Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
ISBN : 978-602-97491-7-5
D-14-1
KAJIAN POTENSI MAKROZOOBENTOS SEBAGAI BIOINDIKATOR
PENCEMARAN LOGAM BERAT TEMBAGA (Cu) DI KAWASAN
EKOSISTEM MANGROVE WONOREJO PANTAI TIMUR SURABAYA
Mardian Anugrah Hadiputra
1 ,*)
, Alia Damayanti
1)
1)
Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember
*
)
e-mail: mardi_myung@yahoo.com
ABSTRAK
Aktivitas manusia yang semakin bertambah di berbagai sektor kehidupan mengakibatkan
bertambahnya kuantitas limbah di perairan yang berpotensi membahayakan perkembangan
organisme di perairan tersebut. Makrozoobentos merupakan hewan yang hidup di dasar
perairan dan dijadikan sebagai bioindikator kualitas suatu perairan karena habitat hidupnya
relatif menetap. Tembaga (Cu) dalam konsentrasi tinggi atau rendah bersifat sangat toksik jika
berada sebagai satu-satunya unsur dalam larutan. Di perairan estuari Pantai Timur Surabaya
bermuara empat sungai besar di antaranya Kali Wonokromo dan Kali Wonorejo dimana
sungai-sungai tersebut membawa limbah padat dan cair dari industri maupun rumah tangga
yang akan menumpuk dan mencemari perairan estuari. Penelitian bertujuan menganalisis jenis
makrozoobentos Filum Mollusca yang berpotensi sebagai bioindikator pencemaran logam
berat serta mengkaji tingkat konsentrasi pencemaran logam berat Tembaga (Cu) di
makrozoobentos maupun di sedimen ekosistem Mangrove Wonorejo Pantai Timur Surabaya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa ditemukan 19 jenis spesies makrozoobentos filum
Mollusca (15 kelas Gastropoda dan 4 kelas Bivalvia). Nilai kandungan Cu pada bentos di
masing-masing titik menunjukkan hasil yang tidak merata sedangkan nilai kandungan Cu
pada sedimen menunjukkan hasil akumulasi tertinggi pada pengambilan data kedua.
Keanekaragaman makrozoobentos berpotensi sebagai metoda alternatif monitoring kualitas
lingkungan. Dengan mengetahui tingkat keanekaragaman makrozoobentos, dapat diketahui
kondisi lingkungannya sebagai habitat makrozoobentos itu sendiri.
Kata kunci: Makrozoobentos, Bioindikator, Logam berat, Tembaga (Cu), Mangrove,
Wonorejo
PENDAHULUAN
Limbah bahan pencemar yang dihasilkan dari aktivitas kegiatan manusia sehari-hari
berpotensi membahayakan kehidupan perairan darat maupun laut dan secara khusus dapat
menganggu perkembangan organisme di perairan tersebut. Aktivitas manusia yang semakin
bertambah di berbagai sektor kehidupan mengakibatkan tekanan lingkungan terhadap perairan
semakin meningkat, sehingga suatu ketika dapat melampaui keseimbangan air laut yang
mengakibatkan sistem perairan menjadi tercemar
.
Makrozoobentos merupakan bagian dari
makroinvertebarata yang hidup di dasar perairan (Trihadiningrum, 2003). Makrozoobentos
dapat dijadikan sebagai bioindikator kualitas di suatu perairan karena habitat hidupnya yang
cenderung relatif menetap. Kelompok makrozoobentos yang relatif dominan di ekosistem
mangrove adalah Mollusca, udang-udangan, serta ikan-ikan khas. Gastropoda dan Bivalvia
merupakan golongan Mollusca yang paling dominan terdapat di mangrove. Mollusca
menghabiskan seluruh hidupnya di kawasan tersebut sehingga apabila terjadi pencemaran
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
ISBN : 978-602-97491-7-5
D-14-2
lingkungan maka tubuh Mollusca akan terpapar oleh bahan pencemar dan terjadi penimbunan
atau terakumulasi (Nybakken, 1992).
Logam berat yang masuk di dalam suatu perairan akan sangat berbahaya baik efek
secara langsung terhadap biota organisme yang terdapat didalamnya maupun secara tidak
langsung dalam jangka panjang terhadap kesehatan manusia. Hal tersebut berkaitan dengan
sifat logam berat yang sulit untuk didegradasi sehingga mudah terakumulasi dalam
lingkungan perairan dan secara alami keberadaannya akan sulit untuk terurai (hilang) lalu
terakumulasi di dalam biota/organisme dan akan mengancam kesehatan manusia sebagai
konsumen terakhir yang mengkonsumsi biota/organisme tersebut (Marganof, 2003).
Wilayah Pantai Timur Surabaya merupakan bentang alam yang relatif datar dengan
kemiringan 0-3
o
serta rata-rata ketinggian pasang surut kurang lebih 1,67 meter (Arisandi,
2001). Logam berat merupakan salah satu cemaran yang terdapat di Pantai Timur Surabaya.
Menurut Anwar (1996), wilayah Pantai Timur Surabaya telah tercemar oleh logam berat
tembaga (Cu) serta merkuri (Hg). Kualitas kehidupan biota lumpur (makrozoobentos)
menunjukkan klasifikasi tercemar berat di bagian utara Pantai Timur Surabaya dan tercemar
ringan di bagian selatan, kecuali bagian litoral Muara Sungai Kali Wonokromo dan Kali
Kenjeran yang termasuk dalam kategori tercemar berat.
Tujuan penelitian adalah menganalisis jenis makrozoobentos Filum Mollusca yang
berpotensi sebagai bioindikator pencemaran logam berat serta mengkaji tingkat konsentrasi
pencemaran logam berat Tembaga (Cu) di makrozoobentos maupun di sedimen ekosistem
Mangrove Wonorejo Pantai Timur Surabaya.
METODE
Lokasi penelitian berada di wilayah Pantai Timur Surabaya yang difokuskan pada
Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Jagir Wonokromo serta Hutan Mangrove Wonorejo di
muara Kali Jagir Wonokromo. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 3 titik sampling di 3
stasiun yang berbeda sehingga akan didapatkan total sebanyak 9 analisis sampel dalam satu
kali sampling. Sampling dilakukan 4 kali antara bulan Maret - Mei 2013 sebagai representatif
pengambilan sampel di musim yang berbeda (musim penghujan pada bulan Maret -
pertengahan April dan musim kemarau pada pertengahan April – bulan Mei). Waktu sampling
dilaksanakan dalam rentang waktu ± 2 minggu sekali.
Luas area penelitian berjarak ± 5,75 km (pembulatan menjadi 6 km) dan dibagi ke
dalam 3 stasiun dengan jarak antar stasiun yakni ± 2 km. Dalam satu stasiun dibagi menjadi 3
titik dimana jarak antar satu titik dengan titik lainnya yakni ± 700 m. Stasiun pertama dan
kedua berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Jagir Wonokromo sementara stasiun 3
merupakan daerah muara (estuari percampuran antara air tawar dengan air laut) dengan jarak
pengambilan sampel di muara yakni di bagian tengah muara, 500 m ke arah utara dari tengah
muara, dan 500 m ke arah selatan dari tengah muara.
Sampling dilakukan dengan metode direct random sampling pada sekitar lokasi
penelitian pada saat air dalam keadaan surut. Semua spesies makrozoobentos yang ditemukan
(yang masih hidup) di ambil di bagian jaringannya untuk dianalisis kandungan logam berat.
Sementara itu, cangkang dikumpulkan dalam tempat yang berbeda untuk digunakan sebagai
bahan identifikasi dan pengukuran biometrik (khusus untuk spesies tertentu). Identifikasi
sampel makrozoobentos (Filum Mollusca) menggunakan bantuan buku-buku identifikasi dari
Tan & Ng (2001), Ng & Sivasothi (2002), dan Dharma (2005).
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
ISBN : 978-602-97491-7-5
D-14-3
24
26
28
30
32
34
S
u
h
u
(
O
C
)
Stasiun ‐ Titik
Data Suhu
Suhu Data 1
Suhu Data 2
Suhu Data 3
Suhu Data 4
±
±
1
5
4
6
8
3
7
9
2
Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini mengambil beberapa parameter fisik kimia yang meliputi suhu
(temperatur), oksigen terlarut (DO), pH, kecerahan, kekeruhan, dan COD. Sampling
dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) – muara Hutan Mangrove Sungai Wonorejo
sebanyak 4 kali pengambilan data yakni pengambilan data ke-1 (tanggal 29 Maret 2013),
pengambilan data ke-2 (tanggal 10 April 2013), pengambilan data ke-3 (tanggal 28 - 29 April
2013), serta pengambilan data ke-4 (tanggal 11 Mei 2013) di 9 titik sampling yang telah
ditentukan. Hasil penelitian untuk parameter suhu (temperatur) ditampilkan pada Gambar 2.
Gambar 2 Grafik Nilai Suhu (temperatur)
Secara umum nilai suhu dalam 4 kali sampling menunjukkan nilai yang konstan
(dalam range nilai antara 27 – 31 °C) tanpa adanya nilai yang berbeda secara signifikan
sehingga berada dalam kisaran suhu lingkungan normal. Suhu memiliki peran yang sangat
penting terhadap kehidupan di dalam air. Meningkatnya laju metabolisme menyebabkan
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
ISBN : 978-602-97491-7-5
D-14-4
0
1
2
3
4
5
D
O
(
p
p
m
)
Stasiun ‐ Titik
Data DO
DO Data 1
DO Data 2
DO Data 3
DO Data 4
6
6.5
7
7.5
8
8.5
p
H
A
i
r
Stasiun ‐ Titik
Data pH Air
pH Air Data 1
pH Air Data 2
pH Air Data 3
pH Air Data 4
kebutuhan oksigen meningkat, sementara naiknya temperatur akan menyebabkan kelarutan
oksigen dalam air menurun sehingga menyebabkan organisme air mengalami kesulitan untuk
berespirasi. Hasil penelitian parameter oksigen terlarut (DO) ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Grafik Nilai DO
Secara umum nilai DO dalam 4 kali sampling menunjukkan nilai yang konstan akan
tetapi terdapat satu nilai DO yang jauh di bawah nilai rata-rata yakni pada saat pengambilan
data ke-1 dan ke-2 dimana nilai DO di stasiun III – 500 m selatan yakni 2,45 ppm dan 2,58
ppm. Sumber utama DO dalam perairan adalah dari proses fotosintesis tumbuhan dan
penyerapan/pengikatan secara langsung oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan
air dengan udara.
Nilai pH menyatakan konsentrasi ion hidrogen (H
+
) dalam larutan/didefinisikan
sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen yang secara matematis dinyatakan
dengan persamaan pH = log 1/H
+
. Hasil penelitian untuk parameter pH air ditampilkan pada
Gambar 4.
Gambar 4 Grafik Nilai pH Air
Secara umum nilai pH air dalam 4 kali sampling menunjukkan nilai yang konstan
(dalam range nilai antara 6,8 - 8) tanpa adanya nilai yang berbeda secara signifikan sehingga
berada dalam kisaran pH netral. Dalam air yang bersih, jumlah konsentrasi ion H
+
dan OH
-
berada dalam keseimbangan atau dikenal dengan pH = 7. Peningkatan ion hidrogen akan
menyebabkan nilai pH turun dan disebut sebagai larutan asam.
Penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan akan mempengaruhi produktifitas primer
dimana kedalamannya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat kekeruhan
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
ISBN : 978-602-97491-7-5
D-14-5
0
5
10
15
20
25
30
K
e
c
e
r
a
h
a
n
(
c
m
)
Stasiun ‐ Titik
Data Kecerahan
Kecerahan Data 1
Kecerahan Data 2
Kecerahan Data 3
Kecerahan Data 4
0
20
40
60
80
K
e
k
e
r
u
h
a
n
Stasiun ‐ Titik
Data Kekeruhan
Kekeruhan Data 1
Kekeruhan Data 2
Kekeruhan Data 3
Kekeruhan Data 4
perairan, sudut datang cahaya matahari, dan intensitas cahaya matahari. Hasil penelitian untuk
parameter kecerahan/penetrasi cahaya ditampilkan pada Gambar 5.
Gambar 5 Grafik Nilai Kecerahan
Dari grafik dapat dilihat bahwa secara umum nilai kecerahan (penetrasi cahaya) dalam
4 kali sampling menunjukkan nilai yang konstan (dalam range nilai antara 10 – 28 cm) tanpa
adanya nilai yang berbeda secara signifikan. Bagi organisme perairan, intensitas cahaya
matahari yang masuk berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan
organisme pada habitatnya.
Kekeruhan/turbiditas adalah banyaknya jumlah partikel tersuspensi di dalam air.
Turbiditas pada ekositem perairan sangat berhubungan dengan kedalaman, kecepatan arus,
tipe substrat dasar, dan suhu perairan. Hasil penelitian untuk parameter kekeruhan ditampilkan
pada Gambar 6.
Gambar 6 Grafik Nilai Kekeruhan
Secara umum nilai kekeruhan dalam 4 kali sampling menunjukkan nilai yang konstan.
Stasiun III – 500 m selatan (muara) merupakan titik sampling yang memiliki nilai kekeruhan
tertinggi dari 9 titik dikarenakan pada saat pengambilan data di lokasi tersebut dalam keadaan
menjelang pasang sehingga banyak substrat sedimen yang ikut larut dalam pengambilan air
sampel uji. Secara umum lokasi sampling di muara memiliki nilai kekeruhan yang lebih tinggi
daripada di daerah aliran sungai (DAS), dikarenakan proses pasang surut di muara terjadi
lebih cepat.
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
ISBN : 978-602-97491-7-5
D-14-6
0
10
20
30
40
50
60
70
C
O
D
(
m
g
/
l)
Stasiun ‐ Titik
Data COD
COD Data 1
COD Data 2
COD Data 3
COD Data 4
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
N
i
l
a
i
C
u
Stasiun ‐ Titik
Cu pada Sedimen
Cu sedimen 1
Cu Sedimen 2
Cu Sedimen 3
Cu sedimen 4
Nilai
COD
(Chemical Oxygen Demand) menunjukan jumlah oksigen total
yang
dibutuhkan di dalam perairan untuk mengoksidasi senyawa organik baik yang
mudah
diuraikan secara biologis maupun yang sulit/tidak bisa diuraikan secara
biologis. Hasil
penelitian untuk parameter COD ditampilkan pada Gambar 7.
Gambar 7 Grafik Nilai COD
Dari grafik dapat dilihat bahwa secara umum nilai COD rata-rata bernilai
tetap/konstan (dalam range nilai antara 10 – 64 mg/l) pada empat kali sampling data yang
telah dilakukan. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh jumlah nilai Oksigen
yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik itu yang mudah
diuraikan secara biologis maupun yang sulit diuraikan secara biologis (Barus, 2004).
Hasil analisa logam berat tembaga (Cu) pada sedimen dan makrozoobentos yang telah
dilakukan selama 4 kali pengambilan data didapatkan hasil seperti pada Gambar 8 dan 9 ini.
Gambar 8 Grafik Nilai Cu Pada Sedimen
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
ISBN : 978-602-97491-7-5
D-14-7
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
N
i
l
a
i
C
u
Stasiun ‐ Titik
Cu pada Bentos
Cu Bentos 1
Cu Bentos 2
Cu Bentos 3
Cu bentos 4
Gambar 9 Grafik Nilai Cu Pada Makrozoobentos
Dari gambar grafik di atas, tidak dapat menunjukkan gambaran (trend) yang jelas
untuk hasil analisa nilai Cu baik itu yang terakumulasi pada sedimen maupun pada bentos.
Sebagai salah satu penyebabnya mungkin saja pada saat antar waktu pengambilan kondisi
cuaca sebelum pengambilan data berbeda-beda sehingga analisa hasil yang diharapkan tidak
tercapai. Sebagai contoh, hasil rata-rata nilai Cu di pengambilan data ke-2 lebih tinggi
daripada saat pengambilan data ke-3. Hal tersebut mungkin saja dapat disebabkan pada saat
pengambilan data ke-3 kondisi sungai mendapatkan tambahan debit air dari curah hujan yang
berada daerah hulu sehingga debit air permukaan di Sungai Wonorejo menjadi lebih tinggi
dan kandungan logam berat yang telah masuk ke aliran sungai menjadi tergerus sehingga hasil
pembacaan analisa nilai logam beratnya menjadi lebih kecil.
Dari keempat pengambilan data didapatkan hasil bahwa gambaran nilai akumulasi Cu
di sedimen dan di bentos memiliki nilai tertinggi pada pengambilan ke-2. Hal ini dapat
diartikan bahwa kondisi perairan sungai pada saat waktu tersebut mengalami penurunan
kualitas dibandingkan dengan waktu pengambilan data yang lain jika dikaitkan dengan nilai
akumulasi logam berat Cu di sedimen dan di bentos. Penyebab menurunnya kualitas ini
dimungkinkan antara lain karena adanya tambahan masukan beban pencemar dari wilayah
hulu.
Nilai Cu yang terakumulasi pada sedimen maupun pada bentos secara umum tidak
dapat mendeskripsikan bahwa salah satu diantara keduanya dapat lebih optimal dalam
mengakumulasi nilai logam berat dalam hal ini adalah tembaga (Cu). Hal tersebut
dikarenakan dari hasil data yang didapat dalam 4 kali sampling menunjukkan bahwa nilai-
nilai logam berat yang diakumulasi oleh sedimen dan bentos relatif sama.
Masing-masing bentos memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap kondisi ekologi
sejalan dengan seberapa jauh keberhasilannya mengembangkan mekanisme adaptasi. Hal
tersebut memungkinkan faktor-faktor ekologik mengatur komposisi dan ukuran komunitas
bentik. Dalam menghadapi perubahan kondisi lingkungan di habitatnya, bentik telah
mengembangkan berbagai bentuk adaptasi morfologi. Adaptasi morfologi yang dimaksud
adalah adaptasi ukuran tubuh, adaptasi bentuk tubuh, penyederhanaan organ dan memperkuat
dinding tubuh serta mengembangkan alat pelekat.
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013
ISBN : 978-602-97491-7-5
D-14-8
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari analisa hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan,
yakni hasil analisa nilai kandungan logam berat Cu pada makrozoobentos yang ditemukan
menunjukkan hasil yang tidak merata di masing-masing stasiun titik pengambilan data. Nilai
kandungan logam berat Cu pada sedimen menunjukkan hasil akumulasi tertinggi pada saat
waktu pengambilan data kedua. Ditemukan sebanyak 19 jenis Mollusca makrozoobentos yang
terdiri atas 15 jenis spesies Gastropoda dan 4 jenis spesies Bivalvia. Keanekaragaman
makrozoobentos berpotensi sebagai metoda alternatif monitoring kualitas lingkungan. Dengan
mengetahui tingkat keanekaragaman makrozoobentos (moluska), dapat diketahui kondisi
lingkungannya sebagai habitat makrozoobentos itu sendiri.
Saran yang dapat diberikan terkait dengan penelitian ini, yakni dilakukan penelitian
lanjutan untuk meneliti aspek fisiologi biota (makrozoobentos) dan sensivitasnya terhadap
parameter lingkungan. Selain itu, kebutuhan akan Peraturan Pemerintah tentang baku mutu
sedimen untuk biota indikator air tawar, estuari, dan laut sudah sangat diperlukan untuk
pengelolaan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, D. (1996). Kandungan Logam Berat Cu dan Hg dalam Eritrosit Warga Kenjeran.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
Arisandi. P. (2001). Mangrove Jenis Api-api (Avicennia marina) Alternatif Pengendalian
Logam Berat Pesisir. Laporan Penelitian Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga, Surabaya.
Dharma, Bunjamin. (2005). Recent & Fossil Indonesian Shells. Conchbooks, Hackenheim,
Germany.
Marganof. (2003). Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
Kadmium, dan Tembaga) di perairan. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Nybakken, J. W. (1992). Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia, Jakarta.
Ng, Peter K. L dan Sivasothi, N. (2002). A Guide to the Mangroves of Singapore II. Singapore
Science Centre, Singapore.
Sivasothi, N and Ng K. L. Peter. (2002). A Guide To The Mangroves Of Singapore II (Animal
Diversity). Singapore Science Centre, Singapura.
Trihadiningrum, Y. (2003). Makroinvertebrata sebagai bioindikator pencemaran badan air
tawar di Indonesia: Siapkah kita?, Jurnal Lingkungan & Pembangunan volume 18(1)
hal 45 – 60.
Dostları ilə paylaş: |