Kajian Wilayah Negara-Negara Maju Anggota Negara Maju. Negara maju



Yüklə 147 Kb.
səhifə1/4
tarix24.12.2017
ölçüsü147 Kb.
#17303
  1   2   3   4

Kajian Wilayah Negara-Negara Maju


  1. Anggota Negara Maju.


Negara maju adalah sebutan untuk negara yang menikmati standar hidup yang relatif tinggi melalui teknologi tinggi dan ekonomi yang merata. Kebanyakan negara dengan GDP per kapita tinggi dianggap negara berkembang. Namun beberapa negara telah mencapai GDP tinggi melalui eksploitasi sumber daya alam (seperti Nauru melalui pengambilan fosfor dan Brunei Darussalam melalui pengambilan minyak bumi) tanpa mengembangkan industri yang beragam, dan ekonomi berdasarkan-jasa tidak dianggap memiliki status 'maju'.

Pengamat dan teoritis melihat alasan yang berbeda mengapa beberapa negara (dan lainnya tidak) menikmati perkembangan ekonomi yang tinggi. Banyak alasan menyatakan perkembangan ekonomi membutuhkan kombinasi perwakilan pemerintah (atau demokrasi), sebuah model ekonomi pasar bebas, dan sedikitnya atau ketiadaan korupsi. Beberapa memandang negara kaya menjadi kaya karena eksploitasi dari negara miskin di masa lalu, melalui imperialisme dan kolonialisme, atau di masa sekarang, melalui proses globalisasi.

Organisasi seperti Bank Dunia, IMF, dan CIA, biasanya setuju bahwa sekelompok negara maju termasuk:

Anggota Uni Eropa:


  • Austria

  • Belgia

  • Denmark

  • Finlandia

  • Perancis




  • Jerman

  • Yunani

  • Irlandia

  • Italia

  • Luxemburg




  • Belanda

  • Portugal

  • Spanyol

  • Swedia

  • Britania Raya

Negara non-UE:

  • Andorra

  • Islandia

  • Liechtenstein

  • Monako




  • Norwegia

  • San Marino

  • Swiss

  • Vatikan


Negara bukan Eropa:

  • Australia

  • Kanada

  • Korea Selatan

  • Hong Kong

  • Israel




  • Jepang

  • Selandia Baru

  • Singapura

  • Taiwan




  • Amerika Serikat


Perbedaan antara negara miskin dan negara makmur/kaya adalah bukan karena usia negara itu. Hal ini dapat dilihat seperti negara India & Mesir yang sudah berusia lebih dari 2000 tahun tapi tetap miskin. Namun sebaliknya, Australia & New Zealand, yang 150 tahun lalu masih "inexpressive", sekarang sudah menjadi negara yang maju dan makmur/kaya. Perbedaan antara negara miskin & makmur/kaya bukan juga terletak dari kekayaan sumber sumber alamnya. Contohnya, Jepang memiliki territory yang terbatas, 80% pegunungan yang tidak cocok untuk pertanian & peternakan, tetapi menjadi negara ekonomi kedua terbesar didunia. Negara seperti sebuah pabrik besar yang mengambang, mengimpor bahan baku dari seluruh dunia dan mengekspornya kembali keseluruh dunia.

Contoh lainnya adalah Switzerland, yang tidak menanam tanaman Coklat akan tetapi menjadi produsen Coklat terbaik didunia. Di dalam wilayah negaranya yang kecil mereka berternak dan bercocok tanam selama 4 bulan setiap tahunnya. Tidak cukup itu, mereka memproduksi "dairy product" juga yang terbaik mutunya didunia. Switzerland sebuah negara kecil yang mengimpelemntasikan Keamanan, Hukum dan Tenaga Kerja yang membuatnya negara teraman di dunia

Para Executive dari negara makmur/kaya yang berkomunikasi dengan partner mereka di negara miskin menunjukkan tidak ada perbedaan "intelektual" yang berarti. Suku bangsa, warna kulit juga tidak penting ; kaum immigran yang di juluki pemalas di negara asalnya justru berperan sebagai kekuatan yang productive di negara-negara kaya Eropa

Lalu, apa perbedaannya ?? Perbedaannya adalah dari SIKAP / ATTITUDE manusianya, yang terbentuk bertahun tahun oleh Pendidikan dan Kebudayaannya masing masing. Dari analisa perilaku para penduduk di negara makmur/kaya dan sudah maju, kita bisa temukan umumnya mereka mengikuti beberapa prinsip dalam kehidupan mereka sehari hari al :

1. Etika, sebagai prinsip dasar

2. Integritas

3. Tanggung Jawab

4. Menghargai Hukum & Peraturan

5. Menghargai hak hak penduduk lainnya

6. Suka bekerja keras

7. Berusaha keras untuk Menabung

8. Kemauan yang keras

9. Menepati Waktu

Sementara di negara miskin hanya sedikit yang mengikuti prinsip prinsip dasar tersebut dalam kehidupan mereka sehari hari. Kita tidaklah miskin karena kita kekurangan sumber sumber alam atau karena alam sangat kejam kepada kita. Kita miskin karena kita kekurangan SIKAP/ATTITUDE. Kita kekurangan KEINGINAN untuk mengikuti dan menjadikan pelajaran atas prinsip prinsip dasar ini dari masyarakat negara Kaya/Makmur dan Maju.

Studi politik luar negeri kerapkali melibatkan tinjauan domestik dan internasional. Banyak anggapan bahwa faktor-faktor domestik sama kuatnya mempengaruhi out put politik luar negeri. Kerangka teoritis pun selalu mengambil dua pertimbangan yakni unsur domestik dan elemen eksternal.

Jika faktor-faktor domestik itu menentukan kebijakan luar negeri maka kondisi negara-negara itupun ditinjau dari segi perkembangan ekonomi memberikan nuansa terhadap perilakunya di dunia internasional. Klasifikasi sederhana terhadap sebuah negara dalam konteks ekonomi adalah negara-negara maju dan negara-negara berkembang.

Artikel ini akan mengulas pendekatan terhadap studi politik luar negeri negara-negara berkembang. Namun sebelum sampai pada kajian terhadap kebijakan eksternal negara berkembang dilakukan terlebih dahulu survai singkat terhadap kerangka teoritis studi politik luar negeri.

 

Lima kerangka teoritis

            Sebuah daftar kerangka teoritis yang dicatat Lyod Jensen (1982) memaparkan lima model dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri. Pertama, model strategis atau rasional. Pendekatan ini sering digunakan oleh sejarawan diplomatik untuk melukiskan interaksi politik luar negeri berbagai negara atau tindakan para pemimpin negara-negara itu dalam merespon negara lainnya. Negara dan pengambil keputusan dipandang sebagai aktor terpencil yang memaksimalkan tujuannya dalam politik global. Pendekatan ini memiliki kelemahan adalah asumsi kalkulasi rasional yang dilakukan para pengambil kebijakan dalam situasi ideal yang jarang terjadi. Dengan kata lain apa yang disebut rasional oleh peneliti sering dianggap rasional oleh yang lainnya. Bahkan ada kelemahan lainnya bahwa model seperti ini menyandarkan pada intuisi dan observasi.

            Model kedua adalah pengambilan keputusan. Penulis terkenal kerangka analisa ini adalah Richard C Snyder, HW Bruck dan Burton Sapin. Ia menggambarkan modelnya dalam kerangka yang kompleks dengan meneropong jauh kedalam “kotak hitam” pengambilan kebijakan luar negeri. Salah salah satu keuntungan pendekatan ini yakni membawa dimensi manusia kedalam proses politik luar negeri secara lebih efektif.

            Jensen juga menyebutkan adanya model lain yakni politik birokratik. Pendekatan ini menekankan pada peran yang dimainkan birokrat yang terlibat dalam proses politik luar negeri. Menurut Jensen, karena peralihan yang signifikan dalam pemerintahan dan partai-partai politik di banyak negara, maka politik luar negeri tergantung kepada pelayanan pegawai negeri yang lebih permanen untuk informasi dan nasihat. Oleh sebab itu birokrat – termasuk di jajaran Departemen Luar Negeri – mampu mempengaruhi pembentukan politik luar negeri. Namun demikian peran birokrat ini tak bisa dibesar-besarkan karena keterbatasan pengaruhnya juga.

            Keempat, model adaptif menekankan pada anggapan bahwa perilaku politik luar negeri seyogyanya difokuskan pada bagaimana negara merespon hambatan dan peluang yang tersedia dalam lingkungan internasional. Disinilah pilihan politik luar negeri tidak dalam kondisi terbatas namun sangat terbuka terhadap segala pilihan.

            Model kelima disebut Jensen sebagai pengambilan keputusan tambahan. Karena adanya ketidakpastian dan tidak lengkapnya informasi dalam masalah-masalah internasional, disamping banyaknya aktor-aktor publik dan privat yang terkait dengan isu-isu politik luar negeri, maka keputusan tak bisa dibuat dalam pengertian kalkulasi rasional komprehensif.

            Sementara itu studi politik luar negeri negara-negara sedang berkembang disebut-sebut “kurang berkembang”  atau “tidak berkembang”. Namun demikian studi terhadap negara berkembang, untuk membedakan dari negara maju seperi Amerika Serikat atau Inggris, tetap menarik untuk disimak.

  

Studi Polugri Negara Berkembang

Sejauh ini seperti dikatakan Ali E Hilla Dessouki dan Bghat Korany,  ada tiga pendekatan yang mendominasi studi politik luar negeri di negara-negara berkembang baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin.

Pertama, pendekatan psikologis. Pendekatan ini menilai politik luar negeri sebagai fungsi impuls dan idiosinkratik seorang pemimpin. Menurut pandangan ini, raja-raja dan presiden merupakan sumber politik luar negeri. Oleh karena itu perang dan damai merupakan selera pribadi dan pilihan individual.

            Dalam hal ini politik luar negeri dipersepsikan bukan sebagai aktivitas yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan nasional atau sosietal melainkan seperti ditulis Edward Shill tahun 1962 sebagai “bagian dari hubungan masyarakat”. Tujuannya, memperbaiki citra negara, meningkatkan popularitas pemimpin dan mengalihkan perhatian dari kesulitan-kesulitan domestik kepada ilusi-ilusi kemenangan eksternal.

            Terhadap pendekatan ini sedikitnya terdapat tiga kritik. Pertama, pendekatan ini membuat politik luar negeri tampak seperti sebuah kegiatan irasional, bukan masalah analisis sistematik. Kritik kedua, pendekatan ini mengabaikan konteks (domestik, regional dan global) dimana politik luar negeri diformulasikan dan dilaksanakan. Ketiga, pendekatan seperti ini mengabaikan fakta bahwa karena kepentingan mereka dalam survival politik, sebagian besar pemimpin menepiskan sifat eksentriknya yang berlawanan dengan sikap dominan, perasaan publik dan realitas  politik.      

            Memang sulit mengesampingkan variabel idiosinkratik di kebanyakan negara berkembang namun yang lebih penting dianalisa bagaimana konteks pembuatan kebijakan mendorong tipe-tipe kepemimpinan tertentu dan bukan tipe  yang lainnya. Atau bagaimana faktor idiosinkratik pemimpin mungkin mengubah konteks, mempengaruhi orientasi politik luar negeri pemimpin lainnya.

            Kedua, pendekatan negara-negara besar yang dominan di kalangan pakar-pakar realis seperti Hans J Morgenthau. Pendekatan ini memandang politik luar negeri sebagai fungsi konflik Timur-Barat. Singkatnya, politik luar negeri negara-negara berkembang dipandang lemah otonominya. Negara berkembang  dipengaruhi rangsangan eksternal, mereka bereaksi terhadap prakarsa dan situasi yang diciptakan kekuatan eksternal. Kelemahan utama pendekatan ini mengabaikan sumber-sumber dalam negeri dalam politik luar negeri.

            Ketiga, pendekatan reduksionis atau model-builders. Pendapatnya, politik luar negeri negara berkembang ditentukan oleh proses yang sama dan perhitungan keputusan yang membentuk politik luar negeri negara-negara maju. Perbedaan dasarnya adalah kuantifikasinya. Negara berkembang memiliki sumber-sumber dan kemampuan yang kecil. Oleh sebab itu, melaksanakan politik luar negeri dalam skala yang lebih kecil. Pandangan ini berdasarkan asumsi bahwa perilaku semua negara (besar dan kecil, kaya atau miskin, berkembang atau maju) mengikuti model pengambilan keputusan aktor rasional.

            Dikatakan pula, semua negara berusaha meningkatkan kekuasaan dan semua negara juga dimotivasi oleh faktor-faktor keamanan. Oleh karena itulah, politik luar negeri negara-negara berkembang persis sama seperti negara maju namun dalam level lebih rendah. Pendekatan ini tidak memperhitungkan karakter khusus seperti modernisasi, pelembagaan politik yang rendah dan status ketergantungan dalam stratifikasi sistem global.

            Salah satu ciri-ciri kajian baru, berbeda dengan tiga pendekatan tadi, menekankan kepada sumber-sumber politik luar negeri dan bagaimana proses modernisasi dan perubahan sosial mempengaruhi perilaku eksternal negara-negara berkembang.

            Misalnya karya Weinstein tentang politik luar negeri Indonesia yang menghasilkan pandangan adanya tiga tujuan politik luar negeri. Pertama, mempertahankan kemerdekaan bangsa melawan ancaman yang dipersepsikan. Kedua, mobilisasi sumber-sumber eksternal untuk pembangunan dalam negeri. Dan ketiga, mencapai sasaran-sasaran yang berkaitan dengan politik dalam negeri seperti mengisolasi salah satu oposisi politik dari dukungan luar negeri, memanfaatka legitimasi untuk tuntutan-tuntutan politik domestik dan menciptakan simbol-simbol nasionalisme dan persatuan nasional.

            Contoh lain kajian baru politik luar negeri negara berkembang menekankan sumber-sumber domestik dan bagaimana proses modernisasi dan perubahan sosial mempengaruhi perilaku eksterrnal. East dan Hagen menggaris bawahi faktor sumber-sumber untuk membedakan dengan ukuran-ukuran faktor itu berupa jumlah absolut sumber-sumber yang tersedia dengan faktor modernisasi yang artinya kemampuna memobilisasi, mengontrol dan menggunakan sumber-sumber ini. Modernisasi itu sendiri dipandang sebagai proses dimana negara-negara meningkatkan kemampuannya untuk mengontrol dan menggunakan sumber-sumbernya. Ini berarti, negara yang modern punya kemampuan yang lebih besar dalam bertindak.

            Unsur penting lainnya kajian politik luar negeri negara berkembang menekankan pada posisi ekonomi politik aktor dalam startifikasi sistem global. Johan Galtung seperti dikutip Marshall R Singer melukiskan dengan jelas tentang stratifikasi dalam sistem internasional ini. Galtung memaparkan bahwa sistem politik internasional mirip dengan sistem feodal yang terdiri dari negara besar alias  “top dog”,  negara menengah dan regional serta negara berkembang atau negara “underdog” yang lebih kecil.

Dalam konteks ini, ketidaksederajatan menjadi fokus utama. Negara berkembang eksis dalam tatanan dunia ini dicirikan dengan ketidaksederajatan antara negara dalam level pembangunan sosial ekonomi, kemampuan militer dan stabilitas politik dan prestise. Akibatnya, penetrasi luar terada proses pengambilan keputusan negara-negara berkembang. Aktor eksternal berpartisipasi secara otoritatif dalam alokasi sumber-sumber dan determinasi sasaran-sasaran nasional. Dalam hal ini banyak karya ilmiah sudah ditulis tentang peranan Dana Moneter Internasional (IMF), perusahaan multinasional dan bantuan luar negeri negara-negara besar.

            Dari berbagai pendekatan yang ada, tulis Hillal dan Korany, analisis yang memadai terhadap politik luar negeri negara-negara berkembang semestinya mempertimbangkan bahwa politik luar negeri adalah bagian dan paket situasi umum Dunia Ketiga dan merefleksikan evolusi situasi ini. Dengan demikian, proses politik luar negeri tak dapat dipisahkan dari struktur sosial domestik atau proses politik domestik.

            Menurut Hillal dan Korany, untuk memahami politik luar negeri negara Dunia Ketiga perlu membuka “kotak hitam”. Dunia Ketiga ini banyak dipengaruhi stratifikasi internasional. Meskipun negara berdaulat namun negara-negara Dunia Ketiga, dapat dirembesi, dipenetrasi dan bahkan didominasi. Oleh sebab itu penting pula melihat struktur global yang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri.

            Sedikitnya ada tiga persoalan besar yang dihadapi negara berkembang dalam  melaksanakan politik luar negerinya. Pertama, dilema bantuan dan independensi. Negara Dunia Ketiga mengalami dilema anara memiliki bantuan luar negeri atau mempertahankan independensi nasional.

            Kedua, dilema sumber-sumber dan tujuan yang lebih menekan di negara berkembang dibandingkan negara maju. Dilema ini menyangkut kemampuan para pengambil kebijakan mengejar tujuan di tengah realisme kemampuan negaranya.

            Keempat, dilema keamanan dan pembangunan yang merupakan versi modern dari debat lama “senjata atau roti”. Sejumlah pakar menilai politik luar negeri terutama merupakan proses atau aktivitas yang tujuan utamanya adalah mobilisasi sumber-sumber eksternal demi pembangunan masyarakat.

            Dari paparan teoritis tentang berbagai pendekatan untuk memahami politik luar negeri sebuah negara dan spesifik lagi untuk mengetahui lebih jauh politik luar negeri negara berkembang, penulis menyusun sebuah kerangka analisis sendiri. Kerangka analisis itu terdiri dari empat pilar yakni, lingkungan domestik, orientasi politik luar negeri, proses pengambilan keputusan dan perilaku politik luar negeri.

            Ada baiknya unsur-unsur ini diuraikan untuk mengetahui bobot dan rangkaiannya dalam meneliti input dan outputs politik luar negeri berkembang. Pertama, dalam unsur lingkungan domestik sejumlah faktor dianalisa untuk mengetahui apakah yang memperkuat dan menghambat politik luar negeri seperti geografi, struktur sosial, kemampuan ekonomi, kemampuan militer dan struktur politik. Dalam kajian struktur politik dibahas sejauh mana elemen ini memberikan peluang atau menghambat para pengambil keputusan. Menyangkut struktur politik diantaranya stabilitas, legitimasi, tingkat institusionalisasi dan tingkat dukungan publik. Faksionalisasi politik dan instabilitas domestik biasanya menghambat pelaksanaan sebuah politik luar negeri.

            Tingkat yang rendah dalam institusionaliasi dan tingginya instabilitas politik di sebagian besar negara berkembang menghasilkan sejumlah hal. Salah satunya adalah keutamaan eksekutif, khususnya dalam pengembangan pusat presiden yang mendominasi proses pengambilan keputusan. Kelembagaan presiden biasanya menikmati kebebasan relatif karena tiadanya kebebasan pers atau oposisi yang kuat. Di negara-negara seperti ini hubungan antara kebijakan domestik dan luar negeri lebih langsung daripada negara maju yakni politik luar negeri dikerahkan untuk mencapai tujuan domestik.

            Orientasi politik luar negeri menyangkut salah satu komponen output politik luar negeri. Komponen lainnya adalah keputusan dan tindakan. Orientasi adalah cara elit politik luar negeri sebuah negara mempersepsikan dunia dan peran negaranya di dunia. Holsti mendefinisikan orientasi sebuah negara sebagai “sikap umum (sebuah negara) dan komitmen terhadap lingkungan eksternal, strategi fundamental untuk mencapai tujuan domestik dan tujuan serta aspirasi eksternal  dan untuk menghadapi ancaman yang ada.” Ia mendefinsikan tiga orientasi yakni isolasi, nonblok dan koalisi. Orientasi ini biasanya stabil. Perubahan berlangsung jika terjadi peralihan radikal struktur politik domestik, keseimbangan regional dan sistem global.

            Llyod S Ethredge seperti dikutip Jensen melihat adanya dua orientasi individual terhadap sistem politik internasional yakni introvert dan ekstrovert. Kemudian ia membuat matriks dengan mengkaitkannya dengan unsur dominasi. Ia melukiskannya sebagai berikut :


 

Introvert

Ekstrovert

Dominasi tinggi

(pembentukan ulang)



Pemimpin blok

 


Pemimpin (penyatuan) dunia)

Dominasi rendah

(memelihara)



Mempertahankan

 


Konsiliasi

 


 

            Selanjutnya unsur proses pengambilan keputusan yang menekankan personalisasi karakter proses pengambilan keputusan dan lemahnya institusionalisasi di negara-negara berkembang. Sebenarnya pengambilan keputusan tidak sesedehana itu. Seorang pemimpin mungkin mengambil kata akhir untuk menentukan beberapa alternatif namun ia harus mempertimbangkan banyak variabel dan harus mengingat respon berbagai kelompok domestik yang berpengaruh. Dalam banyak contoh unit utama pengambilan keputusan bukanlah presiden secara individual melainkan presiden sebagai lembaga.

            Perilaku politik luar negeri  yang merupakan kerangka analisis berikutnya berisi tindakan dan posisi konkret serta keputusan negara yang diambil atau disahkan dalam melaksanakan politik luar negeri. Tindak-tanduk politik luar negeri merupakan ekspresi konkret orientasi dalam tindakan spesifik. Pada umumnya perilaku politik luar negeri dicirikan dengan dukungan dari PBB.

            Sementara itu studi politik luar negeri misalnya Indonesia  sudah banyak dilakukan baik oleh akademisi dalam negeri maupun kalangan peneliti asing. Leo Suryadinata mengkategorikan kajian politik luar negeri dalam dua pendekatan yakni studi makro dan mikro. Ia menyebutkan mereka yang studi makro antara lain Franklin Weinstein, Anak Agung Gde Agung dan Michael Leifer.

            Sedangkan studi skala mikro misalnya dilakukan John M Reinhardt, JAC Mackie, David Mozingo dan Dewi Fortuna Anwar. Perlu ditambahkan pula studi mutakhir bersifat mikro terhadap politik luar negeri Indonesia dilakukan Rizal Sukma.

            Studi terhadap politik luar negeri juga biasanya membaginya berdasarkan periode Sukarno dan Soeharto. Sebagian besar studi politik luar negeri era Soeharto diterbitkan tahun 1970-an dan awal 1980-an.  Studi yang dilakukan Rizal selesai dalam bentuk disertasi tahun 1997. Jadi tergolong baru dibandingkan studi terakhir yang dilaksanakan Leo yang terbit tahun 1996.

Dimensi politik luar negeri negara-negara berkembang lebih kompleks dibandingkan dengan model untuk studi politik luar negeri negara-negara maju. Lima model yang diajukan Jensen dalam kajian politik luar negeri, tidak mencukupi untuk menguraikan rangkaian yang terkait dengan politik luar negeri yang dilakukan negara sedang berkembang.

            Unsur-unsur domestik seperti pembangunan ekonomi, politik, struktur sosial serta instabilitas yang terkandung dalam proses perumusan serta aktualisasi politik luar negeri sangat besar pengaruhnya. Bahkan dalam skala tertentu, negara berkembang cenderung memiliki instabilitas tinggi dibandingkan dengan negara maju sehingga polanya tidak ajeg.            Disamping itu faktor sistem internasional dimana hegemoni negara besar juga berpengaruh, perilaku politik luar negeri juga mengikuti arus internasional. Ketergantungan ekonomi dan politik negara berkembang terhadap negara besar menyebabkan keterbatasan dalam melaksanakan politik luar negerinya.

Pemerintah Indonesia dan Jepang akan menyampaikan kajian evaluasi kemungkinan tercapainya Target Bogor (Bogor Goals) bagi negara-negara maju pada 2010 dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Singapura, 14-15 November 2009.

"Seperti kita tahu, negara-negara maju APEC sepakat melakukan perdagangan bebas pada 2010 dan untuk negara-negara berkembang pada 2020," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah di Jakarta, Jumat. Teuku Faizasyah mengatakan bahwa negara-negara APEC memiliki waktu untuk mengaji kesiapan itu sebelum pertemuan APEC selanjutnya di Jepang pada 2010. Bogor Goals merupakan deklarasi yang dihasilkan dalam KTT APEC 1994 lalu di Bogor untuk mewujudkan visi kerjasama ekonomi.

Bogor Goals APEC bertujuan untuk menciptakan sistem perdagangan dan investasi yang bebas, terbuka dan adil dikawasan tahun 2010/2020 untuk ekonomi maju dan ekonomi berkembang, memimpin dalam memperkuat sistem perdagangan multirateral yang terbuka, meningkatkan liberalisasi perdagangan dan jasa.

Kemudian, mengintensifkan kerja sama ekonomi di Asia-Pasifik dan mempercepat proses liberalisasi melalui penurunan hambatan perdagangan dan investasi yang lebih jauh, meningkatkan arus barang, jasa, modal secara bebas dan konsisten dengan GATT.

Pendekatan Bogor Goals dilakukan dengan menyepakati pedoman kerja sama APEC yang dikenal sebagai "Agenda Aksi Osaka (OAA)" yang memuat tiga pilar kerja sama ekonomi APEC --liberalisasi perdagangan dan investasi, fasilitasi usaha, dan kerja sama ekonomi dan teknik--, prinsip umum kerja sama, instrumen pokok kerjasama dan bidang-bidang kerjasama APEC.

Tema KTT APEC 2009 adalah "Sustaining Growth, Connecting the Region". Tema itu merefleksikan adanya proses yang berkelanjutan di APEC untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi di kawasan Asia-Pasifik pada khususnya, dan merespon tantangan-tantangan dari kondisi perekonomian dunia saat ini pada umumnya.

Dalam rangkaian pertemuan APEC tahun ini, para anggota Ekonomi APEC membahas langkah-langkah yang diperlukan guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan mengatasi krisis ekonomi dunia, dukungan terhadap sistem perdagangan multilateral dan usaha-usaha untuk mempercepat integrasi ekonomi kawasan.

Lebih lanjut Faiza mengatakan bahwa secara khusus Indonesia dapat menggunakan pertemuan APEC itu untuk menyampaikan kepada pemerintah-pemerintah negara APEC program dan komitmen dari pemerintahan kabinet baru di Indonesia.

APEC adalah forum kerja sama ekonomi Asia Pasifik yang terbentuk pada 1989. Pada awalnya terdapat 12 negara sebagai pendiri yaitu Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Indonesia, Jepang, Republik Korea, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Thailand, dan Amerika Serikat.

Sejak saat itu telah menjadi wahana utama di kawasan Asia Pasifik dalam meningkatkan keterbukaan dan praktik kerja sama ekonomi sehingga dapat menarik masukan beberapa negara yaitu Republik Rakyat China, Hongkong-Cina dan Chinese-Taipe untuk bergabung pada 1991 yang kemudian disusul masuknya Meksiko dan Papua New Guinea tahun 1993 serta Chili pada 1994.

Sedangkan tiga ekonomi anggota terakhir yaitu Federasi Rusia, Peru dan Vietnam bergabung dalam forum APEC tahun 1998 Beranggotakan 21 anggota Ekonomi, APEC merupakan forum kerja sama ekonomi di wilayah Asia-Pasifik yang bersifat sukarela, informal dan tidak mengikat.

APEC bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi kawasan dan memperkuat kerja sama ekonomi Asia-Pasifik melalui peningkatan volume perdagangan dan investasi. Indonesia mendukung peran penting APEC dalam meningkatkan kerja sama ekonomi di kawasan dan berperan aktif dalam pengembangan arah kerja sama APEC kedepan.

Partisipasi Indonesia di APEC dilandaskan pada pentingnya mengantisipasi dan mengambil keuntungan dan mengamankan kepentingan nasional RI dari era perdagangan dan investasi yang semakin bebas di Asia Pasifik.

Manfaat lain dari forum APEC bagi Indonesia adalah sebagai tempat melibatkan komunitas bisnis Indonesia dalam proses pengembangan kebijakan, sarana pengembangan kapasitas melalui pemanfaatan proyek-proyek APEC.

Selain itu, APEC merupakan forum bertukar pengalaman, serta forum yang memungkinkan Indonesia untuk memproyeksikan kepentingan-kepentingannya dan mengamankan posisinya dalam tata hubungan ekonomi internasional yang bebas dan terbuka.


Yüklə 147 Kb.

Dostları ilə paylaş:
  1   2   3   4




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə