Teater modern pertemuan 1



Yüklə 267,71 Kb.
səhifə12/12
tarix14.05.2018
ölçüsü267,71 Kb.
#43877
1   ...   4   5   6   7   8   9   10   11   12

Ringkasan


Teater tumbuh dengan korelasi kebudayaan yang luas. Namun demikian, kesadaran masyarakat tidaklah selalu sejalan dengan korelasi kebudayaan yang hidup bersama dirinya. Disinilah posisi sutradara sangat menentukan dalam membuat berbagai pilihan kreatifnya.

Topik Diskusi


    1. Bagaimana menurut pendapat anda hubungan teater dengan kebudayaan?

    2. Bagaimana bila teater tidak sejalan atau tidak berkorelasi dengan masyarakat yang membangun kebudayaannya. Jelaskan pendapat anda

    3. Apakah anda percaya, bahwa teater di Indonesia menyepakati dirinya diperbudak oleh drama? Dan, apa yang dimaksudkan Artaud, bahwa sutradara merupakan tirani dalam teater. Jelaskan pendapat anda

Pertemuan ke 15
TEATER KONTEKSTUAL

SEBUAH CATATAN UNTUK TEATER INDONESIA



  • Di atas panggung, kita menyaksikan seorang perempuan berusia belasan tahun yang merupakan salah seorang siswa SMU di Jawa Timur, bersama dua temannya menampilkan sebuah adegan yang memperlihatkan kepada penonton, bahwa diantara mereka sedang terjadi pembicaraan yang tidak terlalu serius. Mereka bermain kartu di sebuah pos ronda. Perempuan A, tiba-tiba mendengar suara Azan (panggilan sembahyang untuk pemeluk agama Islam). Perempuan A ini, dengan sedikit sempoyongan sambil memegang botol yang mirip botol minum keras, bertanya, “suara apa itu?”. Perempuan B menjawab, “itu suara azan”. Perempuan A menjawab, “Azan?”. “Apa itu azan?”. Perempuan C menjelaskan apa yang dimaksud dengan azan. Perempuan A, kembali mempertanyakan, “Azan itu apa?”.

  • Dialog dalam adegan sebuah pertunjukan teater diatas, hendak menegaskan adanya seseorang yang tidak mengetahui apa itu azan. Sepintas, kita tentu bisa memahami, bahwa ada orang yang tidak tahu Azan itu merupakan kata yang memiliki makna penting dalam panggilan sembahyang umat Islam. Namun demikian, apakah kita bisa memahami, untuk seorang yang sudah berusia belasan tahun, hidup dalam perilaku manusia Indonesia, tidak mengenal azan. Dalam keadaan tidak sadar bagaimanapun, selagi kita masih bisa mengenal orang-orang di sekeliling kita, kalimat-kalimat yang dikumandangkan seorang Mu’azzim itu, sangat mudah untuk dipahami.

  • Seorang pengarang dalam cerita ini, tentu tidak bermaksud untuk menunjukkan kepada kita, bahwa seorang wanita berusia belasan tahun itu tidak mengenal azan, tetapi pengarang drama ini hendak menunjukkan kepada kita, bahwa ada salah seorang warga yang memiliki moralitas tertentu yang tidak peduli dengan adanya suara azan tersebut. Sebagai pembaca maupun penonton kita memahami apa yang terjadi. Tetapi, apakah kita bisa memahami cerita ini, bila kita menghubungkan konteks cerita dengan konteks pelakunya (remaja berusia belasan tahun dan tinggal di Indonesia). Inilah persoalan kita yang pertama, yakni hubungan konteks cerita dengan konteks pelaku.

  • Dalam teater-teater yang menggunakan naskah drama sebagai sumber pertunjukannya, memang terjadi semacam dilema dalam menghubungkan konteks cerita atau drama dengan pelakunya. Seorang anak berusia lima tahun di Taman Kanak-kanak, memerankan seorang Bapak atau Ibu yang terjadi dalam lingkungan mereka. Kita juga bisa menemukan seorang anak sekolah yang memerankan kakek atau nenek, seorang pemabuk, seorang pahlawan perang dan sebagainya. Semua peran-peran itu, bukanlah diri mereka yang sebenarnya, tetapi diri atau pengalaman orang lain yang ditirukan atau dicoba untuk dijelmakan kembali menjadi seorang tokoh atau peran, berdasarkan sebuah naskah drama. Meskipun peran itu dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-hari, tetap saja peran itu bukan diri dan pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi, semua itu dapat dilakukan dan terjadi ratusan, bahkan ribuan tahun lamanya.

  • Cara berteater yang sudah mengakar ratusan hingga ribuan tahun itu, sangat mudah dipahami, dan menjadi cara berteater kita yang sangat umum dan lazim, serta mendapat sambutan yang luas dari masyarakat. Bahkan, jika berteater bukan dengan cara seperti itu, dianggap bukan teater yang sesungguhnya, tetapi eksplorasi gerak, mini kata, “teater murni”, “teater total”, dan sebagainya. Inilah persoalan kita kedua, yakni kebiasaan masyarakat dalam memandang dan memperlakukan teater dengan peniruan pengalaman yang berada diluar diri mereka sendiri.

  • Masyarakat Indonesia adalah masyarakat penonton. Dalam konteks ini muncul anggapan, bahwa tontonan itu adalah tuntunan. Tontonan atau pertunjukan teater diletakkan dalam konteks untuk mendapatkan “pelajaran”, “ajaran”, “pendidikan”, maupun “pengarahan” melalui suatu instrumen yang bernama pesan. Teater dituntut untuk dapat memunculkan pesan tertentu, dan penonton akan memberikan pertimbangan atas pesan tersebut. Pemusatan pada pesan ini melahirkan suatu teater dengan konklusi “hitam-putih”, “baik-buruk”, atau “kebaikan melawan kejahatan”. Akibatnya, penonton tidak memiliki kesempatan untuk membangun konteks pertunjukan atas nama dirinya sendiri. Inilah persoalan kita ketiga, yakni kesempatan penonton untuk menemukan sendiri konteks pertunjukan teater dengan konteks kehidupan sehari-hari mereka.

  • Dari ketiga persoalan tersebut, marilah kita coba lihat sebuah pertunjukan lain di Gelanggang Olahraga Bulungan Jakarta Selatan, beberapa tahun yang lalu. Sebuah panggung dipenuhi oleh balon-balon warna warni. Sejumlah orang menggunakan pakaian pesta. Di tengah panggung terdapat sebuah kue tart, lengkap dengan lilin dan pemotong kue, serta minuman. Salah seorang dari kerumunan orang yang berada di situ –ada yang duduk dan berdiri, menyatakan selamat datang di pesta ulang tahun yang diperingatinya. Suasana ulang tahun pun terjadi. Semua orang merasakan, bahwa dirinya sedang ikut merayakan ulang tahun. Antara penonton dan pemain tidak ada pemisahan yang tegas. Penonton bahkan punya hak bicara, karena dalam pertunjukan tersebut, penonton memang adalah undangan dari yang sedang berulang tahun.

  • Ilustrasi pertunjukan di atas, mencoba memecahkan tiga persoalan kita sebelumnya. Pertanyaan kita, apakah pertunjukan teater semacam ini yang disebut “Teater Kontekstual?”. Jika kita membuka kamus maupun indeks tentang teater, maka hampir pasti kita tidak menemukan istilah yang aneh ini. Dalam arsitektur, kita mengenal kontekstualisme, yaitu sebuah gerakan yang menekankan pengabaian terhadap arsitektur modern untuk memahami dan menanggapi konteks fisik sebuah bangunan (steven Connor, 1989: 73). Apakah kita bisa menariknya dalam pembicaraan tentang “Teater Kontekstual”? Tentu saja tidak, karena terdapat perbedaan signifikan antara pengertian “kontekstualisme” dengan realitas teater itu sendiri.

  • Dalam teater ada suatu contoh tentang Teater of fact, yaitu teater yang mencoba untuk menggambarkan peristiwa yang sedang aktual dengan pertunujukan yang otentik, dan berkembang di Amerika sekitar 1930-an, misalnya lakon The Deputy, dan The Investigation (Edwin Wilson, 1998: 450). Medua massa –terutama surat kabar, menjadi sumber penggalian mereka. Teater ini memang mencoba untuk membangun konteks cerita dengan konteks kehidupan masyarakat, terutama dari pergumulan informasi yang sedang berkembang. Metode semacam ini cukup banyak kita temukan dalam teater-teater di Indonesia, seperti yang dilakukan Teater Gandrik, Teater Koma, maupun Teater Mandiri. Isu-isu aktual dikemas dalam bentuk teater. Dan, ternyata juga mampu menarik minat masyarakat. Apakah teater semacam ini dapat kita sebut teater “kontekstual”? Tentu juga tidak, karena konteks dibangun atas dasar peristiwa di luar diri pelaku dalam teater tersebut.

  • Untuk mendapatkan jawabannya, saya ingin mengajak kita semua untuk memasukinya lewat sebuah pendekatan pembelajaran yang kini mulai digunakan dalam dunia pendidikan kita, yaitu Contextual Teaching and Learning (CTL). Sedikitnya terdapat lima unsur yang mendukung terciptanya “Teater Kontekstual” dengan memahami terlebih dahulu prinsip konstruktivistik, yakni terjadinya pengaktifan pengerahuan yang sudah dimiliki, muncul dan didapatkannya pengetahuan baru, terjadinya pemahaman terhadap suatu pengetahuan, dapat dipraktekkannya pengetahuan dan pengalaman yang didapatkan, serta dapat melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut (dimodifikasi dari pandangan John A. Zahorik (1995: 14-22).

  • Disamping itu, teater “Kontekstual” juga menimbulkan rasa ingin tahu dengan menstimulasi berbagai pertanyaan yang konstruktif, membangun penemuan pada diri penonton, membangun siklus komunal, menampilkan bentuk-bentuk sebagai model penandaan, dan melahirkan “penilaian” yang sesungguhnya datang dari penonton. Dalam prinsip teori “Membaca dan Menyaksikan”, kita mengenal pula teori “Pembaca-Penanggap” (Susan Bennett, 1997: 20-85). Prinsip utamanya adalah titik utama membaca lakon maupun menyaksikan pertunjukan adalah penemuan sendiri oleh pembaca maupun penonton terhadap konteks keberadaan (sosial, psikologis, fisik, kebudayaan, ekonomi, ideologi) dirinya, ketika menghadapi penandaan estetik atau karya-karya seni.

  • Akhirnya, saya mencoba merumuskan apa yang kita bicarakan tentang “Teater Kontekstual” (untuk sementara), meminjam pernyataan Peter Brook, “individu mempersembahkan kebenaran mereka yang paling mempribadi kepada individu lain… membagi pengalaman kolektif bersama mereka”, dan “pengalaman pribadi berhenti menjadi tujuan, dan kita mengarah pada penemuan bersama” (Shomit Mitter, 2002, 157). Teater Kontekstual mengandaikan adanya suatu penjelajahan yang berdasarkan kehidupan masing-masing individu, dan menemukan konteksnya dalam kebersamaan dengan individu lainnya. Apakah ada teater di Indonesia yang bekerja dengan prinsip seperti ini? Apakah prinsip ini menjadi pilihan yang mungkin untuk kita lakukan? Apakah manfaatnya bagi kita semua? Apakah cara berteater yang lain tidak kontekstual, atau perlu berada dalam “jalur” teater kontekstual? Masih banyak pertanyaan lagi yang mesti kita lontarkan pada “Teater Kontekstual”.

Ringkasan

Teater Kontekstual juga menimbulkan rasa ingin tahu dengan menstimulasi berbagai pertanyaan yang konstruktif, membangun penemuan pada diri penonton, membangun siklus komunal, menampilkan bentuk-bentuk sebagai model penandaan, dan melahirkan “penilaian” yang sesungguhnya datang dari penonton.


Topik Diskusi

    1. Apakah yang anda pahami tentang teater kontekstual?

    2. Jelaskan pendapat anda konteks kerja teater dengan lingkungannya.

    3. Cobalah identifikasi teater yang berkiblat pada konteks publiknya

Daftar Pustaka
Bennett., Susan, 1997, Theatre Audience, London and New York: Routledge
Connor, Steven, 1989, Postmodernist Culture, An Introduction to Theories of the Contemporary, Oxford and Cambridge: Basil Blackwell, Inc.
Mitter., Shomit, 2002, Sistem Pelatihan Stanislavsky, Brecht, Grotowski dan Brook, penerjemah Yudi Aryani, Yogyakarta: MSPI dan arti
Wilson., Edwin, 1998, The Theatre Experience, New York: McGraw-Hill Book Company.

                                                                                                            



Zahorik, John A., 1995, Constructivist Teaching (Fastback 390), Bloomington, Indiana: Phi-Delta Kappa Educational Foundation.


Yüklə 267,71 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   4   5   6   7   8   9   10   11   12




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə