Retno Handayani H0810099 agb d fakultas pertanian universitas sebelas maret surakarta



Yüklə 52,42 Kb.
tarix27.03.2018
ölçüsü52,42 Kb.
#35071





Retno Handayani

H0810099

AGB D

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

BAB I

PENDAHULUAN

Penyusunan anggaran di semua negara ditentukan oleh unsur-unsur politik. Sejak 1969 sampai 1989, APBN kita berimbang, artinya penerimaan sama dengan pengeluarannya. Berimbangnya anggaran itu karena memang arahan GBHN yang merupakan dokumen politis itu mengatakan demikian, sehingga pemerintah mengusahakan sekuat tenaga untuk menyusun APBN yang berimbang. Wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen selalu mengatakan setuju dan bertepuk tangan setiap kali presiden selesai berpidato dalam menyampaikan nota keuangan. Maklum saja, karena mayoritas keanggotaan dewan adalah dari Golkar yang merupakan partai pemerintah. Rakyat pada umumnya juga sependapat dengan kebijakan pemerintah yang nampaknya bagus itu, karena dalam hidup berumah tangga saja, pengeluaran harus seimbang dengan penerimaannya.

Selama ini kekurangan dana untuk pembangunan, pemerintah cenderung menempuh melalui cara meminjam dari luar negeri. Anehnya pemerintah selalu bangga apabila pada sidang CGI dikabarkan Indonesia memperoleh pinjaman yang sama, atau lebih besar dari tahun sebelumnya. Dan keberhasilan tersebut selalu dikatakan bahwa itu merupakan bukti dari kepercayaan luar negeri terhadap pemerintah Indonesia. Pinjaman luar negeri ini memang sering diperdebatkan oleh para pakar, apakah pinjaman luar negeri itu merupakan beban bagi generasi yang akan datang atau tidak.

Banyak pakar yang tidak sependapat apabila bantuan luar negeri itu akan membebani generasi mendatang. Tapi, kenyataannyapinjaman luar negeri yang berbentuk valuta asing itu sangat terasa sekali bebannya, terutama terhadap APBN, pada saat Indonesia mengalami keterpurukan ekonomi pada tahun 1997, dimana nilai rupiah terus melemah terhadap dollar AS, yang akibatnya berdampak pada pengeluaran negara yang membengkak pada waktu membayar pokok dan cicilan pinjaman.

BAB II


  1. KERANGKA TEORI


Pasar barang

/IS


Pertumbuhan

ekonomi




Kebijakan fiskal

Defisit anggaran

Agregat demand/AD


Pasar uang/LM

inflasi

Dampak defisit anggaran, akan berpengaruh terhadap perekonomian melalui 2 sektor, yaitu melalui jalur sektor riil dan jalur sektor harga. Dampak defisit anggaran akan berpengaruh terhadap sektor riil melalui pasar barang. Kemudian melalui sektor harga, dampak defisit anggaran dapat dilihat dari tingkat inflasi, permintaan uang dan penawaran uang.

Dari gambar tersebut dapat dilihat hubungan antara 2 pasar yaitu pasar barang dan jasa (IS) dan pasar uang (LM) yang bekerja secara berurutan dan saling mempengaruhi yang akhirnya dapat mempengaruhi fiskal defisit melalui permintaan pemerintah. Demikian juga besarnya defisit juga dapat mempengaruhi money supply dan bersamaan dengan money demand dapat menentukan tingkat bunga. Selanjutnya tingkat bunga dapat mempengaruhi investasi swasta dan permintaan pemerintah.model ini dapat digunakan untuk analisa kebijakan untuk mengetahui dampak dari suatu kebijaksanaan di masa depan.



  1. TINJAUAN PUSTAKA

Defisit anggaran negara adalah selisih antara penerimaan negara dan pengeluarannya yang cenderung negatif, artinya bahwa pengeluaran negara lebih besar dari penerimaannya. Para ahli ekonomi cenderung menghitung defisit anggaran negara itu bukan dari angka absolut, tetapi mengukur dari rasio defisit anggaran negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Apabila kita menghitung defisit anggaran negara sebagai persentase dari PDB, maka akan mendapat gambaran berapa persen suatu negara dapat menghimpun dana untuk menutup defisit tersebut. Selain itu, dengan menghitung besarnya persentase defisit anggaran negara terhadap PDB juga menggambarkan berapa tingkat defisit itu sudah membahayakan keadaan perekonomian (Barro, 1989).

Sebagaimana negara membangun, pada umumnya, kebijakan fiskal yang dilaksanakan Indonesia adalah kebijakan fiskal ekspansif dengan instrumen anggaran defisit (Jaka Sriyana, 2007). Pada dasarnya kebijakan fiskal yang ekspansif dimaksudkan untuk memberikan lebih banyak kelonggaran dana ke dalam masyarakat untuk mendorong perekonomian. Namun, kebijakan fiskal seringkali menjadi kurang efektif kalau tidak didukung oleh situasi atau kondisi yang tepat dan kebijakan lain yang konsisten, bahkan tidak mustahil kebijakan stimulus fiskal justru dapat menghambat laju perekonomian. Misalkan, stimulus fiskal yang semestinya akan meningkatkan aggregate demand, namun bila tidak diimbangi kebijakan moneter yang akomodatif, justru dapat menyebabkan hasil yang kontra produktif (Anggito Abimanyu, 2003).

Selama ini Indonesia cenderung melakukan kebijakan fiskal yang ditunjukkan untuk mendorong perekonomian yang biasa dikenal dengan kebijakan anggaran yang longgar (loose budget policy), yang intinya berupa kenaikan rasio anggaran negara terhadap pendapatan nasional yang berupa kenaikan defisit anggaran atau penurunan surplus anggaran (Anggito Abimanyu, 2003).

Dampak defisit anggaran dilihat dari sisi permintaan dapat dilihat dari peningkatan agregat demand. Dimana agregat demand merupakan fungsi (atau kurva) yang menggambarkan hubungan antara tingkat harga dengan jumlah pengeluaran agregat yang akan dilakukan dalam perekonomian. Perbedaan konsep antara pengeluaran agregat dan permintaan agregat adalah, pengeluaran agregat berlaku pada harga tetap, sedangkan permintaan agregat berlaku pada harga yang berubah. Dampak kebijakan fiskal dari sisi permintaan dipelopori oleh Keynes dalam teorinya (deficit spending). Dimana lahir sebagai reaksi depresi besar di tahun 1930-an di Amerika Serikat. Untuk mengatasi hal itu, Keynes mengusulkan kebijakan fiskal melalui kenaikan belanja untuk mendorong permintaan (Anggito, Abimanyu, 2003).

Jadi dengan adanya kebijakan fiskal yang berupa defisit anggaran diharapkan dapat meningkatkan permintaan agregat. Permintaan agregat dapat meningkat bila komponen-komponen dalam pasar barang atau sektor riil meningkat (IS). Misalnya kenaikan konsumsi, investasi, dan ekspor neto mampu meningkatkan permintaan agregat dan menggesernya ke kanan atas. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan stimulus fiskal, misalnya kenaikan pengeluaran pemerintah atau penurunan pajak. Dimana kenaikan pengeluaran (belanja) pemerintah akan meningkatkan pendapatan nasional (pengeluaran agregat, Y = AE), sehingga konsumsi dan investasi, dan ekspor netto akan meningkat (Sadono, Sukirno, 2004).

Dampak defisit anggaran yang penting terhadap ekonomi, baik dampak positif atau negatif. Misalnya metode penambahan uang dalam ekonomi akan menimbulkan permasalahan meningkatnya tingkat harga barang dan jasa, sehingga menyebabkan peningkatan inflasi (Jaka Sriyana, 2007). Pembiayaan defisit anggaran dengan cara penambahan jumlah uang beredar juga akan memiliki dampak pada peningkatan permintaan uang oleh masyarakat. Hal ini disebabkan adanya penurunan nilai uang dalam ekonomi. Dengan kata lain, masyarakat perlu menambah uang untuk pengeluarannya. Dengan demikian, pembiayaan defisit anggaran oleh pemerintah dengan cara menambahkan uang dalam ekonomi dapat meningkatkan jumlah penerimaan pemerintah (Mankiw,2002).

Sebab-sebab terjadinya defisit anggaran negara antara lain :



  1. Upaya Mempercepat Pertumbuhan Ekonomi

Untuk mempercepat pembangunan diperlukan investasi yang besar dan dana yang besar pula. Apabila dana dalam negeri tidak mencukupi, biasanya negara melakukan pilihan dengan meminjam ke luar negeri untuk menghindari pembebanan warga negara apabila kekurangan itu ditutup melalui penarikan pajak. Negara memang dibebani tanggung jawab yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan warga negaranya. Beban ini meliputi pembangunan program-program, seperti :

a. Program yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, seperti jalan, jembatan, listrik, pelabuhan, dll.

b. Program yang berkaitan dengan Hankam.

c. Pembangunan yang meliputi bidang hukum, seperti proyek-proyek pengadilan, lembaga pemasyarakatan, dll.

d. Program bidang sosial, pendidikan dan kesehatan, seperti sekolah, rumah sakit, panti asuhan.

e. Program yang berkaitan dengan pemerataan pendapatan, seperti program transmigrasi, pembangunan daerah, dll.

f. Program yang menangani masalah kemiskinan, seperti PPK, P3DT.

Semuanya itu diperlukan biaya yang besar, dan diantaranya harus dilaksanakan oleh negara, terutama program nomor b, c, e, dan f, karena swasta/masyarakat tidak mungkin membangun program-program seperti itu.



  1. Rendahnya Daya Beli Beli Masyarakat

Masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia yang mempunyai pendapatan per kapita rendah, dikenal mempunyai daya beli yang rendah pula. Sedangkan barang-barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan, harganya sangat tinggi karena sebagian produksinya mempunyai komponen impor, sehingga masyarakat yang berpendapatan rendah tidak mampu membeli barang dan jasa tersebut. Barang dan jasa tersebut misalnya listrik, sarana transportasi, BBM, dan lain sebagainya. Apabila dibiarkan saja menurut mekanisme pasar, barang-barang itu pasti tidak mungkin terjangkau oleh masyarakat dan mereka akan tetap terpuruk. Oleh karena itu, negara memerlukan pengeluaran untuk mensubsidi barang-barang tersebut agar masyarakat miskin bisa ikut menikmati.

  1. Upaya Pemerataan Pendapatan Masyarakat

Pengeluaran ekstra juga diperlukan dalam rangka menunjang pemerataan di seluruh wilayah. Indonesia yang mempunyai wilayah sangat luas dengan tingkat kemajuan yang berbeda-beda di masing-masing wilayah. Untuk mempertahankan kestabilan politik, persatuan dan kesatuan bangsa, negara harus mengeluarkan biaya untuk misalnya, pengeluaran subsidi transportasi ke wilayah yang miskin dan terpencil, agar masyarakat di wilayah itu dapat menikmati hasil pembangunan yang tidak jauh berbeda dengan wilayah yang lebih maju. Kegiatan itu misalnya dengan memberi subsidi kepada pelayaran kapal Perintis yang menghubungkan pulau-pulau yang terpencil, sehingga masyarakat mampu menjangkau wilayah-wilayah lain dengan biaya yang sesuai dengan kemampuannya.

  1. Melemahnya Nilai Tukar

Indonesia yang sejak tahun 1969 melakukan pinjaman luar negeri, mengalami masalah apabila ada gejolak nilai tukar setiap tahunnya. Masalah ini disebabkan karena nilai pinjaman dihitung dengan valuta asing, sedangkan pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman dihitung dengan rupiah. Apabila nilai tukar rupiah menurun terhadap mata uang dollar AS, maka yang akan dibayarkan juga membengkak. Sebagai contoh APBN tahun 2000, disusun dengan asumsi kurs rupiah terhadap dollar AS sebesar Rp. 7.100,00 dalam perjalanan tahunnanggaran telah mencapai angka Rp. 11.000,00 lebih per US$ 1.00. Artinya bahwa pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman yang diambil dari APBN bertambah, lebih dari apa yang dianggarkan semula.

  1. Pengeluaran Akibat Krisis Ekonomi

Krisis ekonomi Indonesia yang terjadi tahun 1997 mengakibatkan meningkatnya pengangguran dari 34,5 juta orang pada tahun 1996, menjadi 47,9 juta orang pada tahun 1999. Sedangkan penerimaan pajak menurun, akibat menurunnya sektor-sektor ekonomi sebagai dampak krisis itu, padahal negara harus bertanggung jawab untuk menaikkan daya beli masyarakat yang tergolong miskin. Dalam hal ini negara terpaksa mengeluarkan dana ekstra untuk program-program kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat terutama di wilayah pedesaan yang miskin itu.

  1. Realisasi yang Menyimpang dari Rencana

Apabila realisasi penerimaan negara meleset dibanding dengan yang telah direncanakan, atau dengan kata lain rencana penerimaan negara tidak dapat mencapai sasaran seperti apa yang direncanakan, maka berarti beberapa kegiatan, proyek, atau program harus dipotong. Pemotongan proyek itu tidak begitu mudah, karena bagaimanapun juga untuk mencapai kinerja pembangunan, suatu proyek tidak bisa berdiri sendiri, tetapi ada kaitannya dengan proyek lain. Kalau hal ini terjadi, negara harus menutup kekurangan, agar kinerja pembangunan dapat tercapai sesuai dengan rencana semula.

  1. Pengeluaran Karena Inflasi

Penyusunan anggaran negara pada awal tahun, didasarkan menurut standar harga yang telah ditetapkan. Harga standar itu sendiri dalam perjalanan tahun anggaran, tidak dapat dijamin ketepatannya. Dengan kata lain, selama perjalanan tahun anggaran standar harga itu dapat meningkat tetapi jarang yang menurun. Apabila terjadi inflasi, dengan adanya kenaikan harga-harga itu berarti biaya pembangunan program juga akan meningkat, sedangkan anggarannya tetap sama. Semuanya ini akan berakibat pada menurunnya kuantitas dan kualitas program, sehingga anggaran negara perlu direvisi. Anggaran negara yang telah tercantum terlalu rinci dalam dokumen anggaran (DIP, DIPP), pemimpin proyek sulit untuk bisa menyesuaikan apabila terjadi kenaikan harga barang yang melampaui harga standar. Untuk melaksanakan pembangunan proyek yang melampaui standar yang telah ditentukan, pemimpin proyek akan dipersalahkan oleh Badan Pengawas Keuangan, sebaliknya juga apabila pemimpin proyek terpaksa mengurangi volumenya. Akibatnya, negara terpaksa akan mengeluarkan dana untuk eskalasi dalam rangka menambah standar harga itu (Barro, 1989).

BAB III

  1. DATA

  1. Grafik 3.1

Perkembangan Defisit Anggaran Di Indonesia (Milyar Rp)

Periode 1993-2007



Sumber : Nota Keuangan Indonesia, Berbagai Edisi


  1. Grafik 3.2

Perkembangan Penerimaan Pajak, Non Pajak (Milyar Rp)

Periode 1993-2007



Sumber : Nota Keuangan Indonesia, Berbagai Edisi

  1. Grafik 3.3

Perkembangan Utang, Pembayaran Utang, Dan Bunga (Juta Rp)

Di Indonesia, Tahun 2000-2007


Sumber : Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI)


  1. PEMBAHASAN

Dari grafik 3.1 diatas, dapat diketahui bahwa tahun 1993 sampai dengan 2007, perkembangan defisit anggaran yang terbesar terjadi pada tahun 1999. Dimana pada tahun 1999, perkembangan defisit anggaran mencapai Rp 37.848 milyar. Sedangkan pada kuartal 1 di awal tahun 2007, terjadi surplus anggaran Rp 575.000 milyar. Defisit anggaran tersebut berdampak pada beberapa variabel ekonomi makro, antara lain :

(1). Dampak Terhadap Tingkat Bunga

Defisit anggaran ditandai dengan kurangnya pembiayaan pengeluaran negara karena kurangnya penerimaannya yang berasal dari pajak. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam meningkatkan anggaran pembangunan maupun rutin, negara memerlukan penambahan modal, yang berarti permintaan terhadap uang meningkat. Bunga, yang merupakan harga modal itu, akan mengalami tingkat keseimbangan yang lebih tinggi, atau tingkat bunga akan meningkat.

(2). Dampak Terhadap Neraca Pembayaran

Dalam ekonomi terbuka, defisit anggaran dapat mempengaruhi posisi ekspor dan impor dari dan ke manca negara. Dengan meningkatnya tingkat bunga, investasi dalam negeri akan menurun, yang berarti peluang modal asing cenderung masuk mengalir ke dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan investasi dalam negeri. Apabila ini terjadi, maka defisit anggaran mempunyai dua dampak yang berkaitan, yaitu : pertama, defisit anggaran akan meningkatkan defisit neraca pembayaran; kedua, dengan membengkaknya defisit neraca pembayaran, akan menurunkan nilai tukar dalam negeri terhadap mata uang asing.4 Sehingga menurunnya nilai rupiah terhadap valuta asing selama ini bukan saja disebabkan karena faktor psikologis, tetapi juga faktor teknis.
(3). Dampak Terhadap Tingkat Inflasi

Pengeluaran negara yang melebihi penerimaannya berarti anggaran negara itu ekspansif, artinya ada kecenderungan terhadap kenaikan harga-harga umum (inflasi). Karena pengeluaran negara yang digunakan untuk pembangunan proyek-proyek dengan biaya besar dan berjangka lama, selama dalam pembangunan belum dapat menghasilka dalam waktu yang cepat, tetapi sebaliknya, negara telah melakukan pengeluaran-pengeluaran, antara lain untuk upah buruh yang berakibat meningkatnya daya beli masyarakat. Dengan meningkatnya daya beli masyarakat di satu pihak, dan belum ada output yang dihasilkan di lain pihak, akan mendorong harga-harga umum akan meningkat, yang dampaknya adalah pada inflasi. Dalam masa pembangunan yang menggebu-gebu sulit bisa dihindarkan keadaan inflasi ini.

(4). Dampak Terhadap Konsumsi dan Tabungan

Inflasi yang diakibatkan karena defisit anggaran negara itu akan mengurangi pendapatan riil masyarakat. Pengurangan pada pendapatan riil masyarakat itu akan berakibat pada pengurangan baik konsumsi maupun tabungan. Tabungan sangat penting sekali untuk mendorong investasi. Apabila pendapatan riil ini menurun, berarti tingkat konsumsi dan tabungan riil juga menurun, padahal tingkat tabungan riil itu akan berpengaruh terhadap tingkat investasi. Dengan menurunnya tingkat tabungan tersebut, tingkat investasi juga menurun.

(5). Dampak Terhadap Penggangguran

Pengganguran berarti penurunan tingkat kesempatan kerja. Kesempatan kerja tergantung pada besarnya investasi yang dilakukan baik oleh negara maupun masyarakat. Naiknya tingkat bunga akibat dari anggaran negara yang defisit itu, akan berdampak menurunnya gairah untuk investasi, yang berarti banyak proyek-proyek maupun perluasan proyek yang sudah ada tidak dapat dibangun, sehingga berakibat pada pemecatan tenaga kerja atau kurangnya tenaga kerja baru yang masuk dalam lapangan kerja. Dengan demikian defisit anggaran ini juga secara langsung berakibat pada kenaikan peningkatan tingkat penggangguran.

(6). Dampak Terhadap Tingkat pertumbuhan

Pertumbuhan yang meningkat adalah akibat dari meningkatnya investasi, baik dari negara maupun masyarakat. Peningkatan investasi itu bisa terjadi, salah satunya disebabkan oleh situasi keamanan yang kondusif, juga tingkat bunga yang rendah. Tetapi apabila perubahan variabel-variabel tersebut berlawanan dengan yang disebutkan diatas, terutama tingkat bunga yang tinggi akibat defisit anggaran, maka tingkat pertumbuhan yang tinggi tidak akan tercapai atau dapat dikatakan defisit anggaran itu juga mengakibatkan pada penurunan tingkat pertumbuhan.

Dalam upaya memperbaiki posisi keuangan negara dan menyehatkan APBN, pemerintah melakukan berbagi terobosan di berbagai bidang terutama dalam mengoptimalkan penerimaan perpajakan dan melakukan kajian ulang dan penajaman prioritas pengeluaran. Upaya tersebut menuntut diambilnya langkah-langkah kebijakan yang nyata dalam memperbaiki sistem administrasi perpajakan, penghapusan berbagai fasilitas perpajakan, dan perluasan basis pajak. Dilihat dari sumbernya, sebelum tahun 1983, penerimaan negara didominasi oleh penerimaan migas. Ketergantungan terhadap migas yang sifatnya tidak stabil ini kemudian menjadi salah satu faktor pendorong dilakukannya reformasi perpajakan pada tahun 1983.

Pembaruan sistem perpajakan yang secara efektif diberlakukannya sejak tahun 1984/85 terbukti mampu mendorong terjadinya perubahan struktural yang mendasar dalam APBN, yaitu penerimaan yang dari sebelumnya didominasi oleh penerimaan migas, beralih ke penerimaan perpajakan. Di samping itu, sejak tahun 1984/85 sampai dengan sekarang, penerimaan perpajakan memberikan sumbangan terbesar dalam penerimaan negara.

Kebijakan perpajakan dimaksudkan untuk menstimulus perekonomian dan juga sebagai sumber pembiayaan pembangunan yang menganut keadilan, namun rasio penerimaan pajak terhadap PDB belum begitu tinggi. Pada grafik 3.2 dapat dilihat bahwa pada tahun 2001 rasio pajak terhadap PDB mencapai 12,61 persen dan dalam tahun 2002 rasio itu mencapai sebesar 14,58 persen. Sedangkan pada tahun 2007 rasio pajak terhadap PDB cukup tinggi, yaitu sebesar 39,84 persen. Sedangkan penerimaan bukan pajak terhadap PDB, masih begitu rendah rasio non pajak terhadap PDB adalah sebesar 6,43 persen. Kemudian meningkat di tahun 2001 menjadi 7,97 persen. Dan di tahun 2007, rasio non pajak terhadap PDB menjadi 39,84 persen.

Dalam jangka pendek pendapatan terbukti signifikan memiliki pengaruh positif terhadap inflasi. Namun dalam jangka panjang tidak terbukti signifikan tetapi memiliki tanda positif juga. Hal ini dikarenakan kenaikan pendapatan dalam panjang akan dibarengi dengan kenaikan beban pajak untuk peningkatan pembiayaan defisit dengan peningkatan penerimaan dari sektor pajak. Hal ini dalam jangka panjang akan diantisipasi oleh masyarakat, yaitu kenaikan pendapatan saat ini digunakan untuk yang akan datang. Sehingga kenaikan pendapatan dimasa yang akan datang tidak lagi digunakan untuk konsumsi. Sehingga permintaan barang konsumsi relatif stabil atau tingkat kenaikan pendapatan tidak akan berpengaruh terhadap kenaikan barang-barang.

Dari grafik 3.3 menggambarkan bahwa untuk membiayai defisit anggaran, utang pemerintah dari tahun ke tahun cukup tinggi. Baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri. Dari grafik tersebut bahwa utang pemerintah terjadi pada periode 2006, dimana total utang pemerintah mencapai Rp 82.213,00 milyar, dimana utang dalam negeri sebesar 53.417,00 milyar dan utang luar negeri sebesarr Rp 28.796,00 milyar. Sedangkan dengan adanya utang tersebut, pemerintah diwajibkan untuk membayar utang beserta bunganya. Dimana cicilan tergantung dari besarnya utang pada suatu tahun. Bila dalam suatu tahun, total utang sangat tinggi. Maka besarnya pembayaran pokok dan bunga juga lebih tinggi. Perkembangan pembayaran pokok dan bunga yang cukup tinnggi terjadi di tahun 2006, dimana total utang yang mencapai Rp 82.213 Milyar harus dibayar dengan tingkat kewajiban dan bunga yang sangat tinggi, yaitu mencapai Rp 17.057 milyar.

Besarnya defisit anggaran dan utang luar negeri dalam jangka pendek memiliki pengaruh positif tetapi tidak signifikan, sedangkan defisit anggaran dalam jangka panjang terbukti bertanda positif dan berpengaruh terhadap pembayaran cicilan utang. Hasil Dalam jangka pendek tidak signifikan, dikarenakan pada umumnya jenis pinjaman di Indonesia pada umumnya bersifat jangka panjang, dimana pada umumnya besarnya defisit tersebut untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang membutuhkan waktu lama. Sehingga defisit dalam jangka pendek, tidak mempengaruhi besarnya pembayaran cicilan utang. Sedangkan total utang pemerintah dalam jangka pendek memiliki tanda positif tetapi tidak signifikan mempengaruhi pembayaran utang. Akan tetapi dalam jangka panjang total utang terbukti signifikan mempengaruhi pembayaran cicilan utang. Hal ini dikarenakan jenis pinjaman yang dilakukan oleh negara Indonesia adalah pinjaman yang lunak. Dimana utang tersebut pembayarannya memiliki tenggang waktu yang relatif lama. Jadi, terdapat hubungan sebab akibat.


DAFTAR PUSTAKA

http://drummerfan.wordpress.com/2010/01/18/pembiayaan-defisit-anggaran/

http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Neraca+Pembayaran+Indonesia/

http://eprints.undip.ac.id/17902/1/Teguh_Pamuji_TNH.pdf

Maryatmo. (2004). Dampak Moneter Kebijakan Defisit Anggaran Pemerintah dan Peranan Asa Nalar dalam Simulasi Model Makro-Ekonomi Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September 2004.

Abimanyu, Anggito. (2005). Kebijakan Fiskal dan Efektivitas Stimulus Fiskal di Indonesia: Aplikasi Model Makro-MODFI dan CGE-INDORANI. Jurnal Ekonomi Indonesia No. 1 Juni 2005.



Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia 1999, Jakarta


Yüklə 52,42 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə