Kajian Wilayah Negara-Negara Maju Anggota Negara Maju. Negara maju



Yüklə 147 Kb.
səhifə3/4
tarix24.12.2017
ölçüsü147 Kb.
#17303
1   2   3   4

7. PERSFEKTIF ANALISIS KONSEPTUAL
Berangkat dari uraian di atas, apa yang sebetulnya hendak dikatakan dalam tulisan ini adalah sebagai upaya kerangka analisis konsep yang menjelaskan perubahan ekonomi-politik dihampiri dengan membangun pendekatan ekonomi politik tadi yang menekankan bahwa pertumbuhan kelompok-kelompok kekuatan ekonomi apakah itu yang berskala regional maupun internasional dikaitkan dengan peneterasi ekonomi sebagai substansi perubahan-perubahan atas konflik-konflik politik; dikonstruksikan ke dalarn teori integrasi regionalisme di atas kerangka bangunan dari sejumlah analisis konseptual.

Selama antara tahun 1940-an sampai dengan 1950-an, para ilmuan politik dan hubungan internasional cenderung membangun suatu diskripsi untuk rnenggambarkan politik internasional (world politics) ke dalam kondisi dimana masing-masing bagian saling kait-rnengkait satu sama lain di atas tataran yang disebut dengan "negara-negara bangsa" (nation-states) yang berdasarkan kepada suasana konflik. Beberapa diantara mereka (pengamat) aliran pemikiran realist seperti misalnya Hans J.Morgenthau, mengatakan bahwa konflik internasional, lebih menunjukkan kepada sifatnya (karakter) dasar manusia umumnya (human nature) sebagai suatu fakta sosial.

Dan disisi lain, yang mengatakan bahwa dalam satu sistem internasional, dilihat sebagai suatu dataran suasana (kondisi) dengan mana telah terjadi apa yang disebut dengan istilah: international anarchy. Kondisi tersebut sering diakibatkan oleh keberadaan kecenderungan yang memperkuat (powerful) dan antagonistik negara-negara yang pada akhirnya akan menciptakan kondisi "dilema keamanan" yang terformulasikan ke dalam pola globalisme politik Internasional dalam mana, ada sintesa kondisionalitas antar kekuatan (power) dengan orientasi keamanan (security oriented) yang dirumuskan sebagai pokok bahasan dalam analisis politik dan hubungan internasional.

Mengungkit kembali suasana pahit dalam konteks hubungan konflik antara Timur-Barat dan hubungan antar-negara-negara di Eropa Barat 'yang ditandai oleh kondisi kerjasama tidak pernah terjadi sebelumnya. Gerakan pembersatuan kawasan Eropa (1950-an) yang pertama, yakni European Coal and Steel Community (ECSC), ini jelas-jelas telah menunjukkan perubahan dalam kaitannya dengan strategi perimbangan kekuatan yang bersifat bipolar ke dalam persfektif regionalitasnya.

Pentingnya kejadian-kejadian yang timbul di kawasan Eropa ini, menjadi menarik perhatian bagi para analis politik dan hubungan internasional kontemporer yang telah memusatkan perhatian para sarjana untuk berupaya menjelaskan fenomenafenomena dengan berdasarkan pada aspek regionalitasnya.

Dimulai pada pertengahan tahun 1950-an yang dipelopori oleh Karl W.Deutsch (1957), Ernst .E.Haas (1958) yang memfokuskan perhatiannya kepada kajian regional integration dijadikan sebagai satu konsep untuk menggambarkan proses. Oleh sebab itu jika kerangka konsep ini dikaitkan dengan apa yang terjadi di kawasan Eropa seperti dengan lahirnya European Union (EU) merupakan suatu gambaran/diskripsi tentang pembentukan suatu aliansi (persekutuan) baru. persekutuan baru senantiasa berkenaan dengan argumentasi tentang studi integrasi regional.

Studi integrasi regional ditempatkan ke dalam analisis konsep integrasi regionalisme bagi studi hubungan internasional khususnya, dengan berupaya membangun suatu kerangka teori integrasi regional. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuat sejumlah analisis konseptual yang dengan sengaja memfokuskan perhatian kepada kondisi dan proses yang akan menjadi Denting dalam kerangka determinasi integrasi politik dan ekonomi. Upaya pemahaman ke arah teori integrasi regional sebagaimana telah dikerjakan oleh dua pakar politik dan hubungan tersebut di atas, menjelaskan bahwa fenomena integrasi regionalisme (politik dan ekonomi) kendatipun di dilakukan di Eropa Barat tahun 1950-an lalu, namun relevanlah kiranya hal ini kembali diterapkan dalam makalah ini.

Jika kita membuat suatu asumsi yang mengatakan bahwa terbentuknya kelompok-kelompok kekuatan ekonomi-perdagangan secara global/regional (EU, NAFTA dan APEC) yang senantiasa cenderung bermuatan aspek ekonomi dan politik.

Dan ini pula yang menjadi karakternya. Karakter inilah pula yang dijadikan sebagai pokok kajian teori integrasi pada umumnya. Kemudian selanjutnya kedudukan teori dalam konteks ini adalah untuk memberikan eksplanasi bagi pemahaman kita terhadap pola-pola politik dan ekonomi dalam hubungan antar negara-negara (negara maju), dengan negara-negara berkembang (negara-negara dunia ketiga).

Dalam kepustakaan studi politik dan hubungan Internasional dijumpai penegasan pandangan yang berdasarkan pada upaya-upaya menganalisis konsep interdependensi terhadap aspek ekonomi-politik khususnya dalam hubungannya dengan perkembangan kelompok-kelompok perdagangan global/regional dengan menempatkannya ke dalam kawasan-kawasan tertentu bahwasanya telah terjadi suatu proses penyatuan kelembagaan (institusional) regionalisme institutionalized regionalism unity). Hal ini juga dapat berarti menempatkan kedudukan integrasi ke dalam teori interegrasi dan analisis konseptual terhadap politik Internasional (world politcs). Kontribusi teori integrasi terhadap analisis konseptual politik internasional dengan mencandra aspek ekonomi-politiknya, terutama terlihat di dalam hubunganhubungan kekuatan (power relationships) antara negara-negara maju (industri) dengan negara-negara berkembang (dunia ketiga). Ataupun bisa juga hubungan antara negara-negara maju dengan negara-negara maju itu sendiri ke dalam wacana sistem internasional.

Penyatuan berdasarkan kepada sifat kelembagaan regionalisme dalam kepustakaan studi hubungan internasional yang sering terjadi selisih silang pendapat antar penstudi hubungan internasional untuk memberikan penjelasan bagi batasan/rumusan kerangka bangunan teorinya.

Namun jika dilihat dari sisi yang lain. membangun teori integrasi regionalisme dianggap penting untuk menempatkannya sebagai gagasan/ide, atau setidak-tidaknya. dapat memberikan rangsangan terhadap studi politik dan hubungan internasional. Hal ini terjadi jika para penstudi hubungan internasional menjadikan konsep integrasi sangat relevan dengan sejumlah argumen bagi mereka untuk dapat dijadikan sebagai instrumen dalam kerangka memahami politik interdependensi di luar konteks regional. Dan sebaliknya, analisis integrasi politik di dalam terminologi interpendensi dapat membantu untuk dapat menempatkan “teori integrasi” didalam ranah kontekstualitas. Artinya, bukan sebagai satu pemisahan dan bersifat kaku (rigid), melainkan ia tetap ditampilkan sebagai suatu. Sifat “notion aplicable" yang hanya berlaku di kawasan Eropa misalnya. Namun ia berlaku di kawasan-kawasan lainnya tetap menjadi masalah yang penting di dalam studi kepustakaan politik dan hubungan internasional. Implikasi dari alur pemikiran seperti ini yakni ditujukan kepada pemakaian antara konsep integrasi dan interdependensi yang pada gilirannya akan melahirkan berbagai rumusan, dimensi dan persepsi terhadap penjelasan teori tersebut.

Ketidakseragaman pandangan dan pemikiran para penstudi politik dan hubungan internasional, terutama dalam rangka penggunaan terminologi/konsep integrasi, sehingga membingungkan. Mana yang sebenarnya menjadi patokan atau yang dapat dijadikan sebagai pedoman. Ada beberapa pengamat merumuskan integrasi sebagai suatu proses, yang lainnya memandang integrasi sebagai "kondisi terminal" atau “condition of being integrated". Namun dalam prakteknya, para sarjana sering mengunakan secara silih berganti (interchangeably).

Demikian juga dalam kamus, Sering dijumpai rumusan integrasi sebagai "a processor condition of forming parts into a whole". Bagi pandangan Ernst B.Haas (1971) bahwa yang diartikan dengan konsep integrasi adalah sebagai "a process for the creation of piolitical communities defined institutional or attitudinal terms". Ada lain yang mengatakan bahwa studi integrasi regional berkaitan dengan kajian: bagaimana dan mengapa negara-negara menyerahkan kedaulatannya kepada para tetangganya sehingga seakan-akan ia kehilangan sebagian kedaulatannya menyatu ke dalam suatu bentuk kerjasama (organisasi).

Kerjasama regional yang dibentuk dalam organisasi, di jadikan sebagai perwujudan atas proses dan kondisi lahirnya suatu persekutuan/asosiasi/internasional dalam berbagai landasan pijaknya (regional/internasional) sekalipun, dilihat dari persfektif tingkat tertinggi dari perwujudan proses dan kondisi integrasi.

Di samping ada, timbul kecendrungan pandangan bahwa terutama di negaranegara maju, dalam konstelasi hubungan antar negara senantiasa terkait dengan muatan ekonomi-politik. Saling ketergantungan ke dalam bidang ekonomi, muncul sebagai yang determinan dalam hubungan tersebut, sehingga penggunaan dengan kekerasan, terasa semakin akan berkurang.

Maka dengan demikian, teori integrasi yang dihadapkan dengan konsep regional, tampaknya semakin relevanlah dengan analisis konseptual politik internasional. Dalam mana, keterkaitan antar dimensi ekonomi dan dimensi politik telah menjadi karakternya. Hal ini telah diwujudkan dengan berdirinya Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), dan seiring dengan itu pula, akhirnya telah pula menjadi kajian analisa dan penelitian integrasi.

Dengan memusatkan perhatian kita pada konsep integrasi sebagaimana sebagiannya diusahakan diberikan penjelasan dengan cara menganalisis saling ketergantungan (interpedensi) dalam aspek ekonomi-politik dan ini dikaitankan dengan kecendrungan dari negara-negara untuk mengelompokan diri kedalam pola regional. Pola regionalisme didasarkan pada pengelompokan pada kekuatan ekonomi (perdagangan) dan pada gilirannya akan terbentuk didalam perlembagaan regionalisme. Kajian ini telah menjadi bagian dari studi politik dan hubungan internasional. Analisis yang dikembangkan oleh studi hubungan internasional terutama dalam kajian integrasi regionalisme yakni dengan semakin maraknya pengelompokan kekuatan berdasarkan aspek ekonomi dan politik menjadikan semakin bertambahnya pula informasi teori-teori dalam kaitannya dengan fenomena itu. Analisis dengan merujuk kepada teori ini memperlihatkan bahwa pembuatan kebijakan (decision making) signifikan dengan "issue area".

Dengan munculnya istilah ini dijadikan sebagai instrumen analisis (analysis tools). Di sini dicoba untuk memperlihatkan beberapa aspek yang terdapat dalam negara-negara sebagai factor yang berpengaruh terhadap bentukan (format) integrasi regional tadi. Integrasi yang terjadi di kawasan Eropa, dijadikan sebagai suatu "issue area" berupa "baja dan besi" yang terdapat dalam negara-negara Benelux (Belgia, Nederland dan Luxembrug). Maka bagi seorang analis yang perlu diperhatikan adalah "progress in policy integration" yang dihadapkan dengan perbedaan atas issue-area" tadi. Misalnya dalam suatu negara bahwa isue areanya mungkin sector pertanian dan yang mungkin sektor industri atau transportasi. Dari dua sektor inilah yang dijadikan sebagai "leading sector" bagi kebijakan politik luar negerinya. Negara yang satu melihat bahwa sektor (X) menjadi kepentingan utama dan bagi Negara yang lain melihat sector (Y) menjadi kepentingan pokok.

Maka dengan demikian, analisis tentang isuue area tadi bagi studi regionalisme dalam wacana politik dan hubungan internasional semakin dekat atau dengan kata lain diajukan konsep "linkage of issue" dijadikan konsepsi untuk menjelaskan bagaimana integrasi regional berproses menuju integrasi.




8. Plus Minus Globalisasi
















Istilah globalisasi selalu berubah-ubah sejak tahun sembilan puluhan. Istilah itu baru diketahui pada periode baru yang dimulai dengan ditandai runtuhnya benteng Berlin pada tahun 1989 M dan jatuhnya Uni Soviet, kemudian berakhir setelah aturan ateis berhasil diruntuhkan oleh sistem kapitalis.

Pada kajian ini, kita akan membicarakan tiga bidang penting terkait globalisasi, yaitu ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Mari kita lihat sisi baik dan buruknya tiga bidang tersebut.

Pertama, Bidang Ekonomi

Dalam bidang ini, tatanan perekonomian dunia dibangun atas dasar sistem kapitalis ribawi. Amerika Serikat (AS) memaksakan sistem kapitalis ini kepada seluruh negara di dunia melalui lembaga internasional, yaitu World Bank (Bank Dunia) dan International Monetary Fund (IMF). Adapun bentuk yang lainnya melalui berbagai lembaga dunia atau dengan melalui kesepakatan dunia yang telah diakui oleh lembaga tersebut dan sebagainya.

Dunia internasional, terutama negara-negara maju telah banyak meraup keuntungan materi, tetapi di sisi lain telah terjadi kesenjangan ekonomi yang semakin lebar dengan negara-negara miskin. Akibatnya, distribusi keuntungan itu tidak terbagi secara merata di berbagai belahan dunia, dan hanya menguntungkan negara-negara maju.

Ketidakadilan sistem yang sekarang ini berjalan telah menciptakan suasana tidak kondusif untuk terciptanya perdamaian dunia. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, semakin hari keamanan dunia semakin terancam. Konflik pun terjadi di mana-mana.

Pada akhirnya, kondisi yang tidak aman itu harus dibayar mahal oleh negara-negara maju, terutama negara adi daya AS yang sekarang ini menjadi polisi dunia. Bahkan, ongkos yang mahal itu kini lambat laun mulai dirasakan oleh mereka. Dan, mereka pun kini mulai mengalami krisis ekonomi akibat sistem yang sekarang ini berjalan.

Para pakar yang pro terhadap sistem kapitalis ribawi kini mulai berpikir ulang tentang ketangguhan sistem yang selama ini dibanggakannya. Mereka semakin resah ketika bank-bank di berbagai negara mulai membuka sistem syariah. Akankah sistem yang berlandaskan syariat Islam ini akan menggantikan sistem kapitalis ribawi yang makin lama makin ditinggal oleh para pendukungnya? Kalaupun tidak sekarang, yang jelas proses menuju perubahan itu kini sedang berlangsung.

Kedua, Bidang Politik

Setelah Unisoviet jatuh, Amerika pun naik ke permukaan. Belum ada negara di dunia saat ini yang bisa menandingi AS dalam hal kekuatan militer. Oleh karena itu, wajar saja jika AS kini berhasil mengendalikan dunia (menjadi polisi dunia).

Kesempatan ini dimanfaatkan benar oleh AS. Melalui lembaga perserikatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), seluruh negara di dunia diarahkan oleh AS untuk menjadi negara dengan sistem demokrasi. Setiap negara dibuat sibuk untuk mengurusi demokrasi. Dengan cara demikian, mereka dengan mudah dapat dikendalikan oleh satu pusat kekuatan, yaitu AS.

Mereka selalu menggembar-gemborkan penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM). Jika di suatu negara terjadi pelanggaran HAM, mereka kemudian menghukumnya dengan sangki ekonomi atau embargo ekonomi. Namun, yang menarik di sini adalah hal itu tidak berlaku jika pelanggaran HAM itu terjadi pada kaum muslimin di negeri yang mayoritas berpenduduk muslim. Ini berarti AS menerapkan standar ganda dalam penegakkan HAM. Dengan demikian, ini adalah sistem yang tidak adil.

Ketiga, Bidang Teknologi

Umat manusia telah menemukan berbagai penemuan ilmiah, di antaranya penemuan mesin uap, listrik, dan atom. Adapun penemuan ilmiah yang tergolong mutakhir yang telah mengejutkan dunia adalah komputer. Dengan komputer, ia dapat menjalankan lebih dari dua milyar pekerjaan yang bermacam-macam dalam satu detik. Hal itu pada masa lalu membutuhkan ribuan tahun untuk menyelesaikannya.

Adapun penemuan dalam bidang lain, yaitu penemuan teknologi informatika dan perhubungan yang dengannya dapat memberi kesempatan bagi setiap orang, masyarakat, dan negara untuk berhubungan dengan menggunakan berbagai sarana yang tak terhitung lagi jumlahnya. Melalui teknologi ini, hanya dengan beberapa macam kabel, faks, stasiun radio, dan televisi, dalam sehari dapat ditayangkan sebanyak 2000-an acara atau lebih.

Apa Sajakah Bahaya Globalisasi?

1. Kemiskinan

Globalisasi hanya akan mempekerjakan seperlima masyarakat, sedang empat perlima lainnya tidak lagi dibutuhkan karena sudah adanya teknologi baru yang berhubungan dengan komputer. Sehingga, hanya dengan seperlima tenaga kerja sudah cukup untuk memproduksi semua barang. Dampaknya, empat per lima masyarakat lainnya akan mengalami kemiskinan dan kelaparan. Dan, di antara bahaya globalisasi pula, pelaksanaannya ditujukan pada masyarakat yang sudah baik kehidupannya dan pada masyarakat yang taraf kehidupannya sudah menengah.

Yang lebih parah lagi adalah globalisasi menyebabkan berbagai kelompok masyarakat menjadi miskin. Secara angka menunjukkan bahwa kekayaan yang dimiliki oleh 358 milyader (orang-orang super kaya) yang berada di dunia ini melebihi kekayaan yang dimiliki oleh 2,5 milyar penduduk dunia. Terdapat 20% dari berbagai negara yang penghasilan alamnya mencapai 85% dan 84% dari perdagangan. 85% dari hasil pertambangan dilimiliki oleh para penduduknya. Tingkatan yang terjadi di berbagai negara ini hampir menyamai tingkatan lain yang terjadi di setiap negara. Sehingga, hanya minoritas saja dari penduduk negara-negara tersebut yang taraf ekonominya menengah ke atas. Mayoritas di antara mereka berada pada taraf kemiskinan. Hal itu akan berdampak pada hasil sosial yang berbahaya.

Sebagai contoh, Kalifornia. Negara yang jelas-jelas menerapkan sistem kapitalis ini terjadi berbagai kejahatan yang semakin menyebar luas. Negara ini tingkat ekonominya termasuk yang ke tujuh di dunia. Anggaran untuk oprasional penjara di Kalifornia lebih besar daripada anggaran untuk pendidikan. Di negara ini terdapat 28 juta penduduk Amerika, yakni lebih dari 1/10 dari warga negara Kalifornia. Mereka berlindung di balik benteng dan tempat yang dijaga. Dan tidak asing lagi, dana yang dikeluarkan orang-orang Amerika untuk melindungi dirinya dengan menggaji orang-orang yang bersenjata lebih besar daripada dana yang dikeluarkan negara untuk menggaji polisi.

Bila kita perhatikan pada pembahasan ini, tampak terbuka lebarnya pintu perdagangan bebas atau sering disebut pasar bebas yang berdampak pada semakin meningkatnya tindakan kriminal. Para penjual heroin bertambah 20 kali lipat di pasar dunia dibanding sebelumnya, begitu pula para penjual kokain, bertambah 50 kali lipat.

2. Budaya Amerika

Budaya Amerika merupakan arus globalisasi yang sangat berbahaya. Budaya Amerika dapat mendorong terjadinya atokrasi beberapa wilayah dengan dunia dan mengatagorikannya sebagai satu poros yang ruang lingkup politiknya telah berakhir sesudah runtuhnya Unisoviet. Budaya Amerika ini akan berdampak sangat besar dalam membentuk, mengadili, ataupun menutup masa depan budaya.

Yang paling berbahaya dengan adanya budaya Amrika adalah karena budaya itu berbenturan dengan pokok-pokok agama Islam yang bersandar pada dalil-dalil qath’i (dalil yang pasti). Oleh sebab itu, kita dapati mayoritas pendapat yang diserukan oleh sebagian penulis kontemporer berakibat perdebatan yang sangat tajam yang hanya berlandaskan pada iman yang nisbi.

Dasar-dasar agama mencakup dalil-dalil yang qath’i secara penetapannya ataupun secara pengambilan dalilnya dalam berbagai bidang. Baik dalam bidang akidah, hudud, warisan, ataupun keluarga. Berdasarkan hal itu, sesungguhnya berbagai peperangan yang terjadi akhir-akhir ini adalah bentuk penjelmaan terhadap peperangan antara arus globalisasi dengan dasar-dasar agama Islam kita. Di antara peperangan yang paling nyata adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Nashr Hamid Abu Zaid mengenai nash-nash yang qath’iyatuts tsubut dan qath’iyatud dalalah yang mencakup berbagai perkara akidah, seperti Kursi, ‘arsy, mizan, shirath, malaikat, jin, syaitan,  sihir, dan sebagainya. Semua itu oleh beliau dikatagorikan sebagai lafal-lafal yang berkaitan dengan kondisi kebudayaan tertentu. Sehingga, kita harus memahaminya sesuai dengan kondisi kebudayaan tersebut. Adapun keberadaannya dikatagorikan sebagai hal yang bersifat dzhanni (tidak dapat dilihat mata), tidak harus aini (dapat dilihat mata) sehingga ia memilik landasan sejarah.

Dalam penjelasan Dr. Nashr Hamid Abu Zaid tersebut menerangkan bahwa nash-nash yang bersifat religi adalah sama dengan nash-nash secara bahasa yang dinisbatkan kepada kebudayaan tertentu. Lalu, ia menjadikannya sebagai aturan kebudayaan tersebut dan bahasa dianggap sebagai sumber dalam mengambil dalil. Ia hanya berlandaskan pada pengamatan seorang ahli bahasa. Kemudian, Dr. Abu Zaid mengakhiri dengan penjelasan akan pentingnya mengubah nash-nash yang bersifat diniyah kepada metodologi bahasa sebagaimana telah ia jelaskan sebelumnya.

Lembaran ini tidak cukup untuk membantah secara terperinci semua yang dikatakan oleh Dr. Nashr Abu Zaid. Tapi, mungkin yang perlu dipertanyakan, kenapa Dr. Nashr Abu Zaid mengatagorikan lafal kursi, ‘arsy, malaikat, jin, syaitan, hasad, dan sihir sebagai lafal yang memiliki landasan sejarah? Apakah karena tidak mempunyai ilmu akan adanya hal-hal nyata pada lafal-lafal tersebut sehingga kita mengecualikannya dan mengatagorikannya sebagai lafal-lafal yang tidak nyata, yang bersifat dzhanni (tidak dapat dilihat mata). Sampai sekarang kita belum mendengar hal seperti itu.

Lalu, bagaimana kita bisa mengondisikan globalisasi? Kita mengambil faedah dari sisi positifnya dan menjauhi sisi negatifnya. Ada dua hal penting yang paling baik untuk menghadapi globalisasi, yaitu sebagai berikut.



Pertama, membantu kalangan ekonomi lemah. Hal itu bisa dilakukan dengan mengaktifkan lembaga-lembaga sosial, dan menjaganya dari satu sisi, serta merencanakan untuk menghidupkan dan memperluas lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang wakaf dari sisi yang lain. Sebagaimana telah diketahui bahwa lembaga yang bergerak dalam bidang wakaf bermacam-macam, di antara contohnya sekolah, universitas, Puskesmas, rumah sakit, rumah, kebun, hotel, dan lainnya. Lembaga-lembaga tersebut telah ikut andil dalam menyebarkan ilmu, menjaga kesehatan, mencukupi orang-orang yang membutuhkan, menjaga hewan, membantu perekonomian, menutup kekosongan sosial, dan lainnya. Sehingga, dari wakaf-wakaf tersebut telah memberi gambaran 1/3 kekayaan yang dimiliki oleh dunia Islam.

Kedua, menjaga masa depan umat. Hal itu dengan membantu persatuan kebudayaan. Kesatuan kebudayaan merupakan penjelmaan yang terakhir dari kesatuan umat ini setelah terjadinya kekacauan politik dan ekonomi yang terjadi beberapa abad yang lalu. Tidak diragukan lagi, bahwa kesatuan kebudayaan ini merupakan bangunan yang paling dasar dalam menghadapi arus globalisasi. Oleh sebab itu, harus bersemangat untuk mencukupinya dan berusaha untuk menekuninya. Dan, yang paling nyata dari hal itu ialah pokok-pokok dasar agama Islam dan hukum-hukumnya yang bersandarkan pada dalil-dalil qath’i, dan bahasa Arab yang dikatagorikan sebagai perantara untuk menyatukannya. Dan, harus bersemangat untuk menjauhi segala hal yang dapat mencerai-beraikan kesatuan kebudayaan dan melemahkan roh kehidupannya.





DAFTAR BACAAN

Agung, Ide Anak Agung Gde,  Twenty Years Indonesian Foreign Policy 1945-1965. Paris: Mouton, 1973.

Ali E Hillal Dessouki and Baghat Korany, A Literature Survey and a Framework for Analysis dalam The Foreign Policies of Arab States, Bouleder, Westview Press, 1991, hal. 8.

Allison. Graham.T. .Essence of Decisions EX-plaining the Cuban Missile Crisis. (Boston: Little Brown, 1971).

Ake, Claude.A.,A Theory.of Political Integration, Dorsey : Homewood. 1967).

Anderson, Benedict and Audrey Kahin (eds), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen

Anwar, Dewi Fortuna,  Indonesia in Asean: Foreign Policy and Regionalism. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1994.

Bandoro, Bantarto (ed), Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru. Jakarta: CSIS, 1994.


Yüklə 147 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə