Cerpen Lingkungan



Yüklə 13,08 Kb.
tarix21.05.2018
ölçüsü13,08 Kb.
#45169

Cerpen Lingkungan
Kekeringan

Tiga bulan lalu semestinya musim hujan sudah tiba. Alih-alih hujan turun, cuaca menjadi bertambah panas dari hari ke hari.. Saluran irigasi semakin menyusut airnya, bahkan sudah dua minggu belakangan hampir kering. Giman yang tidak memiliki sawah seluas petani-petani lain harus pandai-pandai mengatur strategi agar sawahnya tetap teraliri air. Saat ini, air menjadi barang mewah bagi para petani Desa Brojol. Tinggal sebulan lagi masa panen tiba. Namun, justru kecemasan yang datang melanda. Akankah ia gagal panen untuk ketiga kalinya tahun ini?. Tidak, itu sangat menyakitkan bagi seorang petani, apalagi petani miskin seperti Giman.

Dari kejauhan terlihat Mbah Simo sibuk mengatur aliran air di saluran irigasi. “Saya minta bagian air sedikit, Mbah!. Sudah dua hari sawah saya kering!”. Spontan Giman berteriak melihat sosok Mbah Simo. “Biar penuh dulu sawahku. Memangnya sawahmu saja yang kering!”. Lelaki tua itu terlihat gusar.
“Lebih baik segera bayar hutang berasmu yang kemarin. Tahun kemarin hutangmu sudah ku anggap lunas karena aku kasihan sama anakmu yang mau masuk sekolah. Tapi, sekarang jangan enak-enakkan. Kau harus bayar, mengerti!”, lanjut Mbah Simo dengan nada kesal.
“Bagaimana saya bisa bayar, Mbah, kalau saya tidak bisa panen gara-gara sawah saya kekeringan?!”, sahut Giman tak kalah kesal.
“Lho…yo ojo nyolot, Kowe!. Sawahku itu luas. Kalau kekeringan, aku ruginya juga besar. Tidak bisa dibandingkan dengan sawahmu sing sak iprit kuwi”. Giman segera sadar. Ia harus menahan diri. Ia tidak ingin terlibat masalah dengan Mbah Simo. Bisa-bisa, bunga hutangnya dinaikkan dua kali lipat. Sawah Mbah Simo memang berhektar-hektar. Ia tahu, tidaklah cukup mengalirkan air seharian untuk memenuhi sawah-sawah Mbah Simo. Ia harus bersabar sebentar untuk mendapatkan air.

Dari balik gubuknya, Giman melihat Mbah Simo mulai menjauhi saluran irigasi. Ia segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan menuju saluran irigasi setelah memastikan bahwa Mbah Simo benar-benar pergi. Giman beraksi, ia menyumbat aliran air yang menuju sawah Mbah Simo, kemudian ia mengalirkan air ke sawahnya. Ah, akhirnya dapat air juga, batinnya. Sudah dua hari sawahnya tak teraliri air. Keadaan ini akan bertahan setidaknya hingga sore tiba. Karena, pada sore hari biasanya Mbah simo akan mengecek ulang aliran irigasinya.


***
“Pakde, Pakde!. Cepat ke sawah, Pakde. Sawah Mbah Simo dibakar orang!”. Mitro datang tergopoh-gopoh menghampiri Giman yang sedang mengumpulkan ranting-ranting pohon untuk kayu bakar. “Apa??!. Oalah opo maneh iki?”. Sontak Giman berlari menuju sawah yang tak jauh dari tempat ia mencari ranting kering menyusul Mitro yang telah menghilang di balik pepohonan.

Giman terkejut bukan kepalang. Puluhan orang berkumpul mengelilingi sawah Mbah Simo dengan obor yang menyala-nyala di tangan mereka. Wajah-wajah mereka menunjukkan sikap tak bersahabat. Api berkobar menggila oleh angin senja. Secepat kilat Si Jago Merah menyambar batang-batang padi menguning di hampir separo bagian sawah milik Mbah Simo.


“ Biar tahu rasa dia. Seenaknya saja memonopoli air. Dia pikir hanya sawahnya saja yang butuh air!”, kutuk salah seorang dari mereka.
“Mentang-mentang orang kaya, suka semena-mena!!”, kutuk yang lainnya.
“Dasar pengecut. Dimana Simo?. Kalau berani suruh dia lawan orang satu kampung!!” suara lain menyahut geram.

Mata Giman menyapu kerumunaan orang-orang. Ia mengenali sosok-sosok tubuh itu. Mereka adalah para tetangga Giman. Dikun, Parjo, Sarjono, Lukito. Hampir orang satu kampung!. Mereka kalap dan terus mengumpat-umpat. Mereka melemparkan obor dengan membabi buta ke tumpukan batang padi kering di tepi sawah. Kembali api berkobar semakin besar, melahap habis padi-padi yang hampir panen.


“Tunggu!. Jangan…!. Jangan sawahku!”, reflek Giman berlari mendekat tidak dapat mencegah merambatnya api dari obor yang terlempar. Api menjalar merenggut satu per satu batang padi di sawah Giman.
“Oalah, Gusti!. Kumohon matikan apinya. Itu sawahku..!!!”. Tak ada yang peduli. Tak ada yang mendengar. Riuh redam umpatan orang-orang itu menelan teriakan Giman. Ia terduduk lesu. Ia ingin menangis seperti bayi, jika tidak teringat akan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga yang harus tegar menghadapi apapun.

Arti Persahabatan

Bagiku arti persahabatan adalah teman bermain dan bergembira. Aku juga sering berdebat saat berbeda pendapat. Anehnya, semakin besar perbedaan itu, aku semakin suka. Aku belajar banyak hal. Tapi ada suatu kisah yang membuat aku berpendapat berbeda tentang arti persahabatan. Saat itu, papa mamaku berlibur ke Bali dan aku sendirian menjaga rumah...



“Hahahahaha!” aku tertawa sambil membaca.

“Beni! Katanya mau cari referensi tugas kimia, malah baca komik. Ini aku menemukan buku dari rak sebelah, mau pinjam atau tidak? Kamu bawa kartu kan? Pokoknya besok kamis, semua tugas kelompok pasti selesai. Asal kita kerjakan malam ini. Yuhuuuu... setelah itu bebas tugas. PlayStation!” jelas Judi dengan nada nyaring.

Judi orang yang simpel, punya banyak akal, tapi banyak juga yang gagal, hehehe.. Dari kelas 1 SMA sampai sekarang duduk di kelas 2 - aku sering sekelompok, beda lagi kalau masalah bermain PlayStation – Judi jagoannya. Rasanya seperti dia sudah tau apa yang bakal terjadi di permainan itu. Tapi entah kenapa, sekalipun sebenarnya aku kurang suka main PlayStation, gara-gara Judi, aku jadi ikut-ikutan suka main game.

Sahabatku yang kedua adalah Bang Jon, nama sebenarnya Jonathan. Bang Jon pemberani, badannya besar karena sehari bisa makan lima sampai enam kali. Sebentar lagi dia pasti datang - nah, sudah kuduga dia datang kesini.

“Kamu gak malu pakai kacamata hitam itu?” Tanyaku pada Bang Jon yang baru masuk ke perpustakaan. Sudah empat hari ini dia sakit mata, tapi tadi pagi rasanya dia sudah sembuh. Tapi kacamata hitamnya masih dipakai. Aku heran, orang ini benar-benar kelewat pede. Aku semakin merasa unik dikelilingi dua sahabat yang over dosis pada berbagai hal.

Kami pulang bersama berjalan kaki, rumah kami dekat dengan sekolah, Bang Jon dan Judi juga teman satu komplek perumahan. Saat pulang dari sekolah terjadi sesuatu.

Kataku dalam hati sambil lihat dari kejauhan “( Eh, itu... )”.
“Aku sangat kenal dengan rumahku sendiri...” aku mulai ketakutan saat seseorang asing bermobil terlihat masuk rumahku diam-diam. Karena semakin ketakutannya, aku tidak berani pulang kerumah.
“Ohh iya itu!” Judi dan Bang Jon setuju dengan ku. Judi melihatku seksama, ia tahu kalau aku takut berkelahi. Aku melihat Judi seperti sedang berpikir tentangku dan merencanakan sesuatu.
“Oke, Beni – kamu pergi segera beritahu satpam sekarang, Aku dan Bang Jon akan pergoki mereka lewat depan dan teriak .. maling... pasti tetangga keluar semua” bisikan Judi terdengar membuatku semakin ketakutan tak berbentuk.

Karena semakin ketakutan, terasa seperti sesak sekali bernafas, tidak bisa terucapkan kata apapun dari mulut. “...Beni, ayo...satpam” Judi membisiku sekali lagi.

Aku segera lari ke pos satpam yang ada diujung jalan dekat gapura - tidak terpikirkan lagi dengan apa yang terjadi dengan dua sahabatku. Pak Satpam panik mendengar ceritaku – ia segera memberitahu petugas lainnya untuk segera datang menangkap maling dirumahku. Aku kembali kerumah dibonceng petugas dengan motornya. Sekitar 4 menit lamanya saat aku pergi ke pos satpam dan kembali ke rumahku.

“Ya Tuhan!” kaget sekali melihat seorang petugas satpam lain yang datang lebih awal dari pada aku saat itu sedang mengolesi tisu ke hidung Bang Jon yang berdarah. Terlihat juga tangan Judi yang luka seperti kena pukul. Satpam langsung menelpon polisi akibat kasus pencurian ini.

“Jangan kawatir... hehehe... Kita bertiga berhasil menggagalkan mereka. Tadi saat kami teriak maling! Ternyata tidak ada tetangga yang keluar rumah. Alhasil, maling itu terbirit-birit keluar dan berpas-pasan dengan ku. Ya akhirnya kena pukul deh... Judi juga kena serempet mobil mereka yang terburu-buru pergi” jawab Bang Jon dengan tenang dan pedenya.
Kemudian Judi membalas perkataan Bang Jon “Rumahmu aman - kita memergoki mereka saat awal-awal, jadi tidak sempat ambil barang rumahmu.”

Singkat cerita, aku mengobati mereka berdua. Mama Judi dan Ban Jon datang kerumahku dan kami menjelaskan apa yang tadi terjadi. Anehnya, peristiwa adanya maling ini seperti tidak pernah terjadi.


“Hahahahaha... “ Judi malah tertawa dan melanjutkan bercerita tentang tokoh kesayangannya saat main PlayStation. Sedangkan Bang Jon bercerita kalau dia masih sempat-sempatnya menyelamatkan kacamata hitamnya sesaat sebelum hidungnya kena pukul. Bagaimana caranya? aku juga kurang paham. Bang Jon kurang jelas saat bercerita pengalamannya itu.

“( Hahahahaha... )” Aku tertawa dalam hati karena mereka berdua memberikan pelajaran berarti bagiku. Aku tidak mungkin menangisi mereka, malu dong sama Bang Jon dan Judi. Tapi ada pelajaran yang kupetik dari dua sahabatku ini.



Arti persahabatan bukan cuma teman bermain dan bersenang-senang. Mereka lebih mengerti ketakutan dan kelemahan diriku. Judi dan Bang Jon adalah sahabat terbaikku. Pikirku, tidak ada orang rela mengorbankan nyawanya jika bukan untuk sahabatnya ( Judi dan Bang Jon salah satunya ).
Yüklə 13,08 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə