Kajian Wilayah Negara-Negara Maju Anggota Negara Maju. Negara maju


Ideologi Sebagai Dasar Perekonomian Dunia



Yüklə 147 Kb.
səhifə2/4
tarix24.12.2017
ölçüsü147 Kb.
#17303
1   2   3   4

2. Ideologi Sebagai Dasar Perekonomian Dunia
Komunisme kiri maupun otoritarianisme kanan sama-sama gagal mempertahankan ideologinya. Kelemahan Negara-negara otoritarian kanan terletak pada kegagalan mereka untuk mengontrol masyarakat sipil. Sementara totalitarianisme kiri menghindari persoalan tersebut dengan mensubordinasikan seluruh elemen masyarakat sipil di bawah control mereka, termasuk apakah para wartawan Negara itu boleh berpikir.

Karena kelemahan-kelemahan ‘negara kuat’ (kominisme kiri dan otoritarianisme kanan) itulah, maka banyak negara-negara yang menerapkan sistem itu mulai membuka jalan untuk demokrasi. Ini secara politis. Selain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi. Ini misalnya terlihat dari perkembangan ekonomi yang fenomenal di Asia Timur sejak PD II. Kisah sukses ini tidak saja terjadi pada Negara-negara modern awal semisal Jepang, tetapi juga semua Negara Asia yang bersedia mengadopsi prinsi-prinsip pasar dan mereka sepenuhnya mengintegrasikan dengan sistem ekonomi global-kapitalis. Sejak itu, slogan privatisasi dan perdagangan bebas menggantikan slogan nasionalisasi dan substitusi impor. Di sinilah tampak bahwa krisis yang terjadi pada otoritarianisme dan sosialisme hanya menyisakan satu pesaing tangguhnya, yaitu demokrasi liberal.

Liberalisme dan demokrasi sebenarnya merupakan konsep-konsep yang berbeda meskipun antara keduanya ada keterkaitan yang erat. Liberalisme politik secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu aturan hukum yang mengakui hak-hak tertentu individu atau kebebasan dari kontrol pemerintah.Sedangkan demokrasi, sebagai mana dalam definisi Lord Bryce menyebutkan setidaknya tiga elemen mendasar dalam demokrasi, yaitu: hak-hak sipil hak-hak beragam, dan hak-hak politik. Dengan demikian, untuk menilai Negara manakah yang layak disebut demokratis, yaitu ketika Negara memberikan kepada rakyatnya hak untuk memilih pemerintah sendiri melalui pemilihan secara periodik, bebas, dan rahasia, menggunakan sistem multi partai, atas dasar hak pilih orang dewasa yang sederajat.

Dalam manifestasi ekonominya, liberalisme adalah pengakuan terhadap hak-hak untuk melakukan aktivitas ekonomi bebas dan pertukaran ekonomi berdasarkan kepemilikan pribadi dan pasar. Singkatnya adalah ekonomi pasar bebas, sebagai istilah lain dari kapitalisme yang belakangan istilah ini dikonotasikan secara pejorative.

Meskipun keduanya (demokrasi dan liberalisme) terkait erat, namun mungkin saja sebuah Negara itu menjadi liberal tanpa secara parikular menjadi demokratis. Dalam konteks ini, Inggris pada abad ke-18 dapat dijadikan contoh. Di Inggris saat itu, hak-hak warga Negara, termasuk hak suara sepenuhnya dilindungi untuk kepentingan sempit para elit. Begitu pula sebaliknya, mungkin saja Negara menjadi demokratis tanpa harus menjadi liberal. Negara Republik Islam Iran dapat dikategorikan dalam jenis ini. Republik Islam Iran ini benar-benar telah menyelenggarakan pemilihan-pemilihan regular yang benar-benar fair dan membentuk Negara yang demokratis. Namun Negara ini jauh dari kesan liberal karena di sana tidak ada jaminan terhadap kebebasan berbicara, pertemuan, apalagi kebebasan beragama.

Islam, sebagaimana liberalisme dan komunisme, yang juga memiliki ideologi yang sistematik dan koheren. Dan di sebagian besar dunia Islam, Islam benar-benar telah berhasil mengalahkan demokrasi liberal dan memposisikan dirinya sebagai ancaman terhadap prakti-praktik liberal bahkan di Negara di mana Islam tidak memiliki kekuasaan politik secara langsung. Paska berakhirnya perang dingin, Islam tampil sebagai tantangan terhadap Barat, sebuah tesis yang kemudian dikukuhkan oleh Huntington dalam clash of civilization-nya. Meskipun demikian, dunia Islam akan tampak lebih mudah diserang ide-ide liberal dalam jangka panjang ketimbang sebaliknya. Karena tampaknya ide-ide liberal lebih memikat para pengikut Islam sepanjang satu setengah abad yang lalu. Sebagai reaksinya adalah lahirnya apa yang kemudian disebut fundamentalisme.

Dari pengalaman rezim-rezim pemerintahan dalam perjalanan sejarah manusia, dari pemerintahan monarki dan aristokrasi, teokrasi religius, hingga pemerintahan diktator fasis dan komunis abad ini, tampaknya demokrasi liberal merupakan satu-satunya rezim pemerintahan yang paling bertahan hingga akhir abad ke-20.
3. Perspektif Perekonomian Dunia
Lebih dari sepuluh tahun silam, tepatnya di tahun 1989, masyarakat politik dunia digemparkan dengan hadirnya satu artikel kontroversial bertajuk The End of History? yang dikarang oleh Francis Fukuyama. Artikel ini lantas dikembangkan menjadi satu buku utuh dan komprehensif yang mengelaborasi perkembangan masyarakat dunia dalam kurun waktu kontemporer melalui pendekatan filsafat sejarah, ia pinjam dari Hegel, yang lantas berujung pada satu kesimpulan bahwa tujuan sejarah, atau akhir sejarah, adalah masyarakat kapitalis dengan sistem politik demokrasi liberal (Fukuyama, 2004).

Lebih Lanjut, Fukuyama memaparkan bahwa runtuhnya rezim-rezim komunis di Eropa Timur dan Uni Soviet pada tahun 1989 dan 1990 yang berarti berakhirnya Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik tidak menandai apapun kecuali “titik akhir dari evolusi ideologis umat manusia”. Kondisi terakhir ini disebut Fukuyama sebagai “pertama kali terjadi dengan kehancuran total alternatif sistematis terhadap demokrasi liberal Barat”. Meski ia bersepakat dengan gagasan Daniel Bell yang menyatakan bahwa dunia akan mengalami deideologisasi, namun ia menolak ramalan Bell akan terjadinya korvergensi ideologis antara liberalisme dan sosialisme. Bagi Fukuyama, “kemenangan telak liberalisme politik dan ekonomi adalah bentuk final dari pemerintahan umat manusia” (Steger, 2005: 4).

Nuansa kemenangan yang sama juga muncul dalam pendahuluan tiga volume penelitian yang termasyhur mengenai demokrasi di negara-negara berkembang oleh Diamond, yang menyatakan bahwa demokrasi merupakan satu-satunya model pemerintahan dengan legitimasi ideologis yang luas dan cocok di dunia masa sekarang. (Ia adalah) zetgeist global baru (Abrahamsen, 2000:110).

Keyakinan Fukuyama merupakan respon yang masuk akal pada penghujung 1980-an di saat hampir semua kekuatan Marxisme-Leninisme menjemput ajal politiknya dan ia mengumandangkan gagasan inti tentang meningkatnya kekuatan pasar bebas. Sebagaimana diungkapkan Fred Dallmayr (Steger, 2005: 6) demokrasi liberal Barat dan liberalisasi ekonomi telah muncul sebagai panacea ideologis yang meyakinkan dan akan menyebar ke segala penjuru dunia.

Penguatan teoritik dan supply energi politik di kalangan negara liberal Barat meneguhkan kebijakan mereka untuk mempercepat laju gelombang demokrasi liberal ke negara-negara Selatan ataupun negara-negara yang belum menganut paham demokrasi liberal. Maka, berbagai program pun diluncurkan untuk menyokong perkembangan demokrasi dan pembentukan sistem politik dan tata pemerintahan di dunia ketiga yang sejalan dengan garis liberal dalam corak pembangunannya.

Pelacakan Abrahamsen (2000: 56) membuktikan pada tahun 1990 Democracy Initiative dari US Agency for International Development (USAID) diluncurkan untuk membantu mendorong dan mengonsolidasikan demokrasi sebagai prinsip pengelolaan sistem politik yang legitimate di seluruh dunia. Satu tahun sebelumnya, 1989, World Bank mengintrodusir untuk pertama kali istilah “good governance”, sebagai doktrin pembangunan baru dan tata kelola pemerintahan yang segaris dengan demokrasi liberal. Doktrin ini meyakini bahwa demokrasi tidak hanya dikehendaki dari perspektif hak asasi manusia, tetapi juga dibutuhkan sebagai syarat untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan berkelanjutan. Demokrasi liberal dan “anak ideologisnya”, good governance, lantas menjadi tawaran baru bagi pembangunan negara di berbagai belahan dunia, terutama dunia ketiga.

Setelah didorong secara global oleh Amerika Serikat dengan negara Barat pada umumnya, Demokrasi dan good governance lantas menjadi buzzword dalam studi politik dan pembangunan di tahun 1990-an. Di Indonesia, terutama istilah good governance, menjadi salah satu kosakata paling populer di kalangan petinggi negara dan akademisi, sebagai tawaran baru dalam pembenahan pemerintahan yang secara sistemik begitu rusak. Keasyikan melafalkan suatu kosakata baru dengan berbagai “bujuk rayu” yang menggiurkan dari negara-negara Barat akan pembaharuan tata pemerintahan dan progresifitas pembangunan menyebabkan kita, masyarakat dunia ketiga, mengesampingkan daya kritis dalam merespons berbagai tawaran Barat.
4. Perkembangan Perekonomian Dunia
Pandangan miring kepada kapitalisme tersebut semakin keras pada era 1990-an di mana berbagai ahli ekonomi Barat generasi dekade ini dan para ahli ekonomi Islam pada generasi yang sama  menyatakan secara tegas bahwa teori ekonomi telah mati, di antaranya yang paling menonjol adalah Paul Ormerod. Dia  menulis buku (1994) berjudul The Death of Economics (Matinya Ilmu Ekonomi). Dalam buku ini ia menyatakan bahwa dunia saat ini dilanda suatu kecemasan yang maha dahsyat dengan kurang dapat beroperasinya sistem ekonomi yang memiliki ketahanan untuk menghadapi setiap gejolak ekonomi maupun moneter. Indikasi yang dapat disebutkan di sini adalah  pada akhir abad 19 dunia mengalami krisis dengan jumlah tingkat pengangguran yang tidak hanya terjadi di belahan diunia negara-negara berkembang akan tetapi juga melanda negara-negara maju.

Selanjutnya Omerrod menandaskan bahwa ahli ekonomi terjebak pada ideologi kapitalisme yang mekanistik yang ternyata tidak memiliki kekuatan dalam membantu dan mengatasi resesi ekonomi yang melanda dunia.  Mekanisme pasar yang merupakan bentuk dari sistem  yang diterapkan kapitalis cenderung pada pemusatan kekayaan pada kelompok orang tertentu.


Globalisasi budaya modernitas

Dalam konteks global saat ini, tampaknya persoalan globalisasi modernitas lebih penting daripada globalisasi ekonomi dan politik. Leslei Skalair (1991:51) menyatakan globalisasi ekonomi dan politik adalah fenomena yang ditunjukkan oleh semakin meluasnya cakupan pengaruh penetrasi sistem organisasi korporasi ekonomi dan politik modern seperti terdapat dalam perusahaan multinasional dan transnasional dan pengaruh kelas kapitalis transnasional terhadap sistem ekonomi negara-negara sedang berkembang. Sementara globaliasi budaya modernitas merupakan globalisasi dalam level budaya yang mengacu pada prinsip hidup modern sebagaimana tercermin dalam idiologi kultural konsumerisme.

Dalam banyak pembahasan tentang pengaruh globalisasi terhadap perubahan-perubahan budaya lokal si negara sedang berkembang dikemukakan bahwa globalisasi ekonomi dan politik ternyata diakui memiliki kekuatan terbatas dalam mengubah masyarakat lokal disbanding globalisasi budaya modernitas. Scott Lash & John Urry (1994: 160-167) menyatakan globalisasi ekonomi dan politik tidak dapat secara bebas menembus masyarakat lokal karena dibatasi oleh lingkup negara bangsa. salah unsure penting dari pengaruh globalisasi ekonomi dan politik yaitu sistem kapitalisme, misalnya, ternyata tidak begitu saja mudah berkembang dan diterima begitu saja kapitalisme sebagaimana yang berkembang di negara industri maju, tetapi diterima secara berbeda sesuai dengan kepentingan kekuasaan yang ada. Karena misalnya muncul banyak fenomena kapitalimse ala Jepang, kapitalisme ala Asia Tenggara, yang berbeda dengan kapitalisme Jerman atau Amerika Serikat.

Menanggapi apa yang dikemukakan Fukuyama tentang globalisasi modernitas ini ia berusaha untuk memberikan keyakinan terhadap masyarakat dunia bahwa kapitalisme merupakan sebuah idiologi terkuat di dunia, melalui penyeragaman idiologi dan tidak mengakui idiologi lainnya. Penulis menanggapi bahwa apa yang diungkapkan Fukuyama terlalu tergesa-gesa, jika dilihat dari konteks glabalisasi maka alur logika fukuyama sangat keliru dalam memahami keragaman idiologi. Dalam konteks posmodernisme seyogyanya kita harus mengakui keragaman yang integrated pluralisme bukan penyeragaman. Hal ini dapat diperkuat dengan pendapat Pauline Marle (1992: 8) menyatakan bahwa teori postmodern pada gilirannya menolak adanya proyek global “ perbedaan”, “keunikan dari bagian-bagian”, daripada kesatuan teori sosial secara keseluruhan.

Kenyataan menunjukkan pada kita bahwa pengaruh globalisasi modernitas telah mengaburkan batas-batas negara-bangsa. Dalam lingkungan budaya dewasa ini kita telah memasuki suatu situasi di mana batas-batas negara-bangsa menjadi semakin sulit dikenali. Hal itu disebabkan karena pengaruh globalisasi budaya sulit dikontrol oleh suatu sistem politik negara-bangsa.

Mengkaji apa yang disampaikan oleh Fukuyama tentang kemenangan kapitalisme dan demikrasi liberal. Dalam hubungan ini Anthony Giddens (1981) dalam pemikirannya tentang nation-state ia memberikan satu kerangka pikir yang mengkaitkan negara dan masyarakat dalam satu kesatuan yang mengandaikan. Pemikirannya tentang nation-state sendiri menempatkan modernitas sebagai titik tolak pemahaman. Bagi Giddens modernitas ditopang oleh empat dimensi yang sifatnya institusional yaitu monopoli sarana-sarana kekerasan, kapitalisme, industrialisme Surveillance atau pengawasan.

Modernitas merupakan satu fenomena yang sangat khas Eropa. Secara umum istilah modernitas merujuk pada bentuk masyarakat yang mulai muncul di Eropa Barat dalam abad ke tujuh belas dan delapan belas yang tercermin di Amerika Utara dan sejak itu telah menyebar atau mengenai bagian-bagian dunia lainnya. Reindhard Bendix, misalnya menyatakan bahwa semua konsepsi mengenai proses modernisasi harus dimulai dari pengalaman Eropa Barat karena dari sanalah asal mula berkembangnya komersialisasi industri dan revolusi.

Proses pergulatan ideologi telah mencapai kepada kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal, mengalahkan ideologi sosialisme dan fasisme. Semua negara akan berjalan dengan tuntutan kapitalisme dan demokrasi liberal, sehingga pada akhirnya tercipta sebuah pemerintahan tunggal dunia yang menyatu di bawah pimpinan AS sebagai aktor utama dunia. Anthony Gidden (1990) menyatakan bahwa kapitalisme global telah merombak tatanan kehidupan masyarakat.

Melihat fenomena-fenomena yang tragis tersebut, maka tidak mengherankan apabila sejumlah pakar politik dan ekonomi terkemuka, mengkritik dan mencemaskan kekuatan idiologis kapitalisme dalam mewujudkan kemakmuran masyarakat dunia di muka bumi ini. Bahkan cukup banyak klaim yang menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal  sebagai sistem sosial dan model idiologi ekonomi dunia.

Namun demikian, berakhirnya ketegangan idiologis tersebut ternyata tidak lantas menjadikan dunia lebih aman karena hal tersebut hanya mengurangi ketegangan di tingkat global, tidak menyelesaikan konflik-konflik di kawasan yang telah memiliki bibit konflik secara tradisonal. Hal ini terbukti ketika dunia memasuki dekade 1990-an muncul berbagai konflik bersenjata di dunia. Mulai dari konflik tradisional yang kembali muncul ke permukaan ; Burundi, Rwanda sampai dengan konflik baru, seperti konflik bersenjata antar-etnis dibekas negara Yugoslavia. Ternyata, perubahan yang lebih cepat telah menciptakan social-political shock, sehingga hal ini membenarkan tesis yang dikemukakan oleh Rosenau bahwa” semakin cepat tingkat perubahan sosial terjadi, semakin memungkinkan terjadinya bentuk-bentuk kekerasan intra-sosietal.

Atas dasar ini, maka dapat dikatakan bahwa Fukuyama telah memberikan  kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa, bila kita mencermati kondisi masyarakat masa kini, kapitalisme telah terindikasi, karena  krisis ekonomi masa kini masih tetap terasa mendalam dan mengkhawatirkan serta telah menimbulkan penderitaan-penderitaan yang memilukan bagi umat manusia. Dengan demikian sangat keliru apa yang dilakukan Fukuyama yang mendeklarasikan kemenangan kapitalisme liberal sebagai representasi akhir zaman “ The end of history”. Bertolak sejumlah tanggapan atas tesis Fukuyama tentang kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal dengan logika Fukuyama tentang akhir sejarah. Bagi Fukuyama ini semua sebagai dampak daripada perkembangan dan kemajuan industri di satu pihak dan sistem politik dipihak lain yang dikembangkan oleh negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.

Dari paparan di atas, penulis menyatakan bahwa perkembangan kehidupan manusia, baik di negara-negara Eropa, Amerika Seikat maupun di negara-negara Asia belakangan ini telah beranjak ke arah globalisasi. Apa yang sebenarnya terjadi adalah faktor-faktor kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang hebat maka sekarang batas-batas nasional dari lingkungan kehidupan manusia makin mengabur. Bahkan seperti diargumentasikan oleh Kenichi Ohmae (I. Gde Widja, 2002:18) batas-batas negara-bangsa telah berakhir (Berakhirnya Negara Bangsa, lihat lebih lanjut pada Analisis CSIS, 1996). Sebagai gantinya mulai lebih menonjol munculnya “negara-negara wilayah” yang arahnya sudah jelas menuju ke lingkungan yang makin menglobal dan dunia seperti tampa batas lagi (borderless word). Memang yang dimaksud Ohmae lebih terkait dengan aspek kehidupan ekonomi, namun dalam kenyataannya ternyata berdampak pada hampir keseluruhan dimensi kehidupan manusia.

Karena itu, kini telah muncul gelombang kesadaran untuk menemukan dan menggunakan sistem ekonomi ”baru” yang membawa implikasi keadilan, pemerataan, kemakmuran secara komprehensif serta pencapaian tujuan-tujuan efisiensi. Konsep ekonomi baru tersebut dipandang sangat mendesak diwujudkan. Konstruksi  ekonomi tersebut dilakukan dengan analisis objektif terhadap keseluruhan format ekonomi kontemporer dengan pandangan yang jernih dan pendekatan  yang segar dan komprehensif.

Kehadiran konsep ekonomi baru tersebut, bukanlah gagasan awam, tetapi mendapat dukungan dari ekonom terkemuka di dunia yang mendapat hadiah Nobel 1999, yaitu Joseph E.Stiglitz. Dia   dan Bruce Greenwald menulis buku  “Toward a New Paradigm in Monetary Economics”. Mereka menawarkan paradigma baru dalam ekonomi moneter. Dalam buku tersebut mereka mengkritik teori ekonomi kapitalis (konvensional) dengan mengemukakan pendekatan moneter baru yang entah disadari atau tidak, merupakan sudut pandang ekonomi Islam di bidang moneter, seperti peranan uang, bunga, dan kredit perbankan (kaitan sektor riil dan moneter).

            Berdasarkan kegagalan kapitalisme tersebut mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan, maka menjadi keniscayaan bagi umat manusia zaman sekarang untuk mendekonstruksi ekonomi kapitalisme dan merekonstruksi ekonomi berkeadilan dan berketuhanan yang disebut dengan ekonomi syariah. Dekonstruksi artinya meruntuhkan paradigma, sistem  dan konstruksi materialisme kapitalisme, lalu  menggantinya dengan sistem dan paradigma syari’ah. Capaian-capaian positif  di bidang sains dan teknologi tetap ada yang bisa kita manfaatkan, Artinya puing-puing keruntuhan tersebut ada  yang bisa digunakan, seperti alat-alat analisis matamatis dan ekonometrik,.dsb. Sedangkan nilai-nilai negatif, paradigma destrutktif,.filosofi materalisme, pengabaian moral dan banyak lagi konsep kapitalisme di bidang moneter dan ekonomi pembangunan yang harus didekonstruksi. Karena tanpa upaya dekonstruksi, maka ketidakadilan ekonomi di dunia akan semakin merajalela, kesenjangan ekonomi makin menganga, kezaliman melalui sistem riba dan mata uang kertas semakin hegemonis. Sekarang tergantung kepada para akademisi dan praktisi ekonomi syari’ah untuk menyuguhkan konstruksi ekonomi syariah yang benar-benar adil, maslahah, dan dapat mewujudkan kesejahteraan umat manusia, tanpa penindasan, kezaliman dan penghisapan, baik antar individu dan perusahaan, negara terhadap perusahaan, maupun  negara kaya terhadap  negara miskin.
5. PERGESERAN PARADIGMA
Thomas Kuhn, dalam bukunya yang berjudul ‘The Structure of Scientific. Revolution” yang diterbitkan pada tahun 1970, mengatakan bahwa dunia mengalami pergeseran paradigma yang akan melahirkan trobosan-trobosan baru dipelbagai bidang kehidupan (ekonomi-politik). Pergeseran paradigma akan terjadi jika timbul satu krisis (deadlock) maka akan melahirkan peran baru pula. Dan jika pergeseranpergeseran ini paradigma ini kita hadapkan kepada tatanan hubungan internasional saat ini, maka pergeseran usainya Perang Dingin. Globalisasi interdependensi yang terasa sangat kental diantara masyarakat internasional (dunia).

Konstelasi hubungan internasional telah berubah secara drastis (pasca Perang Dingin) dunia diwarnai oleh polarisasi yang telah mendorong kawasan Dunia Berkembang dan Dunia Maju mempertegas kembali keberadaannya. Kecenderungan itu bila dihadapkan dengan masalah tata ekonomi dunia, ternyata masih tetap tidak dijumpai keadilan. Masalah yang menyangkut utang luar negeri, pertumbuhan ekonomi, arus modal, seakan-akan tidak berubah sehingga perkembangan di bidang ini cenderung menunjukkan formatnya yang multipolar. Pusat-pusat kekuatan ekonomi baru. bermunculan sementara beberapa blok-blok ekonomi semakin marak dengan cara mengkonsolidasikan dirinya.

Terutama Negara-Negara Dunia Ketiga, yang mungkin terjadi seputar masalah yang berkaitan dengan posisinya dalam hubungan ini yakni terjadinya blokblok kekuatan ekonomi baru dalam bentuk regionalisme baru pula. Persoalan inii terletak dalam pencaharian alternatif ke dalam bentuk kerjasama ekonomi diantara negara-negara anggota dan diantara mereka dengan negara-negara maju dilihat sebagai suatu langkah dengan formasi "berdiri kolektif". Kerjasama ekonomi diantara mereka bagaimanapun harus dieksploitasi sebagai suatu batu loncatan bagi pengintegrasian mereka ke arah perekonomian global sesuai dengan prioritas dan kepentingan pembangunan masing-masing.

Munculnya suatu prioritas baru (peran dunia) dalam bentuk integrasi regional yang dijadikan sebagai dasar pada sebuah paradigma, dimana kepentingan kelompok menjadi yang utama atau dengan perkataan lain, paradigma kepentingan regional yang ada. Pada gilirannya akan memberikan kontribusi bagi kepentingan nasional masing-masing. Paradigma atas kepentingan regional diformulasikan ke dalam kerjasama regional di beberapa kawasan/wilayah dunia saat ini yang akan mengarah kepada sifat pengelompokan diri ke dalam konstelasi kepentingan ekonomi regional/global. Konstelasi kepentingan ekonomi ini tampaknya semakin

mempertegas paradigam integrasi regional dalam aspek ekonomi-politik global dengan terbentuknya misalnya Masyarakat Ekonomi Eropa.

Masyarakat Ekonomi Eropa/Masyarakat Eropa yang melahirkan Pasar Tunggal Eropa, Amerika Serikat via North American Free Trade Agreement (NAFTA). Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC). telah melahirkan skenario perekonomian global kedalam Tiga Kelompok Besar. Dan jika skenario ini lebih dipertajam, maka segera muncul format Dua Kelompok Besar: Eropa (European Union) dan Asia Pasifik (APEC) ke dalam tata hubungan perekonomian dunia. Eropa Bersatu - Masyarakat Ekonomi Eropa-Pasar Tunggal Eropa-Kawasan perdagangan Bebas Eropa (EFTA), dijadikan sebagai antisipasi dan strategi Masyarakat Eropa terhadap perkembangan internasional dan regional yang diciptakan sebagai upaya membentuk integrasi ekonomi yang diwujudkan ke dalam bentuk kerjasama ekonomi global di atas tataran wilayah perdagangan bebas dan kuota perdagangan diantara mereka terhadap produk-produk impor dari negaranegara anggotanya. Namun sekali lagi, dengan terbentuknya kelompok-kelompok ekonomi yang berimplikasi internasional ini setidak-tidaknya bertujuan untuk memperkuat integrasi ataupun institusi yang dalam kerangka Uni Eropa atau apapun namanya itu. Kemunculan pengelompokan ini juga tampaknya bersifat "spilover". Artinya, kawasan ekonomi Eropa merupakan pasar terbesar di dunia yang menguasai sekitar 40% perdagangan dunia. Daya serap ini selanjutnya akan meluas ke beberapa-negara Eropa Timur lainnya.




6. REGIONALISME EKONOMI
Masyarakat Eropa (EC) dengan dibukus oleh lebel proses intergrasinya itu, menepatkan posisi negara anggotanya sebagai pusat integrasi ekonomi dan politik yang diarahkan menuju cita-cita Uni Eropa (EU). Hal ini memberikan suatu indekasi kepada kita bahwa jalan pikiran seperti ini memberikan kesan bahwa gerakan dan mekanisme pengelompokan regionalisme seperti ini dianggap sebagai suatu ambisi masyarkat Eropa untuk meningkatkan ambisi regionalisme di benua Eropa yakni dengan usaha untuk menarik usaha kembali sejarah masa silam bahwa pusat pertumbuhan dan perkembangan Internasiinal berada di Eropa.

Munculnya satu lagi pengelompokan kekuatan ekonomi regional seperti APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) yang di bentuk awalnya di Australia tahun 1989, merupakan terobosan baru di kawasan Asia Pasifik di samping' EFTA di kawasan Eropa. Ini juga dilihat sebagai suatu pengelompokan didasarkan atas kerjasama ekonomi regional dan pada gilirannya akan merebak menjadi suatu kerjasama ekonomi internasional.

Tentunya perkembangan kehadiran kerjasama bidang ekonomi yang bersifat regional/internasional akan memberikan dampak terhadap tata hubungan internasional serta tata hubungan ekonomi global umumnya. Dampak/implikasi di dalam tatanan hubungan ekonomi yang diartikan adalah jika diterjemahkan bahwa kehadiran kelompok-kelompok kekuatan ekonomi baik itu dalam tataran regional maupun yang internasional, misalnya APEC, adalah merupakan puncak diplomasi dan konflik yang sudah mengarah kepada perang dagang antara blok-blok dagang terbesar (Amerika), Eropa Bersatu (Uni Eropa).

Jika persoalan ini dilihat ke dalam persfektif yang lebih luas, maka dapatlah dikatakan ini semacam percaturan bisnis-politik pada level atas yang dilakukan di atas tataran GATT (putaran Uruguay) yang terancam menemui jalan buntu yang memang diperlukan suatu manuver-manuver politik, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Bill Clinton dan dengan mana pihak Amerika Serikat membentuk NAFTA yang mendapat voting dari Kongres 1992, disubstitusikan diselenggarakannya KTT APEC 1993. Ini berarti bahwa Amerika Serikat mau mengultimatumkan Eropa (membuat tandingan). Hal ini disebabkan Eropa tidak memberikan persetujuan atas GATT (liberalisasi perdagangan dunia; penghapusan dan penurunan tarif produk manufakturing) yang sebagian besar terbentur bagi kepentingan Amerika Serikat.

Jika hal ini akan terjadi, dimana tidak akan melahirkan kompromi antara konglomerat dunia (Amerika Serikat dan Eropa) sebagaimana yang telah disinggung di atas, maka dunia ini akan terbagi ke dalam blok-blok ekonomi: European Union, North American' Free Trade Agreement (NAFTA) dan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). Dengan APEC, otomatis NAFTA (22,1%) bergabung dengan Asia Timur EAEC (22,6%) akan menguasai hampir 50% perdagangan global; sedangkan Uni Eropa hanya mampu maksimal mencapai 27% jika hal ini ditambah dengan EFTA (Swedia, Swiss, Austria, Norwegia dan Finlandia).


Yüklə 147 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə