Microsoft Word Kosmologi Nama Diri rtf



Yüklə 193,24 Kb.
Pdf görüntüsü
tarix26.09.2018
ölçüsü193,24 Kb.
#70759


Makalah ini disajikan dalam Seminar Internasional ”Hari Bahasa Ibu” dengan tema: ”Menyelamatkan Bahasa Ibu sebagai 

Kekayaan Budaya Nasional”  di Gedung Merdeka tanggal 19-20 Februari 2010 

K

K

o



o

s

s



m

m

o



o

l

l



o

o

g



g

i

i



 

 

S



S

i

i



s

s

t



t

e

e



m

m

 



 

N

N



a

a

m



m

a

a



 

 

D



D

i

i



r

r

i



i

 

 



(

(

a



a

n

n



t

t

r



r

o

o



p

p

o



o

n

n



i

i

m



m

)

)



 

 

 



 

M

M



a

a

s



s

y

y



a

a

r



r

a

a



k

k

a



a

t

t



 

 

S



S

u

u



n

n

d



d

a

a



:

:

 



 

dalam Konstelasi Perubahan Struktur Sosial Budaya  

 

oleh: Dede Kosasih* 



 

 

A. Purwawacana 

 

“Keine Zeit hat so viel und so männigfaltiges vom Menschen gewust wie die heutige… 



Aber keine Zeit wuste weniges, was der Mensch sei, wie die heutige. Keine Zeit ist der Mensch 

so fragwurdig geworden wie der Unsrigen.”   (M.Heidegger, „Kant und das Problem der Metaphysik“ 1929) 

 

Kutipan di atas ini akan saya pergunakan sebagai wawasan dasar yaitu bahwa usaha 



pemahaman tentang martabat manusia dan kemanusiaan umumnya, tidak untuk berpretensi 

akan membawa pemahaman itu sampai pada suatu kesimpulan bulat dan final, apalagi 

sempurna, walaupun dikaji dari berbagai sudut pandang. Namun demikian, sekurang-

kurangnya kita berikhtiar bersama untuk berkontemplasi memandang permasalahan yang 

dihadapkan kepada kita. Minimal mendapatkan wawasan tambahan yang bisa lebih 

memperkaya upaya kita memahami martabat manusia, yang berarti juga memahami diri kita 

sendiri. 

Ketika manusia dilahirkan di bumi ini, properti yang pertama kali diberikan oleh orang 

tuanya adalah “nama diri” (antroponim). Dan, semenjak manusia sadar akan eksistensinya di 

dunia, sejak itu pulalah ia mulai berpikir akan tujuan hidup, kebenaran, kebaikan, dan 

Tuhannya. Dimulai dari melihat segala sesuatu yang tergelar di dalam jagad raya ini, dari 

lingkungannya masing-masing, sampai pada satu ruang dan waktu yang tak terbatas. Kemudian 

manusia mulai bertanya-tanya dan mencari jawaban yang dapat memuaskan dirinya. Pun, 

ketika manusia mulai berinteraksi dengan alam, dengan sesamanya, dan menjadi bagian dari 

sesamanya, mulailah ia sadar juga akan identitas dan kepentingannya sendiri, orang lain, dan 

semesta alam

Nama memang bukan topeng. Ia adalah tanda yang mewakili semesta persoalan yang 



kompleks. Nama akan senantiasa melekat terus pada setiap individu. Contoh kongkritnya: 

nama dipakai untuk identitas diri, baik dalam KTP, KK, Sertifikat, SIM, Paspor dan semua bukti 

identitas diri lainnya, termasuk yang akan diukir di batu nisan kelak. Maka dengan identitas 

diri (nama) ini dimulailah terbangunnya suatu jaringan komunikasi antara diri dengan orang 

lain, orang tua dengan anaknya sepanjang masa. Nama diri berperan vital sebagai salah satu 

perangkat jaringan komunikasi antara diri dengan lingkungannya. Selain itu, nama diri juga 

merupakan tanda konvensional, dalam hal pengidentifikasian sosial. 

Adapun terminologi ‚kosmologi’ (

world view) yang dimaksud dalam tulisan ini 

berorientasi kepada bagaimana cara manusia memandang dan melakukan dialog dengan 

kosmos 'alam semesta' dan lingkungan sosialbudayanya melalui perilaku dan ide-idenya yang 

tertuang dalam bahasa. Salah satu ide itu tersirat dalam praktek pemberian nama (

naming) 

sebagai manifestasi kondisi psikologis masyarakatnya pada tataran makro, yakni: bagaimana 

mencitrakan dirinya 

(inner world) dan bagaimana memunculkan citranya ke dunia luar, yang 

selanjutnya merefleksikan struktur berfikir dari warganya. Pola pikir seperti ini pada akhirnya 

akan turut menentukan struktur sosial budaya masyarakat dan juga dapat menjadi salah satu 

indikator idiologis suatu kelompok masyarakat, yang mencakup antara lain nilai-nilai yang 

dianut (kepatutan, baik-buruk, pantas–tidak pantas).   

Dalam komunikasi sehari-hari, nama merupakan istilah rujukan (

reference term) yang 

sangat penting dan umum dipakai, baik disebutkan tanpa embel-embel maupun disertai unsur 

lain seperti gelar (lihat Ervin-Tripp 1972; Murphy 1988; Lukmana 2002). Nama itu adalah 

simbol bagi individualitas (Pei 1974:64). Dalam konteks ini, nama dapat digunakan untuk 

merujuk pada diri sendiri (penutur), orang kedua (yang diajak bicara), maupun orang ketiga 

(yang dibicarakan). Secara gamblang menurut Pei (1974) bahwa pemberian nama merupakan 

hasil pemikiran beradab. 




Makalah ini disajikan dalam Seminar Internasional ”Hari Bahasa Ibu” dengan tema: ”Menyelamatkan Bahasa Ibu sebagai 

Kekayaan Budaya Nasional”  di Gedung Merdeka tanggal 19-20 Februari 2010 

Bagi William Shakespeare, boleh-boleh saja menyatakan „

what’s in a name“, apalah arti 

sebuah nama. Namun bagi masyarakat Sunda nama itu begitu penting, begitu bermakna dan 

memiliki kekuatan "jiwa" dari benda itu sendiri. Selain menjadi indentitas sepanjang hidup, 

nama konon menyimpan kekuatan misterius sehingga prosesi pemberiannya pun sering kali 

melalui serangkaian upacara adat yang sakral, yang ditandai oleh 

bubur beureum, bubur 

bodas. 


Ikhwal nama, maknanya bisa sangat luas, mungkin tidak hanya secara fisik seperti 

kondisi lokasi geografisnya saja, juga meliputi asal-usul, kondisi dan nilai sosial budaya (

sosio 

cultural) termasuk agama masyarakatnya. Nilai-nilai yang terkandung di dalam sistem 



kebudayaan yang dimiliki secara sosial itu akan tampak dalam wujud simbol pemberian nama 

dan perilaku suatu masyarakat. Menurut Suparlan (1980), simbol-simbol yang ada itu 

cenderung untuk dibuat atau dimengerti oleh para warganya berdasarkan atas konsep-konsep 

yang mempunyai arti yang tetap dalam suatu jangka waktu tertentu. Hal ini terkait erat 

dengan salah satu kodrat dasar manusia, yaitu memiliki kemampuan menginterpretasi dan 

mengkreasikan simbol-simbol.  

Nama pada dasarnya dapat digunakan sebagai istilah untuk merujuk pada apa saja, 

baik manusia, bintang atau benda. Oleh karena itu, proses penamaan sering dianggap bersifat 

manasuka atau arbitrer (lihat Lyons, 1995). Meskipun demikian, tidak semua aspek yang 

berkaitan dengan penamaan itu bersifat manasuka. Dalam beberapa hal, pertama, penamaan 

itu justru bersifat sistematis. Salah satu bukti kesistematisan ini adalah hubungan antara nama 

dan jenis kelamin; hampir semua nama dalam bahasa mangandung implikasi jenis kelamin 

(Allan, 1995). Kedua, dalam sejumlah bahasa, ‘kosakata’ untuk nama tampaknya sudah 

terbatas, seperti nama-nama dalam bahasa Inggris yang relatif sudah tersusun ketat, bahkan 

sudah dikamuskan (Hornby, 1974). Ketiga, sistem penamaan dalam masyarakat tertentu sudah 

begitu terikat oleh aturan yang relatif kaku, di mana seseorang harus menyandang nama 

tertentu berdasarkan misalnya urutan kelahiran, seperti yang terjadi pada masyarakat Buang 

(Hooley, 1972) atau Bali (Geertz, 1973).   

Tulisan ini akan difokuskan untuk menyoroti dan mengungkap sudut pandang 

kosmologi mengenai pola pemberian nama

  pada masyarakat Sunda secara diakronis dengan 

membandingkan masa 

bihari dan masa kiwari, termasuk bagaimana hubungan nama, makna, 

dan implikasi sebuah nama.   

 

B. Kosmologi Sistem Nama Diri 



Pemberian nama dalam berbagai budaya tampaknya sangat diwarnai oleh kondisi sosial 

budaya yang dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, nama-nama yang diberikan kepada 

anak-anak keturunan Anglo-Sakson (

given names, bukan nama keluarga yang diturunkan) 

sangat diwarnai oleh warna kultur setempat, terutama nuansa Kristianitas (lihat Hornby 1974). 

Contoh lain, nama-nama etnik Melayu sangat diwarnai oleh bahasa Arab yang dikenalkan 

lewat penyebaran Islam. Demikian juga satu bangsa dengan bangsa lainnya bisa cirikan oleh 

nama-nama yang disandangnya itu. Hal yang unik adalah bentuk-bentuk yang diambil oleh 

nama-nama yang banyak dipakai di dalam berbagai bahasa/bangsa. Umpamanya nama 

John 


mudah dikenali di dalam bentuk Perancisnya 

Jean, bentuk Spanyol Juan, bentuk Jerman 

Johannes, bahkan dalam bentuk Italianya Giovanni, bentuk Rusia Ivan dan bentuk Finlandia 

Juhana.  

 Menurut Sahid Teguh Widodo (2005), ada tiga sudut pandang dalam kosmologi sistem 

nama diri suatu masyarakat. (1) 

Static view, yaitu sudut pandang yang mengamati nama 

sebagai objek atau bentuk ujaran (verbal) yang statis, sehingga dapat diklasifikasi, diuraikan' 

dan diamati bagian-bagiannya secara mendetail dan menyeluruh dengan ilmu dan teori-teori 

bahasa. (2) 

Dynamic view, yaitu suatu pandangan yang melihat nama diri dalam keadaan 

bergerak dari waktu ke waktu, mengalami perubahan, perkembangan, dan pergeseran bentuk 

dan tata nilai yang melatarbelakanginya. (3) 

Strategic view, yaitu aspek strategis dari akumulasi 

fenomena, termasuk segala bentuk perubahan dan perkembangannya, dan lebih jauh 

mengenai hubungan kebudayaan dengan bahasa, khususnya dalam nama diri. Ketiga sudut 

pandang ini diharapkan mampu menangani berbagai bentuk permasalahan nama diri, baik dari 

segi kebahasaan, maupun dari aspek di luar bahasa, yaitu aspek sosio-kulturalnya.  




Makalah ini disajikan dalam Seminar Internasional ”Hari Bahasa Ibu” dengan tema: ”Menyelamatkan Bahasa Ibu sebagai 

Kekayaan Budaya Nasional”  di Gedung Merdeka tanggal 19-20 Februari 2010 

1. 

Static View 



Dalam pandangan 

static view, nama diri tampak sebagai satu bentuk ujaran yang jelas 

jungkiring jirim-nya 'bentuk formal yang utuh', sehingga bagian-bagiannya tampak jelas dan 

teramati (

overt). Sebagai sebuah bentuk ujaran, nama diri dipandang memiliki bangun atau 

konstruksi, yaitu konstruksi kata dan kelompok kata.  

Dalam proses pemberian nama di masyarakat Sunda dikenal dengan nama “pangnénéh” 

(nama kesayangan), yang biasanya digunakan untuk memudahkan pemanggilan nama sehari-

hari. Umpamanya, nama 

Icih merupakan nama pangnénéh sekaligus singkatan dari nama 

Sariningsih;  Enday  dari  Iskandar;  Entob dari Kartobi, dlsb. Di Amerika, Ted merupakan 

singkatan dari 

Theodore. Di Britania, Ed merupakan bentuk kecil atau singkatan bagi setiap 

nama yang dimulai dengan awalan dalam bahasa Anglo-Sakson berarti “kekayaan” misalnya 

Edward, Edmund, Edgar, Edwin dlsb. 

Timbulnya nama 

pangnénéh di masyarakat Sunda ini kemungkinan besar dinamai oleh 

orang tua si anak, namun tidak menutup kemungkinan juga dilakukan oleh anak atau si 

penyandang nama yang bersangkutan. Karena masih kecil sehingga tidak mampu 

mengartikulasikan nama dirinya terutama nama yang memiliki fonem /r/

, akhirnya menjadi 

nama panggilan sampai dewasa. Umpamanya, nama 

Roni jadi Oni; Karna jadi Ana, Gelar jadi 

Iay; Guntur jadi Utuh atau Utuy; Irma jadi Ima; dlsb. Nama-nama pangnénéh seperti: Emed, 

Omod, Emod, Amad, Amat, Mamad, Mamat, Memed, Memet adalah varian dari nama Ahmad 

atau 


Muhammad. Juga nama Amut, Emud, Mumud, Mumun bisa diidentifikasi yakni varian 

dari nama 

Mahmud. Begitu juga bagi nama-nama perempuan, seperti: Ijah, Eja, Ijoh, Ijot, Écot, 

Icah, varian dari nama (Siti) Hadijah. Selain diberi nama pangnénéh, ada lagi nama “pangogo” 

(panggilan sayang) untuk anak laki-laki: 

Ujang dari bujang, Otong/Otoy/Entol dari sebutan 

bagi kemaluan laki-laki; 

Agus dari bagus; Elu dari jalu, Asep, Acep, Ayep, Atep dari kasep; 

Deden, Eden, dari Raden  dlsb.  Sedangkan nama pangogo bagi anak perempuan: Eulis, Euis, 

Elis, Yelis, Nelis, Lilis dari kata geulis (cantik); Enden, Nenden (Eneng) dari Raden; Enung dlsb. 

Untuk kalangan atas (menak), dalam nama “pangogo” mempunyai nama tersendiri seperti: 

Dang, dan bagi anak seorang bupati untuk laki-laki yaitu: Aom. 

Seperti yang telah disinggung di atas, dalam pemberian nama  menurut adat kebiasaan 

dan konsepsi masyarakat Sunda tidak asal saja (

gagabah), mengingat proses pemberian nama 

itu bersifat 

sakral yang mempunyai implikasi pada prospek masa datang. Maka konsekuensi 

dari proses ini harus melalui 

ritual yakni upacara selamatan. Selain agar nama anak itu indah 

atau gagah kedengarannya, banyak hal yang harus diperhitungkan dalam pemberian nama. 

Dengan harapan kelak nama itu membawa berkah, keselamatan, keuntungan, keunggulan bagi 

si penyandang nama. Hal-hal yang perlu diperhitungkan biasanya tidak terlepas dari: hari 

lahir, pasaran, bulan, jam (saat) dilahirkan. Jadi, di dalam nama tersebut tersimpan kearifan 

(wisdom) dan dapat merefleksikan harapan (expectation) yang dianut masyarakatnya. 

Mengingat nama itu sakral dan merupakan salah satu istilah rujukan yang sangat 

penting, tampaknya nama telah mendapat perhatian yang besar, terutama dari para 

pemberinya.  Maka untuk keperluan pemberian nama itu biasanya terlibat bukan orang tua si 

bayi saja, tapi juga kakek nenek dari kedua belah pihak orang tuanya, bahkan tidak jarang 

orang tua yang sangat disegani (biasanya seorang guru atau kiai) dan memiliki pengetahuan 

serta kemampuan adikodrati mengenai kenaasan, kesialan, perbintangan (horoskop) serta 

perhitungan nilai huruf yang dipergunakan sebagai angka untuk mengetahui peruntungan di 

dalam perkawinan (repok jodo) (Mustapa, 1991: 31). Bila demikian keadaannya, terutama 

untuk menanggulangi dan menampung berbagai aspirasi maka nama-nama itu masing-masing 

ditulis dalam secarik kertas (biasanya dalam huruf 

ha-na-ca-ra-ka atau Arab) kemudian 

digulung dan dimasukan ke dalam sebuah wadah (kotak) untuk diaduk-aduk. Ibu/Bapak si 

bayi kemudian diminta untuk mengambil salah satu dari gulungan itu, dan nama yang tertulis 

pada gulungan itulah kelak menjadi nama si bayi.  

  

 

2.  



Dynamic View 

Berbeda dengan sudut pandang statis (

static view), sudut pandang dinamis (dynamic 

view) melihat nama diri dalam keadaan bergerak dari waktu ke waktu; mengalami perubahan, 

perkembangan, dan pergeseran bentuk seiring dengan tata nilai yang melatarbelakanginya.  



Makalah ini disajikan dalam Seminar Internasional ”Hari Bahasa Ibu” dengan tema: ”Menyelamatkan Bahasa Ibu sebagai 

Kekayaan Budaya Nasional”  di Gedung Merdeka tanggal 19-20 Februari 2010 

 Sudut 

pandang 


Dynamic view  dilandasi oleh satu pemahaman bahwa bahasa adalah 

suatu kegiatan yang berhubungan erat dengan tingkah laku sosial dan budaya lain. Oleh 

karena itu bahasa harus dipelajari dalam konteks sosial dan budayanya (Sudaryanto, 2000:7), 

sehingga akhirnya nama menjadi ekspresi dan refleksi budaya pemiliknya.   

Pada masa lampau nama-nama yang diberikan kepada anak yang baru lahir, biasanya 

nama Sunda yang katanya “asli” seperti untuk laki-laki misalnya: 

Istam, Astim, Uslan, Misran, 

Sapan, Sapain dlsb.; untuk perempuan misalnya: Rusih, Misnem, Jainem, Uminem, Jaitem, 

Alikem, Astimah, Sarinah, Rumsinah, Jaimah dlsb. Tidak sedikit juga untuk membuat nama 

memakai bahasa Sansekerta seperti: 

Citra, Sukarya, Jatnika, Ningsih, Ratnadi dlsb. Ketika 

datang agama Islam nama-nama berubah mengikuti 

trend jadi nama-nama Arab seperti: 

Muhammad, Abdullah, Kadir, Ahmad, Siti Hadijah, Siti Zainab, Siti Maryam, Salim dlsb. Begitu 

juga pengaruh Eropah (terutama Belanda) banyak memberi warna kepada nama-nama Sunda 

seperti: 

Eddy, Deddy, Elsa, Betty, Anne, Iceu dlsb. (Mustapa, 1994:31-32).   

Setelah dewasa nama-nama anak itu diganti dengan nama-nama baru biasanya diambil 

dari bahasa Sansekerta, dan harus memiliki makna yang bagus, seperti: 

Suryamiharja, Ganda 

Saputra, Raharja, dlsb. Banyak pula yang diganti dengan nama-nama Arab (Islam), hal ini 

berkaitan erat bila telah menunaikan ibadah haji. Pergantian nama biasanya tidak terlepas juga 

dengan kedudukan, profesi atau karena prestasi, maka ia akan menukar atau mengganti 

namanya sesuai dengan kedudukannya, seperti: 

Kanduruan, dlsb.  

Namun, adakalanya pergantian atau penukaran nama sering dilakukan orang dengan 

nama yang lebih jelek, atau jelek sekali seperti yang menggunakan sebutan bagi benda atau 

binatang, seperti: 

Kadut, Karung, Bangkarak, Runtah, Betok atau  Bulus. Hal ini disebabkan 

adanya kepercayaan yang sangat melekat bahwa nama bagus yang telah diberikan bersifat 

terlalu “panas” atau “

beurat teuing ku ngaran “ bagi anak tertentu, sehingga ia sering jatuh sakit 

atau terus-terusan mengalami musibah. Maka pergantian nama di atas itu, umumnya dipercaya 

sebagai palakiah (usaha) untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Di Jawa Timur dan 

Jawa Tengah dalam pergantian nama yang memiliki aura harapan serta menambah kesehatan 

dan rezeki seseorang adalah dengan nama 

Subur, Timbul, atau Slamet (Dananjaya, 1994:25). 

Sehubungan dengan praktek pemberian nama, dalam budaya Sunda dikenal juga 

pemberian nama julukan (jujuluk). Nama julukan itu mempunyai makna yang positif dan 

negatif, terutama kaitannya dengan profesi/pangkat/keudukan, perilaku maupun fisik 

seseorang. Kaitannya dengan profesi/pangkat/kedudukan seseorang sering dijumpai dalam 

masyarakat, seperti: 

Pa Guru, Pa Dokter, Pa Haji, Pa Direktur, Pa Kumetir, dlsb. Julukan yang 

merujuk pada makna positif biasanya dikaitkan dengan perilaku atau sikapnya, seperti 

Oto 

Iskandardinata mempunyai keberanian yang luar biasa (dalam mengemukakan pendapatnya 



dalam menyuarakan aspirasi bangsa Indonesia dalam sidang Volksraad), sehingga diberi 

julukan 


“Si Jalak Harupat”. Untuk merujuk makna positif dalam kaitannya dengan fisiognomi 

(

physiognomy) seseorang, seperti: Si Cureuleuk, si Lenjang, si Demplon dlsb. Sedangkan 



julukan untuk merujuk pada makna negatif yang dikaitkan dengan perilaku seseorang, seperti: 

Si Oray, si Uling, Si Gebot” dlsb. Kaitan dengan fisiognomi yang negatif, seorang anak akan 



dijuluki dengan nama 

Si Pesek/Si Demes, apabila bentuk hidungnya pipih. Atau akan dijuluki 

dengan nama 

Si Nongnong, apabila dahinya sangat menonjol (Dananjaya, 1994:25), dan 

banyak julukan-julukan lainnya seperti: 

Si Jeding, Si Kampeng, Si Rawing, Si Rancung, Si 

Dower, dlsb.   

 

    



3. 

Strategic View 

Sudut pandang yang ketiga adalah 

Strategic view yang mengkaji aspek strategis dari 

akumulasi fenomena; “arah” dari segala bentuk perubahan dan perkembangannya, serta 

hubungan kebudayaan dengan bahasa, khususnya dalam nama diri.   

 

Beranjak dari fakta yang ada, tampaknya dapat dikatakan bahwa nama akhirnya 



menjadi bentuk tak kentara dari strategi hidup manusia secara berkelanjutan (

sustainability). 

Dalam mengarungi kehidupan dan membina satu keluarga, seseorang (orang tua) memiliki 

keinginan, cita-cita, doa, kemauan, pendapat, dan misi hidup. Berbagai keinginan itu memiliki 

kepentingan untuk diutarakan melalui caranya sendiri, baik secara langsung maupun tidak 

langsung, tampak (

overt ‘kasat mata’) atau tidak tampak (covert, perlambang).   



Makalah ini disajikan dalam Seminar Internasional ”Hari Bahasa Ibu” dengan tema: ”Menyelamatkan Bahasa Ibu sebagai 

Kekayaan Budaya Nasional”  di Gedung Merdeka tanggal 19-20 Februari 2010 

 Pada tataran yang lebih dalam, sebagaimana terdapat dalam pepatah Jawa 

nama 


kinarya japa ‘nama sebagai doa’. Dalam konsep keyakinan masyarakat Sunda tradisional, nama 

menjadi pengejawantahan terhadap yang adikodrati –termasuk di dalamnya unsur semesta- 

karena eksistensi manusia yang harus tunduk takluk dengan lingkungannya (kolektivitas) 

sampai kepada pusatnya, yaitu Tuhan pencipta alam semesta. Oleh karenanya, tidak 

mengherankan apabila pemberian nama kepada anak-anak itu bersifat sederhana dan 

bersahaja.   

Dalam budaya Sunda sendiri dapat diidentifikasi berbagai ragam nama, dari yang 

berbau Arab/Islam, etnik/Sunda, India/Hindu, bahkan Barat. Tampaknya realitas ini 

menyiratkan adanya perubahan tatanan, suatu kecenderungan sosiolinguistik makro yang 

serius dan umum terjadi (Labov,2001). Bila melihat fenomena empirik yang berlangsung pada 

masyarakat Sunda dewasa ini, kecenderungan pemberian nama seseorang (terutama di 

perkotaan) lebih didominasi oleh orang tua si bayi tanpa melibatkan orang lain. Tidak sedikit 

orang tua yang menghabiskan waktu berlama-lama hanya untuk mencarikan nama bagi 

anaknya. Nama-nama yang dipilihnya lebih global, ada yang menyiratkan pada afiliasi 

keagamaan (Islam) seperti: 

Auzura Qatrunnida Rahmani, Husnal Khitami, Fatih Izuul Haq, dlsb. 

Namun tidak sedikit yang memilih nama-nama yang “unik” atau bernuansakan bahasa (Kawi) 

Sansekerta, seperti nama: 

Andanawarih Gumiwang Raspati, Dwimantik Sekartanjung, 

Murubmubyar Parangina, Genyas Katalinga, Mayang Rengganis Setrawulan, dlsb. Malah tidak 

sedikit yang memberi nama pada bayi itu dikaitkan dengan peristiwa penting, seperti: 

Ganefodin; nama hari atau bulan (baik Masehi maupun Hijriah), seperti: Ramadan, Agus 

(Agustus), 

Oktaviani (Oktober). 

Nama-nama juga ada yang menyiratkan keunikan berdasarkan ramuan atau racikan 

kata sehingga menghasilan nama yang “wah”, atau 

nyeleneh. Umpamanya nama: Gelara 

Julianarba (Gelara dari kata gelar=lahir, bulan Juli, bisa hari Rabu atau tanggal 4); Retty 

Isnendes (nama yang mirip tokoh telenovela dari Amerika Latin, padahal (Isnen=2 dan 

des=Desember); (Anya) Dwinov (mirip nama Rusia, yang artinya Dwi=dua dan November); 

Barbo  (babar=lahir poé Rebo) dlsb.; Nama-nama itu mudah sekali disingkatkan atau 

diplesetkan, banyak di antaranya yang tidak bisa dikenali lagi sehingga sering menimbulkan 

kebingungan’ (Pei, 1974:65-67). Atau nama itu melekat berdasarkan tokoh yang diidolakan 

orang tuanya, seperti: 

Saddam (Husen), Osama (bin Laden), Rosalinda, Esmeralda, Barack 

Obama dlsb.  

 

 

C. PENUTUP 



 

Dilihat dari nuansa (warna) dalam nama diri masyarakat Sunda secara diakronis, 

tampak bahwa pada kenyataannya penamaan tidak terpukau dan terpaku saja dengan 

keindahan bahasa, yaitu semata-mata sebagai estetika fonis. Nama juga dirangsang oleh 

berbagai fenomena hidup yang lain yang mengacu pada kelampauan, masa kini, dan masa 

depan. 


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa (1) secara diakronis, terdapat 

kecenderungan telah terjadi perubahan pada sistem nama diri masyarakat Sunda yang tampak 

dari perkembangan unsur-unsur yang berakibat pula pada perkembangan konstruksinya. (2) 

Perkembangan seperti itu terkait erat dengan (a) dinamika masyarakat yang meningkat, (b) 

perkembangan kosa kata bahasa manusia sebagai buah dari komunikasi peradaban, (c) 

perkembangan nalar (akal budi) dan pola pikir manusia, (d) perkembangan sikap mental dan 

respon budaya masyarakat, (e) perkembangan kebutuhan manusia, dan yang tidak dapat 

dilupakan adalah (f) jasa ilmu pengetahuan dan teknologi melalui hasil-hasilnya. 

Gejala psikologis yang dapat dirasakan adalah, seorang remaja yang merasa malu 

dengan namanya, sering merubahnya sendiri paling tidak pada nama panggilan yang 

disesuaikan dengan modernitas jaman atau 

trend nama yang berlaku. Sebaliknya, seorang 

anak akan merasa bangga memiliki nama yang moderen. Ada sebuah anekdot, ketika di desa 

namanya 


Icih, begitu pindah ke kota berubah menjadi Iceu. Ada hal yang menarik, terutama 

di kalangan selebritis pemberian nama julukan bisa diidentifikasi dari buah karyanya maupun 

tembang yang dilantunkannya (

kostim). Umpamanya julukan Si Burung Camar itu pasti 




Makalah ini disajikan dalam Seminar Internasional ”Hari Bahasa Ibu” dengan tema: ”Menyelamatkan Bahasa Ibu sebagai 

Kekayaan Budaya Nasional”  di Gedung Merdeka tanggal 19-20 Februari 2010 

merujuk pada Vina Panduwinata, 

Umar Bakri kepada Iwan Fals, Tenda Biru kepada Desy 

Ratnasari, 

Si Bajing Luncat pada Upit Sarimanah dlsb. Malah ada kecenderungan pula terutama 

di kalangan artis penyanyi (Pop atau Dangdut), ketika akan memasuki dunia rekaman terutama 

agar membawa hoki atau ketenaran biasanya dilakukan pergantian nama, dari nama 

ndeso ke 

nama yang lebih keren seperti Niki Nastiti berubah jadi Niki Astria, Ike Ratnadila berubah jadi 

Nike Ardila dlsb. Hal serupa terjadi pula di dunia olah raga, terutama  olah  raga  tinju 

profesional. Sebagian besar atlet tinju profesional memakai nama petinju favoritnya, atau juga 

semacam istilah yang merujuk pada keahlian atau kelebihan bertinjunya. Misalnya, 

Litle 


Holmes, Dobrak Arter, Ananto Chaves, Nurdin Inoki, dsb.  

Demikianlah akhir dari paparan ini. Satu hal yang perlu disampaikan, bahwa tulisan ini 

sungguh hanya kajian yang kurang komplit. Namun demikian, apabila disetujui, pokok yang 

ingin disampaikan di sini merupakan hasil sebuah 

tracer study dan diskusi-diskusi informal 

yang penulis lakukan. Akhirnya, tergantung dari pembaca budiman sendiri. Bahwa manisnya 

sebuah mangga tak ditentukan oleh warna dan bentuk kulitnya. Intinya terletak pada rasanya, 

namun dukungan lain tetap diperlukan, yaitu kematangannya (alami atau diperam), kadar 

glukosa, jenis mangga, dan sebagainya. Di sisi lain, ada yang dapat diperbincangkan, di bagian 

lidah mana manis itu dirasakan. Begitu seterusnya dan semakin menarik untuk didiskusikan. 

Begitulah! 

 

 



 

 

 



 

 

 



 

 

 



 

 

 



 

 

 



 

 

 



 

 

 



 

 

 



 

 

 



 

 

 



 

 

 



 


Makalah ini disajikan dalam Seminar Internasional ”Hari Bahasa Ibu” dengan tema: ”Menyelamatkan Bahasa Ibu sebagai 

Kekayaan Budaya Nasional”  di Gedung Merdeka tanggal 19-20 Februari 2010 

RUJUKAN 

 

Allan, Keith (1986) 



Linguistic Meaning, Vol I. London: Routledge & Kegan Paul. 

Allan, Keith (1995) ‘What names tell about the lexicon and the encyclopedia’ dalam 

Lexicology, 

Vol.1/2, hal. 280-325. 

Bakhtiar, Laleh (2002), 

Moral Healing Throughn The Most Beautiful Names (terjemahan), 

Bandung: Mizan 

Dananjaya, James. 1994. 

Folklor Indonesia (Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain). Jakarta: 

Grafiti Press. 

Ekadjati, Edi S. 1995. 

Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta:Pustaka Jaya. 

Ervin-Tripp, Susan. 1972. ‘On Sociolinguistic Rules: Alternation and Co-occurance’ dalam John 

J. Gumperz dan Dell Hymes (editor) 

Directions in Sociolinguistics: The Etnography of 

Communication. New York: Holt, Rinehart, and Winston, Inc., hal 213-250. 

Geertz, Clifford. 1973. 

The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, Inc. 

Hidayat, Komarudin, 2008. “Makna dibalik Nama” dimuat dalam 

Seputar Indonesia, 11 Juli 

2008  

Hook, Donald D. (1984) ‘First names and titles as solidarity and power semantics in English’ 



dalam 

IRAL, Vol. XXII/3, hal. 183-189. 

Hooley, Bruce A. 1972. ‘Shorter Communications: The Buang naming system’ dalam 

The 


Journal of Polynesian Society, Vol. 81, hal 500-506. 

Hornby, A.S. 1974. 

Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Edisi ke-3. 

Oxford: Oxford University Press. 

Hymes, Dell (ed). 1974. 

Language in Culture and Society, A Reader in Linguistics and 

Anthrophology. New York: Harper & Row Publishing Inc. 

Labov, William. 2001. 

Principles of Linguistic Change: Social Factors. Oxford: Blackwell 

Publishers. 

Lubis, Nina H. 1998. 

Kehidupan Kaum menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi 

kebudayaan Sunda. 

Lukmana, Iwa. 2002. 

Reference to a Third Person in Sundanese. Disertasi Ph.D pada 

Depertemen of Linguistics, Monash University, Australia. 

Lyons, John. 1995. 

Linguistic Semantics: an Introduction. Cambridge: Cambridge University 

Press. 

Murphy, Gregory L. 1988. ‘Personal reference in English’ dalam 



Language in Society, Vol. 17, 

hal 317-349. 

Mustapa, Hasan R.H. 1991. 

Adat Istiadat Sunda (terjemahan). Bandung:  Alumni. 

Pei, Mario. 1974. 

Kisah Daripada Bahasa (terjemahan). Jakarta: Bharata. 

Rosidi, Ajip. 1985. 

Manusia Sunda: Sebuah Esei tentang Tokoh-tokoh sastra dan Sejarah. 

Jakarta: Inti Idayu Press. 

Sudaryanto dan Alex Hero Rambadeta. 2000. 

Proceding Konperensi: Antar Hubungan Bahasa 

dan Budaya Di Kawasan Non Austronesia. Yogyakarta: Pusat Studi Asia Pasifik UGM. 

Suhamihardja, A. Suhandi.1984. ‘Organisasi dan Struktur Sosial Masyarakat Sunda’ dalam Edi 

S. Ekadjati (editor) 

Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya. Bandung: Girimukti Pasaka, 

hal 205-222. 

Suparlan, Parsudi. 1980. “Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya Perspektif Antropologi 

Budaya”. Dalam: 

Yang Tersirat dan Tersurat. Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1940-

1980. 


Widodo, Sahid Teguh 2005.

 ’ Wawasan Jagad Sistem Nama Diri Masyarakat Jawa’ dalam 

Linguistika Jawa Tahun ke 1, No. 1, Februari 2005 

 

  



 

Yüklə 193,24 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə