Kontribusi semiotika terhadap



Yüklə 0,53 Mb.
səhifə1/6
tarix31.10.2018
ölçüsü0,53 Mb.
#77407
  1   2   3   4   5   6

LAPORAN PENELITIAN INDIVIDUAL BOPTN 2013
KONTRIBUSI SEMIOTIKA TERHADAP

STUDI ILMU-ILMU AGAMA

Oleh:

Drs. H. Muzairi, MA.

NIP. 19530503 198303 1 004

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2013

PENGANTAR
Sejak Ernst Cassirer dan Susanne Langer, dalam kepustakaan filsafat manusia disebut sebagai animal symbolicum, dalam semiotik manusia disebut sebagai homo semiotikus. Kedua pengertian itu, jika didampingkan, memerlukan penjelasan tentang persamaan dan perbedaannya. Kiranya upaya untuk menjelaskan kedua pengertian itu langsung sudah merupakan pokok bahasan pertama yang mengaitkan semiotik dan filsafat. Penggunaan istilah itu dari awal sudah problematis. Perbedaan “animal” dan “homo” sudah problematis, terutama mereka yang tidak akrab dengan pemikiran ilmu-ilmu alam, apalagi teori evolusi, menganggap sebutan “animal” untuk manusia itu sebagai penghinaan.

Sebagaimana dipahami oleh para ahli semiotika, bahwa terdapat dua tradisi yang besar yang mengikuti pandangan dua filsuf besar yaitu filsuf bahasa Ferdinan de Saussure yang merupakan bapak linguistik modern dan Charles Sanders Peirce yang memiliki latar belakang filsafat pragmatisme, logika dan bahasa. Semiotika yang mengikuti tradisi Saussure lebih dikenal dengan istilah semiologi, sedangkan tradisi Peirce dipopulerkan dengan istilah semiotika. Padangan filsafat Saussure tentang bahasa menyebutkan bahwa hakikat bahasa adalah merupakan suatu tanda, oleh karena itu bahasa merupakan sarana komunikasi manusia maka bahasa juga sebagai sistem tanda dalam komunikasi manusia.

Jika bahasa sebagai sistem tanda dalam komunikasi sosial manusia maka implisit dalam pengertian tersebut terdapat sebuah relasi, bahwa bila tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial, maka tanda juga merupakan bagian dari aturan-aturan dalam kehidupan sosial yang berlaku. Oleh karena itu dalam semiotika terdapat pengertian sistem tanda (sign system) dan sistem sosial (social system) yang kedua-duanya saling berhubungan. Saussure tidak mengakui bahwa bahasa memiliki keteraturan secara alamiah, melainkan dalam bahasa terdapat konvensi sosial (social convention), dan bahasa adalah sebagai convensi arbitrer. Meskipun demikian karena keterkaitannya sistem tanda bahasa dengan sistem sosial, maka konvensi juga mengatur tanda secara sosial tentang pemilihan, pengkombinasian dan penggunaan tanda secara tertentu, sehingga sistem tanda ini memiliki nilai sosial. Hal inilah yang memungkinkan bahasa sebagai sarana komunikasi sosial, yang memiliki aturan tertentu yang disepakati besama.

Namun pada kenyataannya, bahwa semiotika pada kenyataannya dapat memberikan sumbangan yang cukup kaya dalam upaya menyoroti fenomena-fenomena keilmuan, khususnya ilmu-ilmu agama yang berkaitan dengan komunikasi dan pertandaan. Islam mementingkan, baik sisi konvensi, kode, dan stabilitas makna-makna, tapi sekaligus sisi-sisi kreativitas dan produktivitas, melalui perpaduan keduanya, sehingga menghindarkan diri dari bersikap ekstrim dan anarkis dalam bahasa, dan menghindari hipersemiotika yang berarti melampaui batas semiotika, dalam hal ini hipersemiotika mencoba membongkar tembok oposisi biner.

Tulisan ini merupakan laporan penelitian individu yang di biayai dengan dana BOPTN 2013 mencoba membahas kontribusi semiotika terhadap studi ilmu-ilmu agama. Tentunya penelitian ini banyak kekurangan, akan tetapi salah satu tujuan penelitian ini berusaha mengisi bagian kosong tentang semiotika dan agama. Semoga penelitian ini bermanfaat.
Yogyakarta, ……………………………

Peneliti


Drs. H. Muzairi, MA.

DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL i

PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN 1


  1. Latar Belakang Masalah 1

  2. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 3

  3. Landasan Teori 3

  4. Rumusan Masalah 7

  5. Tinjauan Pustaka 12

  6. Metode Penelitian 13

BAB II KAJIAN ILMU-ILMU AGAMA 16

  1. Ilmu-ilmu Agama 16

  2. Obyek-obyek Ilmu Agama 25

  3. Ilmu Agama dan Semiotika 32

BAB III STRUKTURALISME 48

  1. Materialisme 48

  2. Idealisme 55

  3. Strukturalisme dan Dikotomi Materialisme VS Idealisme 62

BAB IV TANDA 74

Sifat Sewenang-Wenang (Arbitary)/Tanda 74

BAB V SEMIOTIKA DEKONSTRUKTIF 78


  1. Pembaharuan Semiotika Dekonstruktif 78

  2. Kontribusi Semiotika terhadap Ilmu-ilmu Agama 88

BAB V PENUTUP DAN KESIMPULAN 120

DAFTAR BACAAN 124


BAB I

PENDAHULUAN

sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal”



(Q.S. Ali Imran (3): 190)


  1. Latar Belakang Masalah

Semiotika bukanlah istilah yang baru – sebab dari asal katanya semeion, kata Yunani yang berarti tanda – terlihat bahwa istilah semiotika telah digunakan sejak zaman Yunani Kuno. Akan tetapi, sebagai satu cabang keilmuan, semiotika baru berkembang pada tahun 1900-an. Meskipun demikian, hingga kini masih diperbincangkan masalah-masalah epistemologis, berkaitan dengan landasan teoritis, cakupan dan batas-batas keilmuan, termasuk pertanyaan tentang kontribusi terhadap cabang-cabang keilmuan lain.

Walaupun definisi semiotika yang dikemukakan Ferdinand de Saussure di dalam Course in General Linguistics sebagai “… cabang keilmuan yang mempelajari tentang penggunaan tanda di dalam masyarakat” telah diterima secara luas, namun masih saja diperdebatkan tentang intervensi semiotika terhadap cabang keilmuan lain. Pertanyaannya adalah, apakah semiotika melingkupi segala bentuk penggunaan tanda, segala bentuk komunikasi, serta segala subjek yang terlibat di dalamnya? Setidak-tidaknya terdapat lima subjek dalam berbagai rantai komunikasi, yaitu: manusia/makhluk lain/alam/benda (mesin)/Tuhan. Hubungan antar manusia telah banyak dikaji melalui semiotika umum. Hubungan komunikasi antar fauna dikaji secara khusus melalui zoosemiotics. Komunikasi antara manusia-komputer dikaji melalui semiotika. Namun, apakah fenomena komunikasi manusia/jin merupakan fenomena semiotika juga? Begitu juga komunikasi manusia/Tuhan?

Selain itu, sebagai satu cabang keilmuan tentang tanda, apakah semiotika melingkupi segala jenis dan bentuk tanda mulai dari ekspresi muka, cara beribadat, upacara ritual, matahari terbenam, sampai dengan cat kuku, film, makanan, iklan, dan seterusnya. Ilmu kedokteran, misalnya, berupaya menghubungkan antara gejala (symptom) sebagai satu tanda dengan penyakit tertentu. Meteorologi membaca kondisi cuaca sebagai tanda untuk mengetahui perubahan cuaca. Ilmu ekonomi membaca struktur dan kondisi pasar sebagai satu tanda untuk mengetahui trend pasar. Bila semua jenis tanda ini menjadi cakupan semiotika, menjadi satu pertanyaan, sampai sejauh mana semiotika dapat merambah ke dalam cabang-cabang keilmuan yang lain.

Permasalahan ini perlu dikemukakan di sini, dalam rangka melatarbelakangi pertanyaan tentang kontribusi semiotika terhadap ilmu-ilmu agama. Alasan bagi pertanyaan ini adalah, bahwa ilmu-ilmu agama sendiri – bila ingin disoroti fenomena semiotika dan komunikasi di dalamnya – setidak-tidaknya mengandung di dalamnya rantai-rantai komunikasi horisontal antara manusia/manusia (hablumminannas), manusia/alam (adab terhadap alam), manusia/makhluk lain, rantai komunikasi vertikal manusia/Tuhan (hablumminallah).

Menanggapi pertanyaan tentang tapal batas keilmuan tersebut di atas, beberapa ahli semiotika, seperti Umberto Eco, Roland Barthes, Coward & Ellis, tampaknya bersepakat tentang satu hal bahwa apapun bentuk tanda yang digunakan, siapa pun subjek yang terlibat, selama ia digunakan dalam satu sistem pertandaan dan komunikasi, serta berlandaskan pada kesepakatan sosial (konvensi, kode) tertentu, dengan asumsi makna tertentu, maka ia merupakan fenomena semiotika. Hal ini juga berlaku pada proses pertandaan dan komunikasi di dalam ilmu-ilmu agama.


  1. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Atas dasar masalah tersebut, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan dan kegunaan:

    1. Tujuan Penelitian

Memahami kembali kontribusi semiotika terhadap studi ilmu-ilmu agama.

    1. Kegunaan Penelitian

      1. Melihat “sisi lain” problem-problem semiotika yang lupuot dari perhatian beberapa peneliti sebelumnya.

      2. Sebagai sumbangsih bagi pemikiran dalam bidang semiotika dan studi ilmu-ilmu agama.




  1. Landasan Teori

Sebelum membicarakan sumbangan semiotika terhadap ilmu-ilmu agama, perlu kiranya disoroti terlebih dahulu pertentangan filosofis yang melatarbelakangi perbicangan semiotika, khususnya yang berkaitan dengan hubungan antara tanda, makna dan realitas, yaitu antara paham materialisme dan idealisme serta bagaimana kaitannya dengan konsep strukturalisme.

Menurut paham idealisme ada sesuatu di belakang dan melampaui realitas empiris, yang bersifat transenden. Dalam sistem pertandaan dan komunikasi, makna dari tanda dikatakan bersifat transenden, yakni melampaui realitas pertandaan itu sendiri, misalnya bersifat Illahiyah. Idealisme, dengan demikian, menuntut adanya satu fondasi atau titik pusat tempat bersandarnya satu sistem makna.

Paham materialisme, sebaliknya menegaskan, bahwa realitas empiris itu berdiri sendiri – dari dan untuk dirinya sendiri – yang telah melingkupi seluruh realitas, serta mengikuti hukumnya sendiri yang bersifat imanen, tanpa campur tangan sesuatu yang melampauinya, termasuk Tuhan. Materialisme berprinsip, bahwa makna dalam sistem komunikasi atau pertandaan diproduksi di dunia sini (oleh manusia) dengan sistem dan kodenya sendiri, tanpa campur tangan kode-kode transendental.

Sifat transenden ini dikatakan, melekat pada pemikiran semiotika Saussure, disebabkan pemahamannya, bahwa individu itu tak lebih dari pengguna kode-kode sosial yang telah tersedia. Berdasarkan pemahaman inilah, Saussure tidak tertarik untuk mengkaji bahasa dari sudut sejarah dan perkembangan penggunaan bahasa, melainkan lebih tertarik pada struktur yang menopang bahasa tersebut.



Strukturalisme, sebagaimana tersirat dari istilahnya, berkaitan dengan penyingkapan struktur berbagai aspek pemikiran dan tingkah laku manusia. Hakikat dari pendekatan strukturalis adalah, bahwa ia tidak menyoroti memanisme sebab/akibat dari satu fenomena melainkan tertarik pada konsep bahwa satu totalitas yang kompleks dapat dipahami sebagai satu rangkaian unsur-unsur yang saling berkaitan. Sebuah unsur hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan rangkaian secara total. Jadi, apa yang ditekankan dalam strukturalisme bukanlah hakikat dari unsur itu sendiri, melainkan relasi di antara unsur-unsur. Dengan perkataan lain, makna dari setiap unsur pada satu situasi tertentu tidak dapat diungkapkan di dalam unsur itu sendiri, melainkan melalui hubungan antara unsur tersebut dengan unsur-unsur lain. Misalnya, kata ayam berarti ayam seperti yang kita lihat pada realitas, oleh karena itu ia bukan ayan, ayah, ayat, azan, dan seterusnya.

Pemikiran strukturalisme ini secara singkat dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Strukturalisme tidak menganggap penting individu sebagai subjek penciptaan, dan melihatnya lebih sebagai penggunaan kode yang tersedia, 2) Strukturalisme memberikan perhatian yang sedikit pada masalah sebab-akibat, dan memusatkan dirinya pada kajian tentang struktur, 3) Strukturalisme tidak menganggap penting pertanyaan tentang sejarah dan perubahan, dan lebih berkonsentrasi pada kajian hubungan antara seperangkat unsur-unsur di dalam satu sistem pada satu waktu tertentu.



Course in General Linguistics banyak memberikan pengaruh pada paham strukturalisme ini. Adalah karya Saussure inilah yang merupakan fondasi bagi berkembangnya paham strukturalisme di berbagai disiplin, termasuk semiotika. Melalui konsep strukturnya ini, Saussure mengemukakan, bahwa bahasa tidak hanya harus dikaji secara diakronik (diachronic) – dalam pengertian perkembangan historis maknanya, melainkan secara sinkronik (synchronic) – dalam pengertian sebagai hubungan diantara unsur dalam satu wadah waktu yang abadi.

Dalam menjelaskan kajian sinkronik dalam bahasa ini Saussure menggunakan dua konsep yang saling berkaitan, yaitu langue dan parole. Langue (language) adalah sistem bahasa sebagai satu sistem bentuk. Ia adalah sebuah sistem tota konvensi bahasa. Dari sisi individu mana pun yang menggunakannya, sistem ini telah tersedia – pengguna bahasa tidak menciptakan konvensi ini. Walaupun yang menggunakan bahasa beraneka ragam gaya, pilihan, dan kombinasi katanya, ini tidak akan mempengaruhi sistem-sistem ini tidak berubah. Parole, di lain pihak, adalah sisi penggunaan bahasa secara nyata, yang melibatkan pemilihan dan pengkombinasian khazanah kata-kata dan kode yang tersedia, untuk mengungkapkan makna tertentu. Di sini dapat dilihat, bahwa langue itu adalah prasyarat bagi memungkinkannya parole.

Perbedaan antara langue dan parole dalam bahasa ini mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap disiplin keilmuan lain selain semiotika, sebab, ia pada hakekatnya menggambarkan hubungan antara sebuah intuisi dan peristiwa yang dimungkinkan oleh adanya institusi ini; antara sistem yang menopang, dan tingkah laku aktual yang dimungkinkannya. Melalui model bahasa ini, segala praktik sosial dapat dianggap sebagai satu sistem pertukaran tanda dan makna diantara subjek-subjek yang terlibat, yang bersandar pada kode sosial yang telah melembaga. Istilah kode ini sendiri dapat dijelaskan sebagai seperangkat aturan atau konvensi yang disepakati bersama dalam pengkombinasian tanda-tanda untuk memungkinkan disampaikannya pesan.

Claude Levi-Strauss, misalnya, melihat tingkah laku kultural, upacara ritus, hubungan kekerabatan, cara memasak dan menghidangkan masakan, tidak sebagai satu fenomena sosial yang berdiri sendiri dan bersifat intrinsik melainkan dapat dipandang sebagai satu sistem pertandaan dan pemaknaan yang bersandar pada kode sosial tertentu. Hubungan kekerabatan, misalnya, diatur oleh seperangkat kode sosial, yang berkaitan misalnya dengan kode siapa yang boleh atau tidak boleh mengawini siapa di dalam satu masyarakat. Perkawinan menandai posisi seseorang dalam satu masyarakat, dengan demikian, ia juga merupakan tanda.

Roland Barthes melihat fenomena kultural seperti sisten fashion, furniture, periklanan, media massa dan arsitektur sebagai satu sistem tanda, yang dapat menandai posisi sosial tertentu bagi orang yang menggunakannya. Pakaian, misalnya, lewat bentuk, warna, bahan, dan motifnya dapat mengkomunikasikan kepada masyarakat tentang makna-makna status, kelas sosial, ideologi atau kepercayaan pemakainya.


  1. Rumusan Masalah

Dikotomi semiotika antara signifikasi dan signifiance, sekaligus menggambarkan dikotomi antara langue dan parole, dan pada tingkat filosofis antara paham idealisme dan materialisme. Ada kecenderungan pada wacana bahasa di Barat untuk melihat dikotomi ini sebagai layaknya pilihan multiple choice – yakni memilih salah satu kutub ekstrim. Misalnya, demi menjunjung tinggi kreativitas dalam bahasa, maka segala bentuk konvensi dan kode-kode sosial diabaikan dan didekonstruksi, sehingga berkembanglah produksi tanda secara anarkis (lihat fenomena film, televisi, video klip).

Islam, seperti yang dapat dibuktikan tidak melihat dua hal yang berseberangan ini sebagai satu dikotomi atau oposisi biner seperti pilihan ganda, melainkan dua hal yang berkaitan secara hirarkis saja. Pada tingkat hirarki yang tertinggi, ada makna-makna transendensi yang wajib diterima dan diyakini, sedangkan pada tingkat yang lebih rendah, ada makna-makna yang bisa diproduksi secara kreatif. Islam melihat dua hal ini sebagai sesuatu yang dapat dipadukan dan saling mengisi dengan harmonis.

Posisi hirarkis – tapi saling mengisi – pertandaan dan pemaknaan dalam Islam ini dapat dijelaskan sebagai berikut:


  1. Mengikuti sebagai sesuatu yang wajib konvensi atau kode yang telah ditegaskan, secara eksplisit (dalam Al Qur’an dan sunnah Nabi), menerimanya sebagai sesuatu yang transenden, dan sekaligus menjadikannya sebagai satu sistem kepercayaan atau ideologis, serta berupaya mengekspresikannya melalui sistem signifikasi bahasa (tauhid, rukun iman).

  2. Menggali kemungkinan-kemungkinan pembaharuan penanda (signifier) atau petanda (signified) melalui pintu ijtihad, untuk hal-hal yang belum ditegaskan secara eksplisit (dalam Al Qur’an dan sunnah rasul), serta terbuka bagi interpretasi (ritual, bank, makanan, pakaian, dan sebagainya), dengan menggunakan model significance, sejauh tetap menguji kompatibilitasnya (tidak bertentangan) dengan kode-kode yang lebih tinggi.

Sebagai contoh dari proses pertandaan yang saling mengisi ini adalah pada dunia fashion sebagai salah satu sistem semiotika. Pakaian di dalam Islam sebagai satu tanda harus bersandar pada sistem tanda pada tingkat ideologis, berlandaskan konvensi dan kode tertinggi (kesopanan, kepatuhan), dan ini harus tercermin pada pertandaan. Akan tetapi, proses penafsiran pakaian sebagai satu sistem bahasa pada tingkat yang lebih rendah, misalnya dikaitkan dengan konteks musim, tren, mode dapat dilakukan melalui proses dekonstruksi secara bebas dari makna yang konvensional; melalui permainan dekonstruksi dan significance bentuk, warna, motif yang kreatif, selama ia tidak bertentangan dengan kode ideologis. Di sini pertandaan bisa bersifat sewenang-wenang. Hal yang sama dapat dilihat pada kubah sebagai tanda yang memberikan identitas Islam, padahal tanda ini bersifat konversi semata.

Namun tidak semua tanda dapat diubah dengan cara sewenang-wenang, khususnya tanda-tanda yang berkaitan dengan rantai komunikasi manusia-Tuhan. Komunikasi manusia/Tuhan, khususnya dalam kerangka ibadah muamalah, memiliki bentuk atau gerakan ritual dan rukun tertentu, yang secara semiotika dapat dianggap sebagai seperangkat tanda berdasarkan konvensi. Yang jadi masalah adalah, bahwa tidak semua tanda dalam rukun ibadah ini bersifat sewenang-wenang. Di antara tanda ini ada yang bersifat ikonik atau indeks. Merubah bentuk rukun ibadah yang bersifat kronik ini akan merubah konteks dan makna secara keseluruhan.



Melontar jumrah adalah satu bentuk pertandaan yang merupakan tiruan ikonik dari Nabi Ibrahim, a.s. yang melempari iblis yang mengganggunya. Walaupun, dengan asumsi makna yang sama, yaitu mengusir iblis, akan tetapi, penanda – dalam hal ini adalah melontar kerikil tidak bisa dengan sewenang-wenang diganti secara kreatif, misalnya dengan ketapel, panah, atau pistol, meskipun semuanya boleh jadi akan menggiring pada makna ideologis ketinggian derajat manusia. Hal yang sama juga berlaku pada rukun shalat, misalnya rukun sujud diganti hanya dengan ibadah dalam hati. Merubah tanda yang telah ekspisit kodenya ini akan merubah makna ibadah itu sendiri.

Yang perlu dipahami dalam kajian ilmu-ilmu agama – khususnya kajian yang berhubungan dengan tanda dan komunikasi – adalah, bahwa memang ada tanda-tanda yang wajib diterima secara ideologis sebagai bersifat transenden; akan tetapi, ada pula tanda-tanda, atau kode yang pada kenyataannya telah diterima secara sosial sebagai satu keputusan final, sebagai taqlid, padahal sesungguhnya tanda-tanda dan kode tersebut terbuka bagi interpretasi, bagi dekonstruksi – atau istilah Syariahnya yang lebih tepat – bagi ijtihad.

Abdullah Ahmed An-Na’im, di dalam bukunya Toward an Islamic Reformation, melihat kemungkinan dekonstruksi ini dalam Syariah. Bagi An-Na’im, syariah adalah aktivitas untuk manusia yang bersifat total, meliputi moral, teologi, etika, aspirasi spiritual, ibadah formal, dan ritual. Akan tetapi, berdasarkan sumber-sumber yang ada, dikatakan oleh An-Na’im, bahwa syariah seperti yang dipahami umat Islam tidaklah bersifat Illahiyyah (wahyu langsung dari Allah), melainkan satu proses penafsiran dari Al Qur’an dan sunnah nabi.

Dilihat dari sudut pandang semiotika, Syariah mengandung di dalam aspek-aspeknya, konvensi atau kode-kode, serta seperangkat tanda dan cara pengungkapannya. Namun, konvensi tersebut dihasilkan berdasarkan penafsiran. Di dalam Islam, ada empat sumber Syariah, yaitu Al Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’, dan Qiyas. Empat sumber ini sekaligus menggambarkan empat tingkatan atau hirarki pemaknaan dan pertandaan. Jika dari sumber pertama, tanda belum memperlihatkan kode dan makna yang eksplisit, maka makna dan kode tersebut harus dicari pada sunnah Nabi, dan seterusnya. Ijma’, yaitu penyusunan konsensus atau kesepakatan sosial, dan qiyas, pengambilan keputusan melalui analogi, sangat bergantung pada pembongkaran dan dekonstruksi kode-kode yang telah ada dan menyusunnya kembali secara sistematis. Keduanya sangat bergantung pula pada seperangkat tanda tak eksplisit dari Al Qur’an dan sunnah Nabi, sehingga dari sini dilakukan titik berangkat bagi penafsiran baru. Bahkan, dalam Syariah, menurut An Na’im, dimungkinkan adanya tafsiran yang bersifat arbiter, melalui metode istihsan.

Selain pada ilmu Syariah, sumbangan semiotika yang sangat potensil dan kaya, tetapi belum banyak digali, adalah pada ilmu-ilmu dakwah, khususnya dalam kaitannya dengan peran media massa di dalamnya. Selama ini, ada satu kenyataan dan kesimpulan yang amat perlu disayangkan, bahwa semiotika, di satu pihak, telah menjadi satu metoda yang amat ampuh dalam promosi, periklanan, komoditi, dan industri tontonan kapitalisme Barat yang di dalamnya banyak disertai dengan ekses-ekses dekonstruksi moral, etika, dan budaya demi perputaran modal, di lain pihak, Islam belum berperan nyata di dalam pemanfaatannya. Dalam hal ini, Islam wajib memuat media massa ini dengan tanda, kode, dan makna, yang konvensional pada tingkat ideologis, tetapi kreatif dan produktif pada tingkat bahasa/semiotika. Tugas cendekiawan Muslim adalah membangun tanda-tanda baru yang kreatif dan dinamis ini untuk merefleksikan pesan-pesan Al Qur’an dalam berbagai wacana media, yang pengendaliannya akhir-akhir ini tidak seimbang dan cenderung menuju titik ekstrim pengumbaran hasrat.

Berdasarkan studi kasus di bidang Syariah dan dakwah tersebut dapat disimpulkan, bahwa semiotika pada kenyataannya dapat memberikan sumbangan yang cukup kaya dalam upaya menyoroti fenomena-fenomena keilmuan, khususnya ilmu-ilmu agama yang berkaitan dengan komunikasi dan pertandaan. Islam mementingkan, baik sisi konvensi, kode, dan stabilitas makna-makna, tapi sekaligus sisi-sisi kreativitas dan produktivitas, melalui perpaduan keduanya, sehingga menghindarkan diri dari bersikap ekstrim dan anarkis dalam bahasa.

Di dalam Islam, bahasa itu wajib bersifat konvensional untuk tanda dan kode-kode yang telah eksplisit dalam Al Qur’an dan sunnah Nabi, akan tetapi sekaligus wajib bersifat kreatif dan produktif lewat pintu ijtihad, untuk tanda dan kode-kode yang belum eksplisit.

Adapun permasalahannya adalah apakah semiotika itu dan bagaimana kontribusi semiotika terhadap ilmu-ilmu agama?




  1. Tinjauan Pustaka

Adapun tinjauan pustaka akan dikemukakan beberapa literatur, diantaranya sebagai berikut:

    1. M. Indra, dalam Filsafat dan Bahasa dalam Studi Islam, pada halaman 173-229, menulis tentang pendekatan semiotika dalam Studi Keislaman.

    2. Yasraf Amir Piliang membicarakan tentang Hipersemiotika, Tafsir Culture Studies atas Matinya Makna.

    3. Yasraf Amir Piliang, Analisis Semiotika sebagai pendekatan dalam metode penelitian interpretatif.

    4. T.K. Seung, menulis tentang semiotics and thematics in hermeneutics.

    5. M. Amin Abdullah. Studi Agama, normativitas atau histories.

    6. M. Amin Abdullah, tinjauan antropologis, venomendogis: agama sebagai fenomena manusiawi.

    7. Joachim Wach, The Comparative Study of Religions.

    8. Walter H. Capps, Religious Studies.




  1. Yüklə 0,53 Mb.

    Dostları ilə paylaş:
  1   2   3   4   5   6




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə