Kerja sama Operasi, bagaimana aspek perpajakannya



Yüklə 81,86 Kb.
tarix29.03.2018
ölçüsü81,86 Kb.
#35470

Kerja sama Operasi , bagaimana aspek perpajakannya??

02/05/2014



oleh Rahmansyah

http://mrahmansyah.weebly.com/artikel/kerja-sama-operasi-bagaimana-aspek-perpajakannya


 

Kerjasama Operasi atau yang lazimnya disebut Joint Operation tidak selalu terdiri dari 2 (dua) pengusaha. Kerjasama Operasi (selanjutnya disebut KSO) juga dapat terdiri dari 3 (tiga) atau lebih pengusaha yang melangsungkan usaha atau proyek yang cenderung bersifat sementara.

Secara garis besar, terdapat 2 (dua) jenis KSO, yaitu KSO yang terpisah dari anggotanya dan KSO yang tidak terpisah dari anggotanya. KSO yang terpisah dari anggotanya sering disebut sebagai KSO Administratif, artinya administrasi usaha sepenuhnya dilakukan atas nama KSO, mulai dari pengajuan tender, penandatanganan kontrak kerja hingga penagihan hasil kerja atau penerbitan invoice kepada customer.

KSO yang kedua sering disebut sebagai KSO Non Administratif. Kontrak kerja dilakukan atas nama masing-masing anggota KSO dan tanggungjawab kerja ada pada masing-masing anggota KSO. Atau dengan kata lain, dalam hal ini KSO hanya ditujukan sebagai alat koordinasi para anggotanya saja.

KSO Administratif

Sebagai entitas yang terpisah dari anggotanya, KSO Administratif harus memiliki NPWP sendiri. Adapun untuk memperoleh NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) dan NPPKP (Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak), KSO harus mengisi formulir Permohonan Pendaftaran dan Perubahan Data Wajib Pajak yang telah diisi dan menandatanganinya. Tidak hanya mengisi dan menandatangani formulir yang sesuai, dokumen-dokumen di bawah ini juga wajib dilampirkan pada formulir pendaftaran NPWP KSO:



  • Fotokopi Perjanjian Kerjasama sebagai KSO;

  • Fotokopi Kartu NPWP masing-masing anggota KSO;

  • Fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia, atau Paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang (sekurang-kurangnya lurah atau kepala desa bagi orang asing), dari salah seorang pengurus KSO.

Karena KSO Administratif merupakan entitas yang berbeda dari para anggotanya, maka setiap penyerahan barang atau jasa anggota kepada KSO -ataupun sebaliknya- dapat memiliki implikasi perpajakan. Dengan demikian jika KSO telah memiliki NPWP dan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP),  KSO wajib:

  1. Memotong pajak atas pembayaran yang menjadi Objek Pemotongan PPh kepada anggota KSO, ataupun sebaliknya; dan

  2. Memungut PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) kepada anggota KSO, ataupun sebaliknya.

Seiring dengan kepemilikan NPWP, KSO Administratif harus menyelenggarakan pembukuan sendiri yang terpisah dari para anggotanya, dimana pembukuan tersebut pada dasarnya adalah sama dengan pembukuan perusahaan-perusahaan lain.

KSO Non Administratif

Karena tidak menjadi entitas usaha yang terpisah dari anggotanya, KSO Non Administratif tidak perlu didaftarkan untuk memiliki NPWP. Dan karena tidak menjadi entitas yang berbeda dari para anggotanya, tidak ada aspek perpajakan atas setiap penyerahan barang dan/atau jasa dari anggota KSO ke KSO ataupun sebaliknya.

Mengingat KSO Non Administratif bukan entitas usaha yang berdiri sendiri, KSO Non Administratif dapat mengabaikan penyelenggaraan pembukuan yang khusus bagi KSO. Pembukuan dapat dicatat oleh masing-masing anggota KSO. Namun akan lebih baik jika pembukuan khusus untuk KSO MBA tetap diselenggarakan, antara lain agar:



  • Masing-masing anggota KSO dapat mengetahui jumlah dan jenis kontribusi yang diberikan terhadap KSO;

  • Masing-masing anggota KSO dapat mempertanggungjawabkan keuntungan yang diperoleh dari KSO, begitupun sebaliknya; dan

  • Masing-masing anggota KSO dapat menilai kinerja bisnis MBA.

Tidak berani menanggung resiko sendiri untuk proyek usaha yang cenderung tidak permanen? Sah-sah saja jika Anda membentuk KSO!

PAJAK TERKAIT KERJA SAMA OPERASI ATAU JOINT OPERATION BAGI PERUSAHAAN REAL ESTATE


Posted on March 23, 2015 by ketutsuastika

http://sopindoconsulting.com/?p=297

Hal-hal yang terkait aspek perpajakan Kerja Sama Operasi perusahaan real estate atau developer adalah:

Kerja Sama Operasi (KSO) atau Joint Operation (JO) adalah merupakan kerjasama operasi dua badan atau lebih yang sifatnya sementara hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan. Dengan demikian JO bukan merupakan Subjek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b UU PPh, dan oleh karenanya pengenaan PPh atas penghasilan dari proyek tersebut dikenakan pada masing-masing badan anggota JO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterimanya.

Mengingat bahwa Kerjasama Operasi bukan merupakan Subjek Pajak, maka Kerjasama Operasi tidak berkewajiban untuk menyampaikan laporan dan membayar PPh Pasal 25 serta PPh Pasal 29, sedangkan kewajiban yang ada hanya sebagai Wajib Pajak pemotong/pemungut PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 atau PPN.

Pemberian NPWP adalah semata-mata untuk keperluan pemungutan dan pemotongan PPh Pasal 21, Pasal 23/26 dan PPN yang dilakukan oleh KSO terhadap objek atas imbalan yang dibayarkan.

Untuk kewajiban PPN, KSO tetap wajib dikukuhkan sebagai PKP.
Berdasarkan hal tersebut, maka :


  1. Kewajiban PPh atas pengalihan tanah tersebut ke konsumen akhir real etate adalah dengan melakukan pemecahan pajak penghasilan sesuai dengan porsi pembagian hasil dari KSO.

  2. Sesuai dari referensi peraturan pajak yakni SE - 80/PJ/2009 tentang pelaksanaan pajak penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diterima atau  diperoleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dikatakan bahwa dalam hal terdapat dua atau lebih Wajib Pajak bekerja sama membentuk Kerja Sama Operasi (KSO)/Joint Operation (JO) melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maka PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dibayar oleh masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO.

Untuk Kewajiban PPNnya, mengingat KSO merupakan PKP, apabila konsep kerja samanya salah satu pihak menyerahkan aset berupa tanah dan menerima bagi hasil atas penjualan real estate, maka penyerahan tanah dari Pihak yang mempunyai tanah ke KSO terutang PPN dan KSO dapat mengkreditkannya di laporan PPNnya. Kemudian atas penjualan real estatenya merupakan PPN keluaran KSO.

Perlakuan Perpajakan Atas Konsorsium

http://pajaktaxes.blogspot.co.id/2015/06/perlakuan-perpajakan-atas-konsorsium.html

diakses tanggal 21/12/2016







Konsorsium bukan subjek pajak menurut Pajak Penghasilan. Tetapi subjek pajak badan menurut Pajak Pertambahan Nilai. Walaupun bukan subjek pajak, konsorsium wajib mendaftarkan diri dan memiliki NPWP karena terhadap konsorsium tetap ada kewajiban PPh atas pemotongan dan pemungutan (Potput) PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Juga Wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Konsorsium sering disebut Joint Operation (JO). Konsorsium atau JO merupakan operasi dua badan atau lebih yang sifatnya sementara hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan.

Dari pengertian tersebut, dapat kita "cirikan" karakteristik konsorsium:


  1. kumpulan dua badan atau lebih,

  2. bersifat sementara dan didirikan tidak untuk selamanya,

  3. bertujuan untuk melaksanakan suatu proyek.

Kesementaraan konsorsium ditentukan oleh proyek. Artinya, konsorsium ada selama proyek sedang dikerjakan. Jika sudah selesai, maka konsorsium bubar. NPWP harus dihapus.


PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN
Kewajiban perpajakan konsorsium dari sisi Pajak Penghasilan bisa dibagi dua:

  • kewajiban PPh Badan, dan

  • kewajiban PPh Potput.  

Konsorsium bukan subjek pajak sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPb berbunyi:

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Sampai dengan saat ini, tidak ada peraturan baik tingkat menteri keuangan maupun direktur jenderal yang menyebut bahwa konsorsium atau JO bukan subjek pajak. Penyataan bahwa JO bukan subjek pajak hanya pada surat korespondensi antara Wajib Pajak dengan DJP. Dan surat yang sering menjadi rujukan adalah S-823/PJ.312/2002 tanggal 24 Oktober 2002.

Karena bukan subjek pajak maka konsorsium tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan dan membayar PPh Badan. Tentu saja tidak ada kewajiban PPh Pasal 25 atau PPh Pasal 29.

Konsekuensi dari bukan subjek pajak maka:


  • Penghasilan Bruto dikenakan di masing-masing anggota konsorsium (badan-badan yang berkumpul sebagai konsorsium).

  • Biaya-biaya dibebankan di masing-masing anggota konsorsium.

Intinya, konsorsium itu tidak memiliki penghasilan dan biaya.

Bagaimana jika konsorsium dipotong PPh oleh pihak pemberi penghasilan? Bukti potong konsorsium dapat dipecah dan didistribusikan ke masing-masing anggota konsorsium.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-44/PJ./1994 memberikan petunjuk pelaksaan pemecahan Bukti Potong yang diterima oleh konsorsium. Begini tahapannya:


  1. JO mengajukan permohonan pemecahan Bukti Potong ke KPP dimana JO terdaftar.

  2. KPP konfirmasi Bukti Potong ke KPP dimana pemotong terdaftar.

  3. KPP dimana JO terdaftar menerbitkan SKKPP dan dilakukan Pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.

  4. Pemindahbukuan tidak boleh dilakukan ke jenis pajak lain yang menjadi kewajiban JO

  5. KPP mengirimkan Bukti Pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.

  6. Anggota JO mengkreditkan Bukti Potong di SPT Tahunan PPh Badan.

Dengan demikian, mulai biaya-biaya yang timbul, penghasilan bruto yang diterima, dan kredit pajak (Bukti Potong) diperhitungkan di SPT Tahunan PPh Badan masing-masing anggota JO.

Dalam praktek, ada konsorsium yang memiliki kantor dan administrasi. Konsorsium jenis ini sering disebut administrative JO. Menurut Ruston Tambunan, administrative JO memiliki ciri-ciri:



  • kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO

  • Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing anggota JO

  • pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja,  biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of works) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.

Dalam hal konsorsium memiliki "manajemen" dan memiliki laporan keuangan maka seharusnya konsorsium memiliki kewajiban PPh Badan. Konsorsium seperti ini diperlakukan sebagai subjek pajak.
  
Kenapa harus diperlakukan sebagai subjek pajak? Karena:

  • memiliki penghasilan yang didistribusikan ke anggota konsorsium sesudah  dikurangkan dengan biaya. 

  • penghasilan yang diterima anggota konsorsium sudah neto.

Kenapa penghasilan bruto konsorsium yang bukan subjek pajak harus dibagi habis ke anggota? Karena Indonesia menganut classical system yaitu sistem pemisahan yang tegas antara entitas usaha di satu sisi dengan pemilik modal di sisi lain. Baik entitas usaha maupun pemilik modal masing-masing sebagai subjek pajak terpisah. Masing-masing memiliki kewajiban pelaporan SPT Tahunan. Masing-masing menghitung penghasilan neto.




KEWAJIBAN WITHHOLDING TAXES
Sekarang kita fokuskan konsorsium sebagai pemberi penghasilan. Contoh konsorsium sebagai pemberi penghasilan:

  • memberikan gaji ke buruh,

  • menyewa alat berat atau aktiva lain,

  • menyewa tanah dan/atau bangunan untuk kantor,

  • membayar jasa lainnya yang merupakan objek PPh Pasal 23, dan

  • membayar penghasilan ke subjek pajak Luar Negeri.

Kewajiban konsorsium dalam hal withholding taxes atau POTPUT sama saja dengan subjek pajak. Artinya, konsorsium wajib memotong PPh atas penghasilan yang diberikan kepada subjek pajak lain. PPh yang sudah dipotong tersebut kemudian disetorkan ke Kas Negara melalui bank persepsi. Kemudian konsorsium membuat bukti potong, SPT Masa PPh dan melaporkan ke KPP terdaftar.


KEWAJIBAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 secara tegas mengatakan bahwa Kerja Sama Operasi atau Joint Operation termasuk dalam pengertian badan dan wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pasal 3 ayat (2)  Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 berbunyi:

Bentuk kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama bentuk kerja sama operasi.

Bagian penjelasan Pasal 3 ayat (2)  Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2012 memberikan contoh-contoh bagaimana perlakukan perpajakan untuk JO. Berikut kutipan


penjelasan Pasal 3 ayat (2) :

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT ABC dan PT DEF membuat perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT ABC dan PT DEF membentuk joint operation.

Dalam perjanjian kerja dengan pelanggan (pemilik proyek) diatur bahwa semua transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek) dilakukan atas nama joint operation.

Berdasarkan hal di atas:
a.     joint operation wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b.     atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek), joint operation wajib menerbitkan Faktur Pajak;
c.     apabila dalam rangka joint operation tersebut, PT ABC atau PT DEF atas nama joint operation melakukan penyerahan langsung kepada pelanggan (pemilik proyek), maka penyerahan tersebut dianggap sebagai penyerahan dari PT ABC atau PT DEF kepada joint operation, sehingga PT ABC atau PT DEF harus membuat Faktur Pajak kepada joint operation dan joint operation membuat Faktur Pajak kepada pelanggan (pemilik proyek).

Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang tidak wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:

PT X dan PT Y membuat perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT X dan PT Y membentuk joint operation.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya semua transaksi dan dokumentasi terkait dengan perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek) tersebut secara nyata hanya dilakukan atas nama PT X.

Karena joint operation secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain, maka dalam hal ini joint operation tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

ASPEK PERPAJAKAN KERJA SAMA OPERASI (Joint Operation)

http://materikuliahpajak.blogspot.co.id/2016/03/aspek-perpajakan-kerja-sama-operasi.html


LATAR BELAKANG KSO

Kerja Sama Operasi dibentuk ketika seorang pengusaha melihat peluang investasi, tetapi tidak memiliki dana, asset atau tenaga ahli yang cukup. Untuk dapat memanfaatkan peluang tersebut, pengusaha itu akan mengajak mitra lain untuk memanfaatkan peluang dengan cara membentuk Kerja Sama Operasi (KSO). Kerjasama Operasi (Joint Operation) tersebut merupakan usaha gabungan bersifat sementara antara satu atau beberapa Badan Usaha,

1.    baik nasional dengan nasional,

2.    maupun nasional dengan asing,

yang dinyatakan dalam Perjanjian Kerjasama Operasi (Joint Operation Agreement) yang menetapkan hak dan kewajiban masing-masing pihak atas kerjasama tersebut.Perjanjian KSO ada yang dibuat dengan akta dibawah tangan ataupun dalam bentuk legalisasi oleh notaries.

Pada dasarnya JO dapat terbagi menjadi dua tipe yaitu Administrative dan Non-Administrative JO1

a.    Administrative JO

Tipe JO ini sering juga disebut sebagai Kerja Sama Operasi (KSO) di mana kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO. Dalam hal ini JO dianggap seolah-olah merupakan entitas tersendiri terpisah dari perusahaan para anggotanya. Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing anggota JO.

Masalah pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja, biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of work) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.

Contoh: KSO Pembangunan Jaya Property, yaitu perjanjian KSO antara PT Pembangunan Jaya Ancol, Tbk dengan PT Jaya Real Property, Tbk.

b.    Non-Administrative JO

JO dengan tipe ini dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi sering disebut sebagai Konsorsium di mana kontrak dengan pihak Project Owner di buat langsung atas nama masing-masing perusahaan anggota. Dalam hal ini JO hanya bersifat sebagai alat koordinasi. Tanggung jawab pekerjaan terhadap Project Owner berada pada masing-masing anggota.

Contoh Non-Administrative JO yang bersifat konsorsium adalah pembangunan PLTU 1 Jawa Barat, Indramayu ditanda tangani pada tanggal 12 Maret 2007 oleh PT PLN (Persero) dan Konsorsium dari China yaitu:

a)    National Machenery Industry (SINOMACH)  pengadaan mesin pembangkit

b)    China National Electric Equipment Corporation (CNEEC)  instalasi jaringan listrik dan

c)    Perusahaan Lokal PT Penta Adi Samudera (SCP & JO )  menangani keamanan proyek, serta urusan koordinasi yang terkait dengan institusi pemerintah maupun swasta lainnya.

Di Indonesia Kerja Sama Operasi umumnya terjadi pada bidang konstruksi. Untuk dapat mengerjakan proyek konstruksi, perusahaan harus mempunyai Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK). Perusahaan biasanya melakukan KSO dengan melakukan penggabungan atas kepemilikan sumber daya:

1.    Personel yaitu Sumber Daya Manusia atau Personil Inti/Tenaga Ahli yang cukup

2.    modal perusahaan atau Kekayaan Bersih

3.    Peralatan Utama dan Fasilitas lain,  yang diperlukan dalam pengadaan barang/jasa;

1.    Personel yaitu: Sumber Daya Manusia atau Personil Inti/Tenaga Ahli yang cukup

Salah satu persyaratan guna memperoleh SIUJK dengan Klasifikasi Kecil adalah perusahaan harus mempunyai pekerja yang mempunyai Sertifikat Tenaga Terampil (SKT) dengan ijazah SMU/STM . Sedangkan SIUJK dengan Klasifikasi Besar, perusahaan harus mempuiyai pekerja dengan Sertifikat Tenaga Ahli STA) dengan ijazah S1 sesuai bidanng keahliannya (Sipil, Elektrik, Arsitek).

2.    Modal perusahaan atau Kekayaan Bersih

Untuk dapat melaksanakan proyek besar, biasanya pemilik proyek mensyaratkan bahwa vendor harus memiliki modal bersih yang cukup (diatas Rp 1 milyar)

3.    Peralatan Utama dan Fasilitas lain,  yang diperlukan dalam pengadaan barang/jasa;

a)    Adakalanya perusahaan mempunyai peralatan utama untuk mengerjakan proyek (seperti: traktor, buldoser, dan alat berat lainnya) namun tidak memiliki dana yang cukup untuk melaksanakan proyek konstruksi.

b)    Fasilitas Lain adalah priviliege yang diberikan oleh pemerintah kepada pengusaha local bahwa  Badan Usaha asing dalam melakukan kegiatannya di Indonesia harus membentuk kerjasama operasi (joint operation) dengan Badan Usaha nasional yang berbadan hukum berbentuk Perseroan Terbatas (PT) sebagaimana diatur dalam Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nomor 11a Tahun 2008 tentang Registrasi Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi.

PENGERTIAN JOINT OPERATION

Pengertian Joint Operation dalam peraturan perpajakan dijelaskan dalam S-323/PJ.42/1989, yaitu:

         Bentuk joint operation adalah merupakan perkumpulan dua badan atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek, penggabungan ini bersifat sementara sampai proyek tersebut selesai.

         Bentuk penggabungan demikian bukanlah merupakan subyek dari pengenaan PPh Badan, namun pengenaan PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan yang bergabung tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya.

         Pemberian NPWP terhadap joint operation adalah semata-mata untuk keperluan pemungutan dan pemotongan PPh Pasal 21, Pasal 23/26 dan PPN.

         Dalam rangka menentukan dan memperhitungkan besarnya PPh yang terhutang untuk Badan-badan tersebut, pembukuan yang terpisah dari masing-masing Badan yang bergabung dalam joint operation dapat dilakukan. Ketentuan ini juga mencakup dan berlaku bagi penghasilan yang diterima dari proyek bantuan luar negeri.

MEKANISME PERPAJAKAN KERJASAMA USAHA ( JOINT OPERATION )

         Karena Joint Operation tidak termasuk Subjek Pajak PPh, maka penghasilan yang diterima suatu Joint Operation sebenarnya adalah penghasilan para anggota yang besarnya bagian masing-masing ditentukan sesuai perjanjian.

         Jika atas penghasilan berupa bunga, sewa dan lain-lain yang diterima atau diperoleh Joint Operation (J.O.) dari WP Badan Dalam Negeri dan Perseorangan yang ditunjuk (selanjutnya disebut : Pemberi Hasil), dipotong PPh Ps. 4 ayat(2), maka bukti potong PPh Pasal 4 ayat(2) tersebut harus dipecah untuk masing-masing anggota Joint Operation agar dapat dikreditkan.

         Adapun besarnya PPh Pasal 4 ayat(2) untuk masing-masing anggota Joint Operation sesuai dengan perjanjian J.O.A (joint operation agreement) yang telah disepakati bersama.

         Joint Operation tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan dan membayar PPh Pasal 25 dan Pasal 29. Kewajiban yang ada hanya sebagai pemotong/pemungut PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 21, PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 dan PPN.

KEWAJIBAN PERPAJAKAN ADMINISTRATIVE JOIN OPERATION

Sebagai Subjek Pajak

Joint operation merupakan bentuk kerjasama operasi antara 2 (dua) badan atau lebih atas suatu proyek hanya sampai dengan proyek tersebut selesai, dengan demikian joint operation bukan merupakan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b UU Pajak Penghasilan.

Kewajiban Pajak Penghasilan Badan terletak pada masing-masing anggota Joint Operation, kewajiban memiliki NPWP terhadap Joint Operation adalah sebagai Wajib Pajak Pemotong dan Pajak Pertambahan Nilai.

Dikarenakan Joint Operation merupakan subjek Pajak Pertambahan Nilai maka Joint Operation dan masing-masing anggota Joint Operation wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.



Sebagai Pemotong Pajak

Kewajiban pemotong pajak sama dengan kewajiban subjek pajak pada umumnya yaitu, kewajiban mendaftar, kewajiban menghitung pajak yang dipotong, kewajiban menyetor/membayar pajak yang dipotong dan kewajiban melaporkan pemotongan pajak yang dilakukannya setiap masa pajak.



Sebagai Pengusaha Kena Pajak

Kewajiban Pengusaha Kena Pajak adalah:

1. mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto atas penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak melebihi Rp4.800.000.000 (empat milyar delapan ratus juta rupiah)(Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013);

2. membuat Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU PPN;

3. menghitung PPN yang masih harus dibayar yaitu dengan cara mengkreditkan Pajak Masukan dalam suatu masa pajak kepada Pajak Keluaran masa pajak yang sama (Pasal 9 ayat (2));

4. membayar Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak (Pasal 15A ayat (1));

5. melaporkan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak (Pasal 15A ayat (2)).

Kewajiban Perpajakan Administrative Joint Operatioan

Seluruh kontrak Administrative JO ditandatangani atas nama JO, sehingga JO model ini bertindak layaknya badan usaha yang terpisah dengan anggota JO. Dengan alasan tersebut seluruh kewajiban perpajakan kecuali kewajiban Pajak Penghasilan Badan berada pada JO.



1. Kewajiban PPh Pasal 21

JO wajib melakukan pemotongan atas pembayaran sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi.

Yang berbeda dengan Wajib Pajak Badan pada umumnya, dalam melaporkan SPT Masa PPh Pasal 21, JO diwajibkan melampirkan Daftar Biaya (Formulir 1721-V) yang bentuk formulirnya dapat ditemukan di Peraturan Dirjen Pajak Nomor 14/PJ/2013. Formulir tersebut hanya dilaporkan pada masa Desember saja.

2. Kewajiban PPh Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, Pasal 23, dan Pasal 26

Kewajiban pemotongan, pembayaran dan pelaporan PPh atas pembayaran/biaya yang terutang PPh Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, Pasal 23, dan Pasal 26 sama dengan Wajib Pajak pemotong lainnya.



3. Kewajiban PPh Pasal 4 ayat (2) sebagai penerima penghasilan

Pengguna jasa konstruksi dari JO wajib melakukan pemotongan imbalan jasa konstruksi kepada JO. Pada prinsipnya Joint Operation tidak termasuk sebagai subyek Pajak Penghasilan, oleh karena itu penghasilan yang diterima suatu joint operation sebenarnya adalah penghasilan para anggota yang besarnya bagian masing-masing ditentukan sesuai perjanjian pembentukan joint operation.

Dengan demikian pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan suatu joint operation hakekatnya adalah pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan anggota JO yang besarnya sesuai dengan bagian masing-masing anggota dalam perjanjian JO.

Apabila suatu JO menerima penghasilan yang dikenakan PPh final, maka pengenaan PPh final atas penghasilan tersebut hakekatnya adalah atas penghasilan anggota JO.

Tata cara pemecahan bukti potong mengikuti SE-44/PJ.1994 tentang Pemecahan Bukti Potong PPh Pasal 23. Walaupun SE-44/PJ.1994 hanya mengatur PPh Pasal 23 tetapi masih relevan digunakan untuk melakukan pemecahan bukti potong PPh Pasal 4 ayat (2) mengingat dua-duanya merupakan bentuk pemenuhan kewajiban perpajakan masing-masing anggota, hal ini ditegaskan Dirjen Pajak menggunakan S-251/PJ.313/1998.

Tata cara pemecahan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sebagai berikut:

1. Dalam hal penerima jasa sudah melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas nama JO, JO dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti pemotongan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dimana JO terdaftar. Selanjutnya KPP dimana JO terdaftar melakukan pemindahbukuan ke KPP dimana masing-masing anggota JO terdaftar sesuai proporsi bagi hasil;

2. Dalam hal penerima jasa belum melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2), JO dapat mengajukan pemecahan bukti potong kepada penerima jasa yang selanjutnya akan menerbitkan bukti pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas nama JO qq. Masing-masing anggota JO sesuai dengan proporsi bagi hasil.



4. Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai

Dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2012 Administrative JO (yang melakukan kontrak/perjanjian atas nama JO) wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Konsekuensi logis dari hal tersebut JO bentuk ini mempunyai kewajiban PPN secara penuh yaitu mendaftar, menghitung, membayar dan melapor.

5. Kewajiban pembukuan memenuhi ketentuan Pasal 28 UU KUP

Tujuan utama dari pembukuan/pencatatan dalam pasal 28 UU KUP adalah agar pajak terutang dapat dihitung. Untuk memenuhi hal tersebut JO wajib membuat catatan mengenai peredaran usaha (merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi dan PPN) dan biaya yang dikeluarkan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang harus dipotong oleh JO.



Kewajiban Perpajakan Non-Administrative Joint Operatioan

Seluruh pekerjaan dan tanggung jawab terhadap penerima jasa konstruksi Non-Administrative JO dilakukan oleh masing-masing anggota JO. Oleh karena itu seluruh kewajiban perpajakan berkaitan dengan transaksi tersebut menjadi tanggung jawab masing-masing anggota JO.

Dengan begitu Non-Administrative JO tidak perlu mendaftarkan diri untuk mempunyai NPWP dan tidak perlu juga dikukuhkan sebagai PKP.

Rabu, 2 November 2011 - 10:56 wib



Perlakuan Perpajakan Joint Operation (JO) dalam Bidang Usaha Jasa Konstruksi

Oleh : Ruston Tambunan.

http://economy.okezone.com/read/2011/11/02/317/523722/perlakuan-perpajakan-joint-operation-jo-dalam-bidang-usaha-jasa-konstruksi

PENGERTIAN Joint Operation (JO) dalam kaitannya dengan perpajakan di Indonesia tercantum dalam Surat Dirjen Pajak No. S-123/PJ.42/1989. Ditegaskan dalam surat tersebut bahwa JO adalah merupakan bentuk kerja sama operasi, yaitu perkumpulan dua badan atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek.

Penggabungan bersifat sementara hingga proyek selesai. Dalam beberapa surat-surat penegasan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak, istilah Joint Operation seringkali dipertukarkan dengan istilah Konsorsium.

BERITA REKOMENDASI


  • Pajak UMKM, Sederhana Tapi Tidak Adil

  • Pengenaan PPh Final terhadap UMKM Mengenyampingkan Aspek Keadilan

  • UMKM Jadi Target Pemajakan

Pada dasarnya JO dapat terbagi menjadi dua tipe yaitu Administrative dan Non-Administrative JO.

a. Administrative JO

Tipe JO ini sering juga disebut sebagai Kerja Sama Operasi (KSO) di mana kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO. Dalam hal ini JO dianggap seolah-olah merupakan entitas tersendiri terpisah dari perusahaan para anggotanya. Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing anggota JO. Masalah pembagian modal kerja atau pembiayaan proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja,  biaya bersama (joint cost) serta pembagian hasil (profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan (scope of works) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.



b. Non-Administrative JO

JO dengan tipe ini dalam prakteknya di kalangan pengusaha jasa konstruksi sering disebut sebagai Konsorsium di mana kontrak dengan pihak Project Owner di buat langsung atas nama masing-masing perusahaan anggota. Dalam hal ini JO hanya bersifat sebagai alat koordinasi. Tanggung jawab pekerjaan terhadap Project Owner berada pada masing-masing anggota.



Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) atas JO Konstruksi

Kecuali kontrak investasi kolektif (KIK), penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh tidak secara spesifik  menyebutkan bentuk apa saja yang termasuk  dalam pengertian Bentuk Badan Lainnya sebagai Subyek Pajak  Namun dalam surat-surat penegasan yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak dinyatakan bahwa JO bukan merupakan Subyek PPh Badan sehingga tidak diwajibkan menyampaikan SPT PPh Badan.



a. Aspek PPh - Administrative JO.

Meskipun bukan merupakan Subyek PPh Badan, JO wajib memiliki NPWP yang semata-mata diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban PPN dan Withholding Tax (kewajiban memotong PPh pasal 21, pasal 23, pasal 26, pasal 4 ayat 2 dan pasal 15). Kewajiban PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan (perusahaan) yang menjadi anggota JO tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya.

Oleh karena statusnya bukan Subyek PPh Badan maka JO tidak terutang PPh pasal 4 ayat(2) atau PPh Final yang dipotong oleh Project Owner pada saat  pembayaran uang muka dan termin atas tahapan penyelesaian pekerjaan konstruksi. Sejak terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 2009, atas penghasilan yang diperoleh dari usaha jasa konstruksi seluruhnya telah dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final dengan tarif:

a. 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi kecil

b. 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha

c. 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;

d. 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan

e. 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

Agar masing-masing anggota JO dapat memanfaatkan bukti potong PPh Final tersebut sebagai bukti pelunasan pajak terutang, dengan menganalogikan  perlakuan pada Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-44/PJ./1994 yang mengatur mekanisme pemecahan bukti potong PPh pasal 23,  maka:

1). Dalam hal Project Owner belum melakukan pembayaran dan / atau pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2), maka JO dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti potong  kepada Project Owner  yang selanjutnya akan membuat bukti potong PPh Pasal 4 ayat (2) atas nama JO.qq. perusahaan anggota berdasarkan porsi masing-masing yang telah disepakati sebelumnya.

2). Dalam hal Project Owner terlanjur memotong PPh pasal 4 ayat(2) atas nama JO, maka JO dapat mengajukan permohonan pemecahan bukti potong PPh pasal 4 ayat (2) kepada pihak Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana JO terdaftar sebagai Wajib Pajak untuk kemudian dilakukan pemindahbukuan ke masing-masing anggota JO.

Selanjutnya Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-214/PJ./2001 (belum dicabut hingga saat ini) mengatur bahwa pada saat menyampaikan SPT PPh pasal 21, JO harus melampirkan Laporan Keuangan atas kegiatan JO. Dengan pemahaman di mana Laporan Keuangan merupakan hasil akhir dari suatu proses pembukuan maka dapat diambil kesimpulan bahwa Administrative JO wajib menyelenggarakan pembukuan. Pembukuan JO diatur dalam PSAK 12 yang memberikan pilihan penggunaan metode proportionate consolidation atau metode equity.



b. Aspek PPh Non-Administrative JO

Non-Administrative JO tidak wajib memiliki NPWP dan tidak wajib menyelenggarakan pembukuan. Pendapatan dan biaya proyek dibukukan oleh masing-masing anggota JO. Tagihan ke Project Owner diajukan sendiri oleh masing-masing anggota JO atau dapat juga diajukan melalui JO namun Commercial Invoice, Faktur Pajak dan bukti potong PPh pasal 4 ayat (2) tetap  atas nama perusahaan masing-masing anggota JO (konsorsium).

Perlakuan PPN Atas JO

Berdasarkan pasal 1 angka 13 UU PPN juncto pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 143 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2002 diatur bahwa dalam rangka pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak, bentuk Kerjasama Operasi  termasuk dalam kategori Bentuk Badan Lainnya. Berbeda halnya dengan Non-Administrative JO yang pemenuhan kewajiban PPNnya menjadi tanggungjawab masing-masing anggota, Administrative–JO wajib mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Sebagai PKP tentu JO wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN.



Inkonsistensi Beberapa Surat Penegasan Dirjen Pajak Tentang Pemajakan Atas JO Menimbulkan Ketidakpastian

SE-44/PJ./1994 tentang mekanisme pemecahan bukti potong PPh pasal 23 merupakan satu-satunya SE Dirjen Pajak yang pernah diterbitkan terkait dengan pemajakan JO. Selebihnya hanya berupa surat-surat penegasan sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Karena merupakan Surat (private ruling) maka hal ini tentu saja ”tidak selalu” dapat menjadi acuan umum.

Beberapa surat penegasan yang diterbitkan Dirjen Pajak ternyata tidak konsisten antara satu dan lainnya sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Wajib Pajak. Hal tersebut terlihat dalam beberapa contoh Surat Dirjen Pajak berikut ini.

- S-752/PJ.52/1990

Surat ini menegaskan bahwa JO dianggap sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) apabila JO menutup kontrak atas namanya. Apakah kontrak pekerjaan (proyek) dibuat dan ditandatangani antara Project Owner  dengan JO menjadi penentu apakah JO harus menjadi PKP atau tidak. Dengan kata lain, apabila kontrak ditandatangani oleh Project Owner dengan masing-masing anggota JO maka JO tidak merupakan PKP dan tentu saja tidak wajib memiliki NPWP. Dalam hal ini fiskus tampaknya lebih mementingkan bentuk hukum (legal form).

- S-823/PJ.312/2002

Ditegaskan dalam Surat ini bahwa JO harus memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai PKP apabila dalam transaksinya dengan pihak lain secara nyata-nyata dilakukan atas nama JO. Frase ”secara nyata-nyata” menekankan pentingnya hakekat atau substansi dari transaksi (substance). Hal ini berbeda dengan S-752/PJ.52/1990 yang lebih menekankan legal form-nya. Bisa jadi sebagian Wajib Pajak menginterpretasikan bahwa meskipun secara legal kontrak pekerjaan ditandatangani atas nama JO seperti layaknya Administrative JO, apabila kenyataannya proyek dikerjakan bukan atas nama JO melainkan oleh masing-masing anggota sesuai scope pekerjaan yang disepakati layaknya Non-Administrative JO, maka seyogianya JO tidak harus menjadi PKP. Hal ini dapat menimbulkan perbedaan interpretasi antara fiskus dan Wajib Pajak, antar Wajib Pajak, bahkan mungkin antar aparat pelaksana (fiskus) sendiri. Jelas dalam hal ini Surat Dirjen Pajak No. S-823/PJ.312/2002 tidak selaras dengan  Surat No. S-752/PJ.52/1990.

- S-956/PJ.53/2005

Surat ini tidak menyinggung masalah bentuk hukum maupun substansinya namun semakin menimbulkan keragu-raguan dan ketidakpastian. Ditegaskan bahwa apabila sebagian anggota JO melaksanakan pekerjaan atas nama JO maka :

•    JO dan anggota JO harus terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak

•    Atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari JO kepada Project Owner terutang PPN dan dilaporkan di SPT Masa PPN atas nama JO sebagai Pajak Keluaran.

•    Atas Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh anggota JO dalam rangka kerjasama operasi (JO) kepada Project Owner merupakan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari anggota JO kepada JO.

•    Penyerahan tersebut terutang PPN dan anggota JO harus membuat Faktur Pajak kepada JO. Bagi anggota JO, PPN dalam Faktur Pajak itu merupakan Pajak Keluaran dan bagi JO, PPN tersebut merupakan Pajak Masukan.

Perlakuan tersebut malah mengacaukan konsep JO sebagaimana dijelaskan sebelumnya dan sepertinya mencampuradukkan  Administrative JO dan Non-Administrative JO. Keharusan JO menjadi PKP dan kewajiban melaporkan PPN yang dipungut atas nama JO dalam SPT Masa PPN adalah merupakan karakteristik dari Administrative JO. Selanjutnya anggota JO yang melaksanakan pekerjaan atas nama JO tetapi diharuskan juga membuat Faktur Pajak kepada JO seolah-olah masing-masing anggota JO mengerjakan sendiri scope pekerjaannya adalah merupakan ciri Non-Administrative JO.

Surat Penegasan tersebut juga akan membawa dampak terhadap aspek pemotongan PPh pasal 23 ( yang berlaku sekarang adalah PPh pasal 4 ayat(2) atau PPh Final khusus untuk penghasilan dari usaha jasa konstruksi). JO akan memotong PPh pasal 4 ayat (2)  atas setiap pembayaran tagihan pekerjaan konstruksi yang diajukan oleh masing-masing anggota JO. Selanjutnya pihak Project Owner juga akan melakukan pemotongan PPh pasal  4 ayat (2) atas tagihan dari JO yang pada hakekatnya adalah merupakan jumlah tagihan yang sama dengan yang diajukan oleh anggota JO kepada JO. Singkatnya, terjadi dua kali pemotongan PPh pasal 4 ayat (2) atas penghasilan yang sama.

Kesimpulan

Beberapa surat penegasan mengenai perlakuan perpajakan JO tidak konsisten antara satu dan lainnya sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Wajib Pajak. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak perlu mengatur lebih tegas perlakuan atas JO tersebut mengingat semakin meningkatnya pelaksanaan pekerjaan proyek konstruksi dengan pola kerjasama operasi saat ini dan di masa mendatang. Apakah memilih substance over form atau form over substance dalam pemajakan JO haruslah lebih jelas.



Selanjutnya ketentuan  pemajakan hendaknya dituangkan secara  pasti dalam bentuk ketentuan hukum yang dapat menjadi acuan umum dalam pelaksanaannya, Hal ini akan mengurangi permintaan penegasan atau  private ruling oleh para Wajib Pajak sekaligus menghindari terbitnya surat-surat jawaban dari Dirjen Pajak yang justru menimbulkan ambigu. Khusus untuk penghasilan atas usaha jasa konstruksi yang sekarang seluruhnya telah terkena PPh Final sebaiknya diterbitkan ketentuan khusus terkait masalah pemecahan bukti potong karena SE-44/PJ./1994 tidak lagi relevan.

Ruston Tambunan, Ak., M.Si., M.Int.Tax,BKP

CITASCO-Registered Tax Consultants

www.citasco.com

ruston@citasco.com
Yüklə 81,86 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə