Perubahan fisik sebagai ukuran dewasa



Yüklə 244,95 Kb.
səhifə1/3
tarix26.01.2018
ölçüsü244,95 Kb.
#22460
  1   2   3


  1. PENDAHULUAN




    1. Latar Belakang Masalah

Menurut Suwandi (2004,h.3), Persoalan kemandirian pemerintah daerah disebabkan oleh masalah makin membengkaknya biaya yang dibutuhkan pemerintah daerah untuk pelayanan publik (fiscal need), sementara laju pertumbuhan penerimaan daerah (fiscal capacity) tidak mencukupi sehingga terjadi kesenjangan fiskal (fiscal gap). Oleh karena itu pemerintah daerah harus melakukan upaya peningkatan kapasitas fiskal daerah (fiscal capacity) untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pusat dalam rangka mengatasi kesenjangan fiskal.

Peningkatan kapasitas fiskal daerah ini pada dasarnya adalah optimalisasi sumber–sumber penerimaan daerah yang salah satunya adalah peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Langkah penting yang harus dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah adalah menghitung potensi pendapatan asli daerah yang riil dimiliki daerah. Untuk itu diperlukan metode penghitungan potensi PAD yang sistematis dan rasional dimana PAD ini merupakan indikator bagi pengukuran tingkat kemampuan keuangan daerah (Mardiasmo dalam Ilyas, 2003,20).

Dengan diberlakukan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan lebih banyak kewenangan kepada daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Undang-undang tersebut merupakan landasan bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia.

Otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih besar bagi daerah untuk mengatur dan mengurus wilayahnya sendiri. Sejalan dengan kewenangan tersebut, Pemerintah Daerah harus lebih mampu menggali dan mengelola sumber-sumber penerimaan daerah yang salah satunya berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat dijadikan sebagai salah satu indikator kemampuan keuangan daerah. Besarnya kontribusi penerimaan PAD terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mencerminkan kemampuan manajerial Pemerintah Daerah dalam mengelolah berbagai sumber penerimaan daerah, sekaligus mencerminkan potensi perekonomian daerah.

Salah satu sumber pendapatan daerah yang dapat digali dalam rangka peningkatan PAD adalah retribusi daerah. Retribusi daerah sebagai salah satu komponen sumber PAD dimaksudkan untuk dapat memasukkan dana bebas daerah sebanyak-banyaknya guna membiayai pengeluaran pembangunan sehingga kestabilan ekonomi yang mantap dapat tercapai karena laju pertumbuhan ekonomi yang layak dipertahankan. Sebagai instrumen kebijakan fiskal, retribusi daerah mempunyai beberapa kemampuan strategi yang mencerminkan manfaat dari retribusi itu sendiri dalam membantu meningkatkan pembangunan daerah, manfaat tersebut adalah: retribusi daerah dapat meningkatkan kemampuan penerimaan PAD, dan mendorong laju pertumbuhan ekonomi daerah. Diantara beberapa retribusi daerah yang dijadikan sebagai pendapatan daerah, retribusi parkir merupakan salah satu retribusi yang dapat mendorong peningkatan penerimaan PAD. Retribusi parkir di tepi jalan umum di Kabupaten Aceh Jaya terdapat dibeberapa titik seperti di Pasar Keude Teunom, Pasar Keude Lamno, dan di Pasar Calang.

Kabupaten Aceh Jaya merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Aceh yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat. Pasca terjadinya bencana gempa dan tsunami pemerintah Kabupaten terus melakukan berbagai langkah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dalam meningkatkan potensi perekonomian daerah. Upaya peningkatan penghasilan yang dilakukan diantaranya dengan cara meningkatkan Pendapatan Asli Daerah melalui Retribusi Parkir, salah satunya dengan menetapkan Qanun Kabupaten Aceh Jaya Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum yang diharapkan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Oleh karena itu, penulis berkeinginan untuk mengkaji lebih lanjut tentang upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Jaya dalam meningkatkan pendapatan melalui retribusi parkir dengan judul penelitian Upaya Peningkatan Penerimaan Retribusi Parkir Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Aceh Jaya




    1. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah dalam penelitian yang akan dikaji peneliti yaitu bagaimana upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Jaya dalam meningkatkan penerimaan retribusi parkir sebagai sumber PAD di Kabupaten Aceh Jaya?


    1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan yang ingin di capai dalam pembahasan ini adalah Untuk mengetahui upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Jaya dalam meningkatkan penerimaan retribusi parkir.

    1. Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas manfaat yang akan diperoleh dengan diadakannya penelitian ini dijelaskan dalam manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

      1. Manfaat Teoritis Ilmiah

Dilihat dari manfaat teoritisnya bagi peneliti sendiri penelitian ini diharapkan akan menambah pengetahuan yang selama ini diperoleh dalam materi perkuliahan yang kemudian dikembangkan dalam bentuk penelitian

Penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat bagi penelitian lainnya dapat dijadikan referensi bagi mereka yang tertarik untuk membahas atau meneliti lebih lanjut permasalahan yang penulis bahas.

meneliti lebih lanjut permasalahan yang penulis bahas.


      1. Manfaat Praktis

  1. Sebagai Karya Tulis yang bisa dijadikan bahan studi untuk dapat dikembangkan bagi pihak yang membutuhkan.

  2. Bagi Pemerintah, hasil kajian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan (pedoman) dalam menetapkan kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaaan retribusi parkir di Kabupaten Aceh Jaya.

  3. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, hasil kajian diharapkan dapat digunakan sebagai referensi yang memperkaya wawasan dan pengetahuan, khususnya yang terkait dengan perparkiran di suatu wilayah.



    1. Sistematika Pembahasan

Adapun penulisan skipsi ini terdiri dari lima bab yaitu:

Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua berisi tentang kajian teoritis terdiri dari pengertian retribusi daerah, jenis-jenis retribusi daerah, retribusi parkir, faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan dibidang parkir, pendapatan asli daerah.

Bab ketiga yaitu bab metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik pengolahan dan analisa data.

Bab keempat adalah bab hasil penelitian yang membahas tentang gambaran umum Kabupaten Aceh Jaya, hasil penelitian dan pembahasan.

Bab kelima merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.




  1. TINJAUAN PUSTAKA




    1. Pendapatan Asli Daerah

Dalam upaya mewujudkan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia dibentuklah daerah otonom yang terbagi dalam daerah provinsi, daerah Kabupaten dan daerah kota yang bersifat otonom sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Pengertian "Daerah Otonom" menurut Undang-Undang tersebut yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia.

Pengertian daerah otonom dimaksud agar daerah yang bersangkutan Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mendorong Pemerintah Daerah untuk memacu peningkatan PAD. Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam mengatur sumber keuangannya. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah dijelaskan sumber pendapatan daerah yang menjadi terdiri atas:

a. Pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu:

1) Hasil pajak daerah;

2) Hasil retribusi daerah;

3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan

4) Lain-lain PAD yang sah;
b. Dana perimbangan; dan

c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, sumber keuangan yang berasal dari pendapatan asli daerah lebih penting dibandingkan dengan sumber-sumber di luar Pendapatan Asli Daerah, karena PAD dapat dipergunakan sesuai dengan prakarsa dan inisiatif daerah sedangkan bentuk pemberian pemerintah (non PAD) sifatnya lebih terikat. Dengan penggalian dan peningkatan pendapatan asli daerah diharapkan pemerintah daerah juga mampu meningkatkan kemampuannya dalam penyelenggaraan urusan daerah.

Di sisi lain meningkatnya tugas, kewajiban, tanggung jawab, hak dan wewenang Daerah kota/kota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien tanpa didukung sumber pembiayaan yang memadai. Oleh karena itu pemerintah daerah harus mampu menjalankannya, menggali, dan mendayagunakan potensi pendapatan daerah secara efektif dan efisien untuk pencapaian target Pendapatan Asli Daerah.

Menurut Basri (2007, h.24) belum optimalnya penerimaan daerah disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :

1. Rendahnya kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajibannya;

2. Perangkat hukum dan law enforcement yang mendukung pelaksanaan pemungutan pendapatan yang belum baik dan belum sesuai dengan kondisi lapangan.

3. Belum lengkapnya data base tentang pajak dan retribusi daerah.

4. Relatif rendah dan kurang berkembangnya basis, struktur serta jenis pajak dan retribusi daerah. Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000 daerah Kabupaten/Kota dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Namun, melihat kriteria pengadaan pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan Pajak Pusat dan Pajak Propinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta sifatnya bervariasi antar daerah. Rendahnya basis pajak ini bagi sementara daerah berarti memperkecil kemampuan manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.

5. Perannya yang relatif kecil dalam total penerimaan daerah. Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan Pusat. Dari segi upaya pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi “usaha” daerah dalam pernungutan PAD-nya, dan lebih mengandalkan kemampuan. “negosiasi” daerah terhadap Pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.

6. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah. Hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkat buoyancy (daya tekan) yang rendah. Salah satu sebabnya adalah diterapkan sistem “target” dalam pungutan daerah. Sebagai akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target tersebut, walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi sebenarnya pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target yang ditetapkan.

7. Kurangnya koordinasi internal dan dengan unit kerja lain yang berkaitan dengan pemungutan pajak dan retribusi daerah.

8. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah.

Salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah yang potensial untuk dikembangkan diantaranya adalah retribusi daerah. Oleh karena itu Pemerintah Daerah perlu memperhatikan pengelolaan retribusi daerah sebagai salah satu sumber pendapatan daerah.


2.2 Sumber-sumber PAD

2.2.1 Pajak Daerah

Menurut Marihot (2006, h.7). Pajak Daerah adalah pungutan dari masyarakat oleh Negara/Pemerintah berdasarkan Undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (kontra prestasi/balas jasa) secara langsung yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan.

Menurut Ahmad (2002, h.45). Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggara pemerintah daerah dan pembangunan daerah.

Menurut Ahmad (2002, h.46) kriteria pajak daerah adalah sebagai berikut:



  1. Bersifat pajak dan bukan retribusi

  2. Objek pajak terletak/terdapat diwilayah daerah, kabupaten atau kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat diwilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.

  3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum

  4. Objek pajak merupakan bukan objek pajak provinsi dan/atau objek pajak pusat

  5. Potensinya memadai

  6. Tidak memberikan dampak ekonomi negatif

  7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat

  8. Menjaga kelestarian lingkungan

Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah ayat (2). Jenis-jenis pajak yang dikelola/dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota adalah sebagai berikut :

  1. Pajak Hotel

  2. Pajak Restoran

  3. Pajak Hiburan

  4. Pajak Reklame

  5. Pajak Penerangan Jalan

  6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

  7. Pajak Parkir

  8. Pajak Air Tanah

  9. Pajak Sarang Burung Walet

  10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

  11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pajak dan retrebusi dapat tidak dipungut apabila potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan dengan kebijakan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Dari definisi yang dikemukakam di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri yang melekat dari pengertian pajak daerah pertama; Pembayaran yang dilakukan kepada Pemerintah Daerah (penguasa publik), kedua; Pungutannya dapat dipaksakan, ketiga; Pungutannya mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan keempat; Pungutannya tersebut tidak mengharapkan balas jasa (kontra prestasi) dari pemerintah.

Dengan memperhatikan unsur penting dari pengertian pajak tersebut, nampaklah bahwa pada prinsipnya kesemua arti atau penertian dari pajak itu mempunyai inti dan tujuan yang sama. Selain pengertian pajak, Soemitro (2006, h.10) mengemukakan fungsi pajak sebagai berikut:


    1. Fungsi Budgeter, fungsi yang letaknya di sektor publik dan pajak ini merupakan alat atau suatu sumber untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara.

    2. Fungsi Regularend, biasa juga disebut fungsi mengatur bahwa pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan Fungsi mengatur ini dapat juga dilihat pada sektor swasta.

Bila ditinjau dari sudut pembebanannya, pajak dapat dibagi menjadi Pertama; Pajak langsung (Direct Tax), yaitu pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain dan dipungut secara periodik. Kedua; Pajak tidak langsung (Indirect Tax), yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan pada orang lain dan pemungutannya tidak secara periodik.

Bila ditinjau dari segi perundang-undangan, pajak dibedakan atas Pertama; Pajak Negara adalah pajak yang dipungut oleh negara berdasarkan undang-undang melalui inspeksi keuangan. Kedua; Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah yang berdasarkan perundang-undangan yang ditetapkan oleh daerah setempat.

Berdasarkan uraian diatas tentang fungsi-fungsi pajak, sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa pajak memegang peranan penting sebagai sumber pemasukan keuangan daerah, bahkan juga memiliki fungsi lain, yang bersifat mengatur untuk tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan. Untuk menilai berbagai pajak daerah yang ada sekarang ini, akan digunakan serangkaian ukuran seperti Pertama, hasil (Yield) maksudnya adalah memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitan dengan berbagai layanan yang dibiayainya, stabilitas dan mudah tidaknya memperkirakan besar hasil itu dan elastisitas hasil pajak terhadap inflasi, pertumbuhan penduduk dan sebagainya, dan juga perbandingan hasil pajak dan biaya pungut. Kedua, Keadilan (Equity) adalah dasar pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan tidak sewenang-wenang; pajak bersangkutan harus adil secara horizontal, artinya beban pajak haruslah sama benar antara berbagai kelompok yang berbeda tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama; haruslah adil secara vertikal, artinya kelompok yang memiliki sumber daya ekonomi yang lebih besar memberikan sumbangan yang lebih besar daripada kelompok yang tidak banyak memiliki sumber daya ekonomi dan pajak itu haruslah adil dari tempat ke tempat, dalam arti, hendaknya tidak ada perbedaan-perbedaan besar dan sewenang-wenang dalam beban pajak dari satu daerah ke daerah yang lain, kecuali jika perbedaan ini mencerminkan perbedaan dalam cara menyediakan layanan masyarakat. Ketiga, Daya Guna Ekonomi (Economic Efficiency) adalah pajak hendaknya mendorong (atau setidak-tidaknya tidak menghambat) penggunaan sumber daya secara berdaya guna dalam kehidupan ekonomi, mencegah jangan sampai pilihan konsumen dan pilihan produsen menjadi salah arah atau orang menjadi segan bekerja atau menabung dan memperkecil “beban lebih” pajak. Keempat, Kemampuan Melaksanakan (Ability in Implement) adalah suatu pajak haruslah dapat dilaksanakan, dari sudut kemauan politik dan kemauan tata usaha. Kelima, Kecocokan Sebagai Sumber Penerimaan Daerah (Suitability as atau Local Revenue Source) adalah sumber penerimaan dari daerah mana suatu pajak harus dibayarkan, dan tempat memungut pajak sedapat mungkin sama dengan sama tempat akhir beban pajak, pajak tidak mudah dihindari dengan cara memindahkan objek pajak dari suatu daerah ke daerah ke daerah lain, pajak daerah hendaknya jangan mempertajam perbedaan-perbedaan antara daerah, dari segi potensi ekonomi masing-masing, pajak hendaknya tidak menimbulkan beban yang lebih besar dari kemampuan tata usaha pajak daerah.

Tidak ada pajak daerah yang mendapat nilai tinggi bila diukur dengan semua tolak ukur ini dan di berbagai negara pajak daerah mendapat nilai yang rendah menurut tolak ukur ini dibandingkan dengan pajak nasional karena pemerintah pusat biasanya (dan karena alasan-alasan yang masuk akal) mengambil jenis pajak “terbaik” sebagai pajak nasional. Namun demikian tolak ukur ini cukup berguna sebagai alat untuk menilai pajak daerah yang ada dan pajak daerah yang diusulkan.



      1. Retribusi Daerah

Menurut Marihot (2006, h.5), retribusi adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada negara karena adanya jasa-jasa tertentu yang diberikan oleh negara bagi penduduknya secara secara perorangan. Jasa tersebut dapat dikatakan bersifat langsung yaitu hanya yang membayar retribusi yang menikmati balas jasa dari negara.

Menurut Ahmad (2002, h.55) retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa/pemberian izin yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Beberapa definisi tentang retribusi di atas maka dapat dikemukakan beberapa ciri yang melekat pada pengertian retribusi yaitu (a) Retribusi dipungut oleh negara dalam hal ini bahwa semua pendapatan daerah pungutan pendapatan daerah dari publik, (b) Dalam pemungutannya terdapat paksaan secara ekonomis dan (c) Retribusi dikenakan pada setiap orang/badan yang menggunakan jasa-jasa yang disiapkan negara.

Sedangkan dari pengertian retribusi daerah di atas dapat pula diikhtisarkan ciri-ciri pokoknya Pertama; Retribusi dipungut oleh daerah, dapat dijelaskan bahwa semua yang berhubungan dengan segala hak dan kewajiban setiap masyarakat dalam hal ini membayar wajib pajak langsung dipungut oleh pemerintah daerah sebagai salah satu pendapatan daerah dan Kedua; Dalam pungutannya retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang langsung dapat ditunjuk. dan Ketiga; Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan, atau mengenyam jasa yang disediakan daerah. Dalam konteks retribusi kita dapat melihat bahwa nampak tidak adanya pekerjaan untuk menjadi wajib bayar, karena setiap individu yang tergolong wajib bayar adalah atas kehendak sendiri tanpa paksaan memperoleh atau menikmati secara langsung pelayanan tersebut.

Menurut Nurlan (2009, h.35) jenis retribusi dikelompokkan dalam retribusi jasa umum, jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu


  1. Jasa Umum

Retribusi atas jasa yang disediakan/diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan pemanfaatan serta dapat dinikmati oleh orang pribadi/badan

Jenis-jenis retribusi jasa umum



  1. Retribusi pelayanan kesehatan

  2. Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan

  3. Retribusi pelayanan pergantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akte catatan sipil

  4. Retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan manyat

  5. Retribusi pelayanan parkir ditepi jalan umum

  6. Retribusi pelayanan pasar

  7. Retribusi pengujian kenderaan bermotor

  8. Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran

  9. Retribusi pergantian biaya cetak peta

  10. Retribusi kapal perikanan

  1. Jasa Usaha

Jasa usaha yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial, karena pada dasarnya dapat disediakan oleh swasta meliputi pelayanan dengan menggunakan kekayaan daerah yang dimanfaatklan secara maksimal

  1. Retribusi pemakaian kekayaan daerah

  2. Retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan

  3. Retribusi tempat pelelangan

  4. Retribusi terminal

  5. Retribusi tempat usaha parkir

  6. Retribusi tempat penginapan/villa

  7. Retribusi penyedotan kakus

  8. Retribusi rumah potong hewan

  9. Retribusi pelayanan pelabuhan kapal

  10. Retribusi tempat rekreasi dan olah raga

  11. Retribusi penyebrangan diatas auri

  12. Dan lain-lain

  1. Retribusi Perizinan Tertentu

Retribusi perizinan tertentu adalah retibusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi/badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang pengguna sumber daya alam, prasarana/ fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum serta selalu menjaga kelestarian lingkungan. Jenis dari retribusi perizinan tertentu sebagai berikut:

  1. Retribusi izin mendirikan bangunan

  2. Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol

  3. Retribusi izin gangguan

  4. Retribusi izin trayek

      1. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan

Menurut Nurlan (2009, h.37) menyatakan bahwa jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan terdiri dari:

  1. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD

  2. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/ BUMN.

  3. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta/ kelompok usaha masyarakat

Untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan rumah tangga daerah yang relatif cukup besar, maka kepada daerah juga diberikan sumber-sumber pendapatan berupa hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pengelolaan kekayaan daerah tersebut berasal dari perusahaan daerah yang didirikan berdasarkan Undang-Undang yang modal seluruhnya atau sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Perusahaan daerah dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu, Pertama; Perusahaan asli daerah yaitu perusahaan daerah yang didirikan oleh daerah itu sendiri. Dan Kedua; Perusahaan daerah yang berasal dari pemerintah atasannya. Perusahaan daerah sebagaimana dimaksud, pada dasarnya dibentuk dalam rangka turut serta melaksanakan pembangunan, dengan mengutamakan pembangunan daerah dengan memberikan jasa kepada masyarakat dan memberikan dukungan bagi ekonomi daerah.



      1. Yüklə 244,95 Kb.

        Dostları ilə paylaş:
  1   2   3




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə