrotik di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per 100.000 anak berusia di bawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, dengan perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-2000. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.1

Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital, glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk. Pada tulisan ini akan dibicarakan aplikasi klinis dari sindrom nefrotik idiopatik pada pasien anak yang dirawat di RSUP Sanglah.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari proteinuria masif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine sewaktu > 2mg/mg atau dipstick ≥ 2+ ), hipoalbuminemia (≤ 2,5 gr/dL), edema, dan dapat disertai hiperkolesterolemia.1

Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik, antara lain 1:


  1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.

  2. Relaps, yaitu proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.

  3. Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan.

  4. Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama atau ≥ 4 kali dalam periode satu tahun.

  5. Dependen steroid, yaitu keadaan di mana terjadi relaps saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.

  6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.


2.2 Epidemiologi

Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan kebanyakan terjadi antara umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. SNKM terjadi pada 85-90% pasien dibawah umur 6 tahun; 4 Di Indonesia dilaporkan 6 kasus per 100.000 anak per tahun. Pada penelitian di Jakarta (Wila Wirya) menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan ISKDC melaporkan penelitiannya diantara 521 pasien, 76,4% merupakan tipe kelainan minimal.2

Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset tertinggi terjadi pada usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat berusia 1-4 tahun, 75% mempunyai onset sebelum berusia 10 tahun.3
2.3 Etiologi

Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: 2,4,



  1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik)

Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.2

Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik idiopatik. Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis: Sindrom nefrotik kelainan minimal, glomerulonephritis proliferatif (mesangial proliferation), dan glomerulosklerosis fokal segmental. Ketiga gangguan ini dapat mewakili 3 penyakit berbeda dengan manifestasi klinis yang serupa; dengan kata lain, ketiga gangguan ini mewakili suatu spektrum dari satu penyakit tunggal. 4

PATHOLOGI. 4

Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) (85% dari kasus sindrom nefrotik pada anak), glomerulus terlihat normal atau memperlihatkan peningkatan minimal pada sel mesangial dan matrixnya. Penemuan pada mikroskop immunofluorescence biasanya negative, dan mikroskop electron hanya memperlihatkan hilangnya epithelial cell foot processes (podosit) pada glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan SNKM berespon dengan terapi kortikosteroid.

Glomerulonephritis proliferative (Mesangial proliferation) (5% dari total kasus SN) ditandai dengan adanya peningkatan sel mesangial yang difus dan matriks pada pemeriksaan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluoroscence dapat memperlihatkan jejak 1+ IgM mesangial dan/atau IgA. Mikroskop electron memperlihatkan peningkatan dari sel mesangial dan matriks diikuti dengan menghilangnya sel podosit. Sekitar 50% pasien dengan lesi histologis ini berespon dengan terapi kortikosteroid.

Glomerulosklerosis fokal segmental (focal segmental glomerulosclerosis / FSGS) (10% dari kasus SN), glomerulus memperlihatkan proliferasi mesangial dan jaringan parut segmental pada pemeriksaan dengan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence menunjukkan adanya IgM dan C3 pada area yang mengalami sclerosis. Pada pemeriksaan dengan mikroskop electron, dapat dilihat jaringan parut segmental pada glomerular tuft disertai dengan kerusakan pada lumen kapiler glomerulus. Lesi serupa dapat terlihat pula pada infeksi HIC, reflux vesicoureteral, dan penyalahgunaan heroin intravena. Hanya 20% pasien dengan FSGS yang berespon dengan terapi prednison. Penyakit ini biasanya bersifat progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua glomeruli, dan menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (end stage renal disease) pada kebanyakan pasien.

2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :

Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport, miksedema. Infeksi: hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular. Penyakit sistemik imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schinlein, sarkoidosis.Neoplasma: tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.


2.4 PATOFISIOLOGI
PROTEINURIA

Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.


HIPOALBUMINEMIA

Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun. 4


EDEMA

Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut. 2

Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natirum dan edema akibat teraktivasinya sistem Renin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan konsentrasi hormon aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium. 2,7
HIPERLIPIDEMIA

Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik. 5


2.5 Manifestasi Klinis 2,4,6

Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang menyeluruh dan terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering ditemukan dimulai dari daerah wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang kemudian menghilang, digantikan oleh edema di daerah pretibial pada sore hari.

Anak biasanya datang dengan keluhan edema ringan, diamana awalnya terjadi disekitar mata dan ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik pada mulanya diduga sebagai gangguan alergi karena pembengkakan periorbital yang menurun dari hari kehari. Seiring waktu, edema semakin meluas, dengan pembentukan asites, efusi pleura, dan edema genital. Anorexia, iritabilitas, nyeri perut, dan diare sering terjadi. Hipertensi dan hematuria jarang ditemukan. Differensial diagnosis untuk anak dengan edema adalah penyakit hati, penyakit jantung kongenital, glomerulonefritis akut atau kronis, dan malnutrisi protein. 4

Asites sering ditemukan tanpa odem anasarka, terutama pada anak kecil dan bayi yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema interstisial dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat lain sering ditemukan, seperti efusi pleura. Bila tidak diobati edema dapat menjadi anasarka, sampai ke skrotum atau daerah vulva.

Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar perut, dan tekanan darah. Tekanan darah umumnya normal atau rendah, namun 21 % pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya sementara, terutama pada pasien yang pernah mengalami deplesi volume intravaskuler berat. Keadaan ini disebabkan oleh sekresi renin berlebihan, sekresi aldosteron, dan vasokonstriktor lainnya, sebagai respon tubuh terhadap hipovolemia. Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) jarang ditemukan hipertensi yang menetap. Dalam laporan ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children), pada SNKM ditemukan 22% disertai hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara. Pasien sindrom nefrotik perlu diwaspadai sebagai gejala syok dikarenakan kekurangan perfusi ke daerah splanchnik atau akibat peritonitis.1

Diagnosa banding antara lain Diabetic Nephropathy, Light Chain-Associated Renal Disorders, Focal Segmental Glomerulosclerosis, Glomerulonephritis akut/kronis, HIV Nephropathy, IgA Nephropathy.



2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:1



  1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin.

  2. Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein / keriatinin pada urin pertama pagi hari.

  3. Pemeriksaan darah antara lain

    1. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit, LED)

    2. Kadar albumin dan kolesterol plasma

    3. Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus Schwartz

    4. Kadar komplemen C3 bila dicurigai Lupus Eritematosus sistemik, pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (Anti nuclear antibody) dan anti ds-DNA

Indikasi biopsi ginjal: 1



  • Sindrom Nefrotik dengan hematuria nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan ureum plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun.

  • Sindrom Nefrotik resisten steroid

  • Sindrom Nefrotik dependen steroid


2.7 Penatalaksanaan 1

Pada kasus sindrom nefrotik yang diketahui untuk pertama kalinya, sebaiknya penderita dirawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi bagi orang tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis maka diberikan obat anti tuberkulosis (OAT). Perawatan pada sindrom nefrotik relaps dilakukan bila disertai edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas disesuaikan dengan kemampuan pasien.

Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang dianggap kontra indikasi, karena akan menambah beban glomerolus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis glomerolus. Sehingga cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA (Recommended Daily Allowances) yaitu 2 g/kg BB/hari. Diet rendah protein akan menyebabkan malnutrisi energi protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan anak. Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan jika anak menderita edem.

a. Pengobatan Inisial

Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Diseases in Children) pengobatan inisial pada sindrom nefrotik dimulai dengan pemberian prednison dosis penuh (full dose) 60 mg/m2LPB/hari (maksimal 80 mg/hari), dibagi dalam 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung berdasarkan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dalam dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setalah pemberian steroid dalam 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% ksus, dan remisi mencapai 94 % setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak tarjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid. (Gambar 1)


4 minggu 4 minggu

....................................

Remisi (+) Dosis alternating

Proteinuri (-) (AD) prednisone FD : 60 mg/m2LPB/hari

Edema (-)

Remisi (-): Resisten steroid Prednison AD : 40 mg/m2 LPB/hari

Imunosupresan lain



Gambar 1. Pengobatan inisial dengan kortikosteroid 1

b. Pengobatan Relaps

Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94% pasien, tetapi pada sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50% diantaranya mengalami relaps sering. Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar. 2, yaitu diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednison dosis alternating selama 4 minggu. Pada sindrom nefrotik yang mengalami proteinuria ≥ 2+ kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai pemberian prednison, terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila ada infeksi , diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila setelah pemberian antibiotik kemudian proteinuria menghilang, tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai edema, maka didiagnosis sebagai relaps, dan diberi pengobatan relaps.

Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan inisial, sangat penting, karena dapat meramalkan perjalanan penyakit selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa penggolongan, yaitu:



  1. Tidak ada relaps sama sekali (30%)

  2. Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%)

  3. Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)

  4. Dependen steroid : yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.


remisi

FD AD

Prednisone FD : 60 mg/m2LPB/hari

Prednison AD : 40 mg/m2 LPB/hari

Gambar 2. Pengobatan sindrom nefrotik relaps 1





c. Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid



Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid ada 4 pilihan, yaitu:

  1. Pemberian steroid jangka panjang

  2. Pemberian Levamisol

  3. Pengobatan dengan sitostatik

  4. Pengobatan dengan siklosporin (pilihan terakhir)

Selain itu perlu dicari fokus infeksi, seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, atau cacingan. Bila telah dinyatakan sebagai sindrom nefrotik relaps sering / dependen steroid, setelah mencapai remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan perlahan / bertahap 0,2 mg/kg BB sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu anatara 0,1-0,5 mg/kkg BB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan (Gambar 3). Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir prednison 0,5 mg/ kgBB dan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgBB secara alternating.


  1. Penderita lama (Pengobatan Relaps)

  • Relaps tidak frekuen : prednison 2mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, diberikan 3 hari sampai ada remisi. Dilanjutkan dosis intermiten dibagi dalam 3 dosis selama 4 minggu.

  • Relaps frekuen : berikan prednison dosis penuh sampai remisi, kemudian dilanjutkan dengan sitostatika atau imunosupresen, siklofosfamid atau klorampusil bersama-sama dengan prednison dosis intermiten selama 8 minggu.

  1. Penderita rawat jalan

  • Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menimbang berat badan, mengukur tinggi badan, tekanan darah, dan pemeriksaan tanda-tanda lainnya.

  • Pemeriksaan penunjang yang harus dievaluasi adalah urin rutin, darah tepi, kadar urin serta kreatinin darah 3-6 bulan sekali tergantung pada situasi.

Terapi yang dilakukan pada penderita rawat jalan antara lain remisi total (tanpa terapi), remisi parsial/rest protein 1 + tanpa (obat) , proteinuria +/++ tanpa edema dan disertai gejala infeksi, berikan antibiotka (ampisilin atau amoksisilin) 3-5 hari. Bila tetap ada proteinuri maka dianggap sebagai relaps.

  1. Pengobatan tambahan:

    1. Mengatasi edema anasarka dengan memberikan diuretik, furosemid 1-2 mg/kgBB/kali, 2 kali sehari peroral.

    2. Odem menetap, berikan albumin (IVFD) 0,5-1g/kgBB atau plasma 10-20 ml/kgBB/hari, dilanjutkan dengan furosemid i.v. 1 mg/kgBB/kali.

    3. Mengatasi renjatan yang diduga kerana hipoalbuminemia (1,5 g/dl) berikan albumin atau plasma darah..



Yüklə 293,65 Kb.

Dostları ilə paylaş:
  1   2   3   4   5




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə