Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII



Yüklə 89,5 Kb.
Pdf görüntüsü
tarix03.05.2018
ölçüsü89,5 Kb.
#41106


 

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII 

Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013

                       

 

ISBN : 978-602-97491-7-5 

D-14-1


 

KAJIAN POTENSI MAKROZOOBENTOS SEBAGAI BIOINDIKATOR 

PENCEMARAN LOGAM BERAT TEMBAGA (Cu) DI KAWASAN 

EKOSISTEM MANGROVE WONOREJO PANTAI TIMUR SURABAYA 

 

Mardian Anugrah Hadiputra 



1 ,*)

, Alia Damayanti

1)

 

1)

Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi 

Sepuluh Nopember 

*

)

e-mail: mardi_myung@yahoo.com

 

 

ABSTRAK 



 

Aktivitas manusia yang semakin bertambah di berbagai sektor kehidupan mengakibatkan 

bertambahnya kuantitas limbah di perairan yang berpotensi membahayakan perkembangan 

organisme di perairan tersebut. Makrozoobentos merupakan hewan yang hidup di dasar 

perairan dan dijadikan sebagai bioindikator kualitas suatu perairan karena habitat hidupnya 

relatif menetap. Tembaga (Cu) dalam konsentrasi tinggi atau rendah bersifat sangat toksik jika 

berada sebagai satu-satunya unsur dalam larutan. Di perairan estuari Pantai Timur Surabaya 

bermuara empat sungai besar di antaranya Kali Wonokromo dan Kali Wonorejo dimana 

sungai-sungai tersebut membawa limbah padat dan cair dari industri maupun rumah tangga 

yang akan menumpuk dan mencemari perairan estuari. Penelitian bertujuan menganalisis jenis 

makrozoobentos Filum Mollusca yang berpotensi sebagai bioindikator pencemaran logam 

berat serta mengkaji tingkat konsentrasi pencemaran logam berat Tembaga (Cu) di 

makrozoobentos maupun di sedimen ekosistem Mangrove Wonorejo Pantai Timur Surabaya. 

Hasil penelitian menunjukan bahwa ditemukan 19 jenis spesies makrozoobentos filum 

Mollusca (15 kelas Gastropoda dan 4 kelas Bivalvia). Nilai kandungan Cu pada bentos di 

masing-masing titik menunjukkan hasil yang tidak merata sedangkan nilai kandungan Cu 

pada sedimen menunjukkan hasil akumulasi tertinggi pada pengambilan data kedua. 

Keanekaragaman makrozoobentos berpotensi sebagai metoda alternatif monitoring kualitas 

lingkungan. Dengan mengetahui tingkat keanekaragaman makrozoobentos, dapat diketahui 

kondisi lingkungannya sebagai habitat makrozoobentos itu sendiri. 

 

Kata kunci: Makrozoobentos, Bioindikator, Logam berat, Tembaga (Cu), Mangrove, 

Wonorejo 

 

 

PENDAHULUAN 

 

Limbah bahan pencemar yang dihasilkan dari aktivitas kegiatan manusia sehari-hari 



berpotensi membahayakan kehidupan perairan darat maupun laut dan secara khusus dapat 

menganggu perkembangan organisme di perairan tersebut. Aktivitas manusia yang semakin 

bertambah di berbagai sektor kehidupan mengakibatkan tekanan lingkungan terhadap perairan 

semakin meningkat, sehingga suatu ketika dapat melampaui keseimbangan air laut yang 

mengakibatkan sistem perairan menjadi tercemar

Makrozoobentos merupakan bagian dari 



makroinvertebarata yang hidup di dasar perairan (Trihadiningrum, 2003). Makrozoobentos 

dapat dijadikan sebagai bioindikator kualitas di suatu perairan karena habitat hidupnya yang 

cenderung relatif menetap. Kelompok makrozoobentos yang relatif dominan di ekosistem 

mangrove adalah Mollusca, udang-udangan, serta ikan-ikan khas. Gastropoda dan Bivalvia 

merupakan golongan Mollusca yang paling dominan terdapat di mangrove. Mollusca 

menghabiskan seluruh hidupnya di kawasan tersebut sehingga apabila terjadi pencemaran 




 

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII 

Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013

                       

 

ISBN : 978-602-97491-7-5 

D-14-2


 

lingkungan maka tubuh Mollusca akan terpapar oleh bahan pencemar dan terjadi penimbunan 

atau terakumulasi (Nybakken, 1992). 

Logam berat yang masuk di dalam suatu perairan akan sangat berbahaya baik efek 

secara langsung terhadap biota organisme yang terdapat didalamnya maupun secara tidak 

langsung dalam jangka panjang terhadap kesehatan manusia. Hal tersebut berkaitan dengan 

sifat logam berat yang sulit untuk didegradasi sehingga mudah terakumulasi dalam 

lingkungan perairan dan secara alami keberadaannya akan sulit untuk terurai (hilang) lalu 

terakumulasi di dalam biota/organisme dan akan mengancam kesehatan manusia sebagai 

konsumen terakhir yang mengkonsumsi biota/organisme tersebut (Marganof, 2003). 

Wilayah Pantai Timur Surabaya merupakan bentang alam yang relatif datar dengan 

kemiringan 0-3

o

 serta rata-rata ketinggian pasang surut kurang lebih 1,67 meter (Arisandi, 



2001). Logam berat merupakan salah satu cemaran yang terdapat di Pantai Timur Surabaya. 

Menurut Anwar (1996), wilayah Pantai Timur Surabaya telah tercemar oleh logam berat 

tembaga (Cu) serta merkuri (Hg). Kualitas kehidupan biota lumpur (makrozoobentos) 

menunjukkan klasifikasi tercemar berat di bagian utara Pantai Timur Surabaya dan tercemar 

ringan di bagian selatan, kecuali bagian litoral Muara Sungai Kali Wonokromo dan Kali 

Kenjeran yang termasuk dalam kategori tercemar berat. 

Tujuan penelitian adalah menganalisis jenis makrozoobentos Filum Mollusca yang 

berpotensi sebagai bioindikator pencemaran logam berat serta mengkaji tingkat konsentrasi 

pencemaran logam berat Tembaga (Cu) di makrozoobentos maupun di sedimen ekosistem 

Mangrove Wonorejo Pantai Timur Surabaya. 

 

METODE 

 

Lokasi penelitian berada di wilayah Pantai Timur Surabaya yang difokuskan pada 

Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Jagir Wonokromo serta Hutan Mangrove Wonorejo di 

muara Kali Jagir Wonokromo. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 titik sampling di 3 

stasiun yang berbeda sehingga akan didapatkan total sebanyak 9 analisis sampel dalam satu 

kali sampling. Sampling dilakukan 4 kali antara bulan Maret - Mei 2013 sebagai representatif 

pengambilan sampel di musim yang berbeda (musim penghujan pada bulan Maret - 

pertengahan April dan musim kemarau pada pertengahan April – bulan Mei). Waktu sampling 

dilaksanakan dalam rentang waktu ± 2 minggu sekali. 

Luas area penelitian berjarak ± 5,75 km (pembulatan menjadi 6 km) dan dibagi ke 

dalam 3 stasiun dengan jarak antar stasiun yakni ± 2 km. Dalam satu stasiun dibagi menjadi 3 

titik dimana jarak antar satu titik dengan titik lainnya yakni ± 700 m. Stasiun pertama dan 

kedua berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Jagir Wonokromo sementara stasiun 3 

merupakan daerah muara (estuari percampuran antara air tawar dengan air laut) dengan jarak 

pengambilan sampel di muara yakni di bagian tengah muara, 500 m ke arah utara dari tengah 

muara, dan 500 m ke arah selatan dari tengah muara. 

Sampling dilakukan dengan metode direct random sampling pada sekitar lokasi 

penelitian pada saat air dalam keadaan surut. Semua spesies makrozoobentos yang ditemukan 

(yang masih hidup) di ambil di bagian jaringannya untuk dianalisis kandungan logam berat. 

Sementara itu, cangkang dikumpulkan dalam tempat yang berbeda untuk digunakan sebagai 

bahan identifikasi dan pengukuran biometrik (khusus untuk spesies tertentu). Identifikasi 

sampel makrozoobentos (Filum Mollusca)  menggunakan bantuan buku-buku identifikasi dari 

Tan & Ng (2001), Ng & Sivasothi (2002), dan Dharma (2005). 

 

 



 


 

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII 

Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013

                       

 

ISBN : 978-602-97491-7-5 

D-14-3


 

24

26



28

30

32



34

S

u

h

u

(

O

C

)

Stasiun ‐ Titik

Data Suhu

Suhu Data 1

Suhu Data 2

Suhu Data 3

Suhu Data 4

± 

± 



1

5

4

6

8

3

7

9

2

 

 



 

 

 

 

 

 

 



 

 

 



 

 

 



 

 

 



 

 

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN 

 

Penelitian ini mengambil beberapa parameter fisik kimia yang meliputi suhu 

(temperatur), oksigen terlarut (DO), pH, kecerahan, kekeruhan, dan COD. Sampling 

dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) – muara Hutan Mangrove Sungai Wonorejo 

sebanyak 4 kali pengambilan data yakni pengambilan data ke-1 (tanggal 29 Maret 2013), 

pengambilan data ke-2 (tanggal 10 April 2013), pengambilan data ke-3 (tanggal 28 - 29 April 

2013), serta pengambilan data ke-4 (tanggal 11 Mei 2013) di 9 titik sampling yang telah 

ditentukan. Hasil penelitian untuk parameter suhu (temperatur) ditampilkan pada Gambar 2. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2 Grafik Nilai Suhu (temperatur) 

 

Secara umum nilai suhu dalam 4 kali sampling menunjukkan nilai yang konstan 



(dalam  range nilai antara 27 – 31 °C) tanpa adanya nilai yang berbeda secara signifikan 

sehingga berada dalam kisaran suhu lingkungan normal. Suhu memiliki peran yang sangat 

penting terhadap kehidupan di dalam air. Meningkatnya laju metabolisme menyebabkan 



 

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII 

Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013

                       

 

ISBN : 978-602-97491-7-5 

D-14-4


 

0

1



2

3

4



5

D

O

(

p

p

m

)

Stasiun ‐ Titik

Data DO

DO Data 1

DO Data 2

DO Data 3

DO Data 4

6

6.5



7

7.5


8

8.5


p

H

A

i

r

Stasiun ‐ Titik

Data pH Air 

pH Air Data 1

pH Air Data 2

pH Air Data 3

pH Air Data 4

kebutuhan oksigen meningkat, sementara naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan 

oksigen dalam air menurun sehingga menyebabkan organisme air mengalami kesulitan untuk 

berespirasi. Hasil penelitian parameter oksigen terlarut (DO) ditampilkan pada Gambar 3. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 3 Grafik Nilai DO 

 

Secara umum nilai DO dalam 4 kali sampling menunjukkan nilai yang konstan akan 



tetapi terdapat satu nilai DO yang jauh di bawah nilai rata-rata yakni pada saat pengambilan 

data ke-1 dan ke-2 dimana nilai DO di stasiun III – 500 m selatan yakni 2,45 ppm dan 2,58 

ppm. Sumber utama DO dalam perairan adalah dari proses fotosintesis tumbuhan dan 

penyerapan/pengikatan secara langsung oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan 

air dengan udara. 

Nilai pH menyatakan konsentrasi ion hidrogen (H

+

) dalam larutan/didefinisikan 



sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen yang secara matematis dinyatakan 

dengan persamaan pH = log 1/H

+

. Hasil penelitian untuk parameter pH air ditampilkan pada 



Gambar 4. 

 

 



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 4 Grafik Nilai pH Air 

 

Secara umum nilai pH air dalam 4 kali sampling menunjukkan nilai yang konstan 

(dalam range nilai antara 6,8 - 8) tanpa adanya nilai yang berbeda secara signifikan sehingga 

berada dalam kisaran pH netral. Dalam air yang bersih, jumlah konsentrasi ion H

+

 dan OH


-

 

berada dalam keseimbangan atau dikenal dengan pH = 7. Peningkatan ion hidrogen akan 



menyebabkan nilai pH turun dan disebut sebagai larutan asam. 

Penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan akan mempengaruhi produktifitas primer 

dimana kedalamannya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat kekeruhan 



 

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII 

Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013

                       

 

ISBN : 978-602-97491-7-5 

D-14-5


 

0

5



10

15

20



25

30

K



e

c

e

r

a

h

a

n

(

c

m

)

Stasiun ‐ Titik

Data Kecerahan

Kecerahan Data 1

Kecerahan Data 2

Kecerahan Data 3

Kecerahan Data 4

0

20



40

60

80



K

e

k

e

r

u

h

a

n

Stasiun ‐ Titik

Data Kekeruhan

Kekeruhan Data 1

Kekeruhan Data 2

Kekeruhan Data 3

Kekeruhan Data 4

perairan, sudut datang cahaya matahari, dan intensitas cahaya matahari. Hasil penelitian untuk 

parameter kecerahan/penetrasi cahaya ditampilkan pada Gambar 5. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 5 Grafik Nilai Kecerahan 

 

Dari grafik dapat dilihat bahwa secara umum nilai kecerahan (penetrasi cahaya) dalam 

4 kali sampling menunjukkan nilai yang konstan (dalam range nilai antara 10 – 28 cm) tanpa 

adanya nilai yang berbeda secara signifikan. Bagi organisme perairan, intensitas cahaya 

matahari yang masuk berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan 

organisme pada habitatnya. 

Kekeruhan/turbiditas adalah banyaknya jumlah partikel tersuspensi di dalam air. 

Turbiditas pada ekositem perairan sangat berhubungan dengan kedalaman, kecepatan arus, 

tipe substrat dasar, dan suhu perairan. Hasil penelitian untuk parameter kekeruhan ditampilkan 

pada Gambar 6. 

 

 

 



 

 

 



 

 

 

 

 

 



 

Gambar 6 Grafik Nilai Kekeruhan 

 

 



Secara umum nilai kekeruhan dalam 4 kali sampling menunjukkan nilai yang konstan. 

Stasiun III – 500 m selatan (muara) merupakan titik sampling yang memiliki nilai kekeruhan 

tertinggi dari 9 titik dikarenakan pada saat pengambilan data di lokasi tersebut dalam keadaan 

menjelang pasang sehingga banyak substrat sedimen yang ikut larut dalam pengambilan air 

sampel uji. Secara umum lokasi sampling di muara memiliki nilai kekeruhan yang lebih tinggi 

daripada di daerah aliran sungai (DAS), dikarenakan proses pasang surut di muara terjadi 

lebih cepat.  



 

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII 

Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013

                       

 

ISBN : 978-602-97491-7-5 

D-14-6


 

0

10



20

30

40



50

60

70



C

O

D

(

m

g

/

l)

Stasiun ‐ Titik

Data COD

COD Data 1

COD Data 2

COD Data 3

COD Data 4

0.00


5.00

10.00


15.00

20.00


25.00

N

i

l

a

i

C

u

Stasiun ‐ Titik

Cu pada Sedimen

Cu sedimen 1

Cu Sedimen 2

Cu Sedimen 3

Cu sedimen 4

 Nilai 


COD 

(Chemical Oxygen Demand) menunjukan jumlah oksigen total

 

yang 


dibutuhkan di dalam perairan untuk mengoksidasi senyawa organik baik yang

 

mudah 



diuraikan secara biologis maupun yang sulit/tidak bisa diuraikan secara

 

biologis. Hasil 



penelitian untuk parameter COD ditampilkan pada Gambar 7. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 7 Grafik Nilai COD 

 

Dari grafik dapat dilihat bahwa secara umum nilai COD rata-rata bernilai 

tetap/konstan (dalam range nilai antara 10 – 64 mg/l) pada empat kali sampling data yang 

telah dilakukan. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh jumlah nilai Oksigen 

yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik itu yang mudah 

diuraikan secara biologis maupun yang sulit diuraikan secara biologis (Barus, 2004). 

Hasil analisa logam berat tembaga (Cu) pada sedimen dan makrozoobentos yang telah 

dilakukan selama 4 kali pengambilan data didapatkan hasil seperti pada Gambar 8 dan 9 ini. 

 

 

 



 

 

 



 

 

 



 

 

 

 

 



 

 

Gambar 8 Grafik Nilai Cu Pada Sedimen 

 

 

 

 


 

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII 

Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013

                       

 

ISBN : 978-602-97491-7-5 

D-14-7


 

0

5



10

15

20



25

30

35



40

45

50



55

60

65



70

N

i

l

a

i

C

u

Stasiun ‐ Titik

Cu pada Bentos

Cu Bentos 1

Cu Bentos 2

Cu Bentos 3

Cu bentos 4

 

 



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 9 Grafik Nilai Cu Pada Makrozoobentos 

 

Dari gambar grafik di atas, tidak dapat menunjukkan gambaran (trend) yang jelas 



untuk hasil analisa nilai Cu baik itu yang terakumulasi pada sedimen maupun pada bentos. 

Sebagai salah satu penyebabnya mungkin saja pada saat antar waktu pengambilan kondisi 

cuaca sebelum pengambilan data berbeda-beda sehingga analisa hasil yang diharapkan tidak 

tercapai. Sebagai contoh, hasil rata-rata nilai Cu di pengambilan data ke-2 lebih tinggi 

daripada saat pengambilan data ke-3. Hal tersebut mungkin saja dapat disebabkan pada saat 

pengambilan data ke-3 kondisi sungai mendapatkan tambahan debit air dari curah hujan yang 

berada daerah hulu sehingga debit air permukaan di Sungai Wonorejo menjadi lebih tinggi 

dan kandungan logam berat yang telah masuk ke aliran sungai menjadi tergerus sehingga hasil 

pembacaan analisa nilai logam beratnya menjadi lebih kecil.  

Dari keempat pengambilan data didapatkan hasil bahwa gambaran nilai akumulasi Cu 

di sedimen dan di bentos memiliki nilai tertinggi pada pengambilan ke-2. Hal ini dapat 

diartikan bahwa kondisi perairan sungai pada saat waktu tersebut mengalami penurunan 

kualitas dibandingkan dengan waktu pengambilan data yang lain jika dikaitkan dengan nilai 

akumulasi logam berat Cu di sedimen dan di bentos. Penyebab menurunnya kualitas ini 

dimungkinkan antara lain karena adanya tambahan masukan beban pencemar dari wilayah 

hulu. 


Nilai Cu yang terakumulasi pada sedimen maupun pada bentos secara umum tidak 

dapat mendeskripsikan bahwa salah satu diantara keduanya dapat lebih optimal dalam 

mengakumulasi nilai logam berat dalam hal ini adalah tembaga (Cu). Hal tersebut 

dikarenakan dari hasil data yang didapat dalam 4 kali sampling menunjukkan bahwa nilai-

nilai logam berat yang diakumulasi oleh sedimen dan bentos relatif sama. 

Masing-masing bentos memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap kondisi ekologi 

sejalan dengan seberapa jauh keberhasilannya mengembangkan mekanisme adaptasi. Hal 

tersebut memungkinkan faktor-faktor ekologik mengatur komposisi dan ukuran komunitas 

bentik. Dalam menghadapi perubahan kondisi lingkungan di habitatnya, bentik telah 

mengembangkan berbagai bentuk adaptasi morfologi. Adaptasi morfologi yang dimaksud 

adalah adaptasi ukuran tubuh, adaptasi bentuk tubuh, penyederhanaan organ dan memperkuat 

dinding tubuh serta mengembangkan alat pelekat. 



 

 

 

 


 

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII 

Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013

                       

 

ISBN : 978-602-97491-7-5 

D-14-8


 

KESIMPULAN DAN SARAN 

 

Dari analisa hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan, 



yakni hasil analisa nilai kandungan logam berat Cu pada makrozoobentos yang ditemukan 

menunjukkan hasil yang tidak merata di masing-masing stasiun titik pengambilan data. Nilai 

kandungan logam berat Cu pada sedimen menunjukkan hasil akumulasi tertinggi pada saat 

waktu pengambilan data kedua. Ditemukan sebanyak 19 jenis Mollusca makrozoobentos yang 

terdiri atas 15 jenis spesies Gastropoda dan 4 jenis spesies Bivalvia. Keanekaragaman 

makrozoobentos berpotensi sebagai metoda alternatif monitoring kualitas lingkungan. Dengan 

mengetahui tingkat keanekaragaman makrozoobentos (moluska), dapat diketahui kondisi 

lingkungannya sebagai habitat makrozoobentos itu sendiri. 

Saran yang dapat diberikan terkait dengan penelitian ini, yakni dilakukan penelitian 

lanjutan untuk meneliti aspek fisiologi biota (makrozoobentos) dan sensivitasnya terhadap 

parameter lingkungan. Selain itu, kebutuhan akan Peraturan Pemerintah tentang baku mutu 

sedimen untuk biota indikator air tawar, estuari, dan laut sudah sangat diperlukan untuk 

pengelolaan lingkungan. 

 

DAFTAR PUSTAKA 

 

Anwar, D. (1996). Kandungan Logam Berat Cu dan Hg dalam Eritrosit Warga Kenjeran

Fakultas Kesehatan Masyarakat Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya. 

Arisandi. P. (2001). Mangrove Jenis Api-api (Avicennia marina) Alternatif Pengendalian 



Logam Berat Pesisir. Laporan Penelitian Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan 

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga, Surabaya. 

Dharma, Bunjamin. (2005). Recent & Fossil Indonesian Shells. Conchbooks, Hackenheim, 

Germany. 

Marganof. (2003). Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, 

Kadmium, dan Tembaga) di perairan. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, 

Bogor. 


Nybakken, J. W. (1992). Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia, Jakarta. 

Ng, Peter K. L dan Sivasothi, N. (2002). A Guide to the Mangroves of Singapore II. Singapore 

Science Centre, Singapore. 

Sivasothi, N and Ng K. L. Peter. (2002). A Guide To The Mangroves Of Singapore II (Animal 



Diversity). Singapore Science Centre, Singapura. 

Trihadiningrum, Y. (2003). Makroinvertebrata sebagai bioindikator pencemaran badan air 



tawar di Indonesia: Siapkah kita?, Jurnal Lingkungan & Pembangunan volume 18(1) 

hal 45 – 60. 

Yüklə 89,5 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə