Kontribusi semiotika terhadap



Yüklə 0,53 Mb.
səhifə2/6
tarix31.10.2018
ölçüsü0,53 Mb.
#77407
1   2   3   4   5   6

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan riset berbasis pustaka (library-based research), yaitu penelitian dengan mengumpulkan data, sekaligus meneliti referensi-referensi yang terkait dengan subyek yang dikaji. Metode dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Pengumpulan Data

      1. Jenis dan Sumber Data

Dalam konteks riset berbasis pustaka, ada dua jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu data-data primer dan data-data sekunder. Keprimeran sebuah data sangat ditentukan oleh relevansinya dengan metafisika sebagai subyek kajian. Sementara itu, sebuah data disebut sekunder apabila relevansinya tidak terlalu kuat. Meskipun klasifikasi ini terlihat ketat, dalam penerapannya nanti penelitian ini tidak memandang sebelah mata signifikansi data-data sekunder dalam mencari kemungkinan dan perspektif baru terhadap subyek kajian.

      1. Teknik Pengumpulan Data

Data-data primer dan sekunder dikumpulkan dari buku maupun jurnal. Data-data tersebut lalu diklasifikasikan berdasarkan relevansi dan sumbangannya terhadap kajian ini, karena banyak diantara bahan-bahan yang ada seperti tidak terkait, tetapi sebenarnya saling mendukung dan memberi informasi tambahan yang diperlukan untuk penelitian ini.

    1. Pengolahan Data

      1. Langkah-langkah penyajian

Dari data yang telah diseleksi, penulis kemudian melakukan telaah dan penyajian. Penyajian dilakukan dengan pertama-tama mendeskripsikan apa yang dimaksud dengan semiotika dan memetakan secara mendasar uraian semiotika. Selain itu, penulis kemudian masuk pada langkah berikutnya dengan mendeskripsikannya.

      1. Metode Semiotika Interpretatif

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelum ini, metode semiotika yang digunakan dalam berbagai penelitian, termasuk penelitian desain, mempunyai berbagai model analisisnya yang spesifik, sesuai dengan karakter objek (desain) yang akan diteliti.

Metode semiotika pada dasarnya bersifat kualitatif-interpretatif (interpretation), yaitu sebuah metode yang memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya, serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode (decoding) di balik tanda dan teks tersebut. Metode analisis teks (textual analysis) adalah salah satu dari metode interpretatif tersebut. Akan tetapi, sebagaimana dapat dilihat nanti, ada metode-metode yang merupakan perluasan dari metode semiotika, yang bersifat lebih kualitatif-empiris, yang memfokuskan dirinya pada subjek pengguna teks (pembaca, penonton, pemakai).



BAB II

KAJIAN ILMU-ILMU AGAMA


  1. Ilmu-ilmu Agama

Dalam dictionary of philosophy disebutkan pengertian agama atau religion adalah sebagai berikut:

The definitions of religions vary between two poles: total reference to supernaturalism (religion is the belief in and worship of a divine transcendent reality that creates and controls all things without deviation from its will) and total reference to humanistic ideals (religion is any attempt to construct ideals and values toward which one can enthusiastically strive and with which one can regulate one’s conduct).

Dalam definisi tersebut bahwa yang disebut dengan agama ada unsur-unsur yang penting, yaitu believe in worship, divine transcenden dan hal tersebut memang ada dalam setiap agama.

Sementara itu terdapat beragam pendapat tentang pengertian agama, baik secara etimologis maupun secara definitif. Definisi tentang agama yang mencerminkan upaya mengakomodasi berbagai definisi dan berbagai agama yang ada ditunjukkan oleh D.C. Mulder dengan membuat suatu definisi yang general (umum). D.C. Mulder mendefinisikan agama dengan pendekatan filsafati. Agama adalah suatu keyakinan tentang adanya realitas lain selain realitas ini.

Definisi Mulder hampir sama dengan definisi Iqbal. Muhammad Iqbal berpendapat, hakikat agama adalah keimanan. Pendekatan Muhammad Iqbal dalam mendefinisikan agama tidak hanya berdasar struktur eksistensial agama saja, tetapi lebih jauh agama didefinisikan berdasar struktur intelektual dan struktur etik agama, agama didefinisikan dari segi ajarannya dan implikasi-implikasi ajaran itu terhadap kehidupan manusia. Muhammad Iqbal, menggarisbawahi pendapat Whitehead tentang agama, berpendapat, “Dilihat dari ajarannya, agama adalah sistem kebenaran umum yang mempunyai akibat mengubah perangai manusia jika dipegang teguh dan dilaksanakan dengan sukarela”. Agama dipahami tidak semata-mata dalam tataran normatif, tetapi juga dalam tataran praktis fungsional. Agama dalam tataran normatif mempunyai nilai kognitif. Agama memberikan pengetahuan tentang norma-norma sebagai suatu kebenaran. Norma-norma yang diyakini sebagai suatu kebenaran itu, dalam tataran praktis, mempunyai implikasi terhadap sikap dan perilaku. Setiap orang akan bertindak berdasar prinsip-prinsip yang diyakini. Muhammad Iqbal nampaknya hendak menekankan bahwa agama mestinya diaktualisasikan dalam kehidupan.

Unsur-unsur agama berdasarkan deskripsi di atas adalah meliputi: keyakinan, realitas lain, sistem nilai, dan perilaku. Agama, dalam rumusan yang definitif, adalah suatu sistem keyakinan, bahwa ada keyakinan lain selain kenyataan ini, suatu kenyataan yang trans-empiris dan bersifat menentukan, merupakan sumber nilai; serta segala perilaku yang berdasarkan sistem keyakinan dan sistem nilai itu.

Agama, sebagai upaya yang penuh dengan pertimbangan masak dalam menetapkan prinsip terakhir dari nilai, adalah fenomena dalam kehidupan manusia. Kenyataan itu tidak dapat dibantah. Catatan-catatan tentang agama dan pengalaman-pengalaman agama adalah bukti hidup tentang eksistensi agama. Pengalaman agama, sebagai salah satu inti agama, adalah sesuatu yang wajar, sebagaimana pengalaman biasa. Terdapat tipe-tipe potensial dari kesadaran yang terletak berdekatan dengan kesadaran kita yang biasa. Jika tipe kesadaran ini membuka kemungkinan pengalaman yang memberi hidup dan pengetahuan, maka masalah kemungkinan agama sebagai suatu bentuk pengalaman yang lebih tinggi adalah sesuatu yang benar sepenuhnya.

Sebuah pertanyaan “Dapatkah agama didekati secara ilmiah?”, tampaknya, akan selalu menarik untuk dicari jawabannya. Bukanlah agama telah mempunyai ciri khas “Wahyu”, yang diyakini oleh banyak orang sebagai sesuatu yang berada di luar kemampuan akal pikiran manusia untuk menjangkaunya sehingga cukup untuk dipercayai saja? Itulah, barangkali, tanggapan yang seringkali dikemukakan oleh beberapa kalangan terhadap apa yang disebut dengan the science of religion, atau the scientific study of religion atau juga sering disebut dengan the Comparative Study of Religions, Religionswissenschaft, Muqaranatul Adyan,

Jangankan kajian yang bersifat akademik terhadap masalah ‘ultimate concern’ yang menyangkut agama, way of life, pedoman hidup, falsafah al-hayah, Weltanschauung, sedangkan kajian dalam wilayah ilmu-ilmu kealaman saja, tidak semua orang awam dapat mendalami seluk-beluk permasalahannya secara akademik. Dibutuhkan prasyarat tertentu atau training dalam jangka waktu yang tidak singkat untuk mendekati dan memahami fenomena alam secara akademik-ilmiah. Jika demikian halnya dalam wilayah ilmu-ilmu pasti-alam, apalagi dalam wilayah ilmu-ilmu humaniora, terlebih-lebih lagi dalam hal yang menyangkut realitas keberagaman manusia.

Untuk era postmodernisme, yang menurut Ernest Gellner ditandai dengan fundamentalism, relativism dan deconstructionism, kajian agama secara akademik-ilmiah semakin diperlukan orang. Kajian atau studi agama secara akademik bukan dikandung maksud untuk membedah hal-hal yang berada di luar jangkauan akal, tetapi lebih dimaksudkan untuk meneliti, memahami, menerangkan implikasi dan konsekuensi pemilikan pemikiran teologis secara khusus dan realitas keberagaman manusia secara umum.

Dalam perspektif studi agama era modern memang benih-benih studi keagamaan sebagai sebuah disiplin akademis tumbuh selama Abad Pencerahan. Apa yang biasanya disebut “Abad Pencerahan” adalah suatu periode atau gerakan tertentu dalam sejarah intelektual Eropa yang telah menebarkan konsekuensi-konsekuensi sosio-politik dan kultural ke seluruh dunia Barat modern (dan tidak bisa dimungkiri telah menjadikan Barat sebagai kekuatan hegemonik yang menguasai seluruh dunia).

Meskipun Pencerahan bukanlah sebuah gerakan atau proses yang homogen di dalam masyarakat Eropa pada abad ke-18, ada sejumlah faktor dominan dalam pemikiran intelektual pada saat itu. Peter Hamilton, dalam rangka membuat garis besar paradigma dasar pemikiran Abad Pencerahan, mencatat sepuluh faktor dominan, diantaranya:


  1. Keutamaan akal dan rasionalitas sebagai alat untuk memahami dan mengorganisir pengetahuan tentang manusia dan alam semesta.

  2. Epirisme, yakni doktrin filosofis bahwa semua pengetahuan manusia tentang dunia mula-mula berasal dari bukti empiris yang bisa diakses melalui indera manusia.

Sedangkan studi ilmu-ilmu agama dalam konteks perspektif Islam biasanya didefinisikan sebagai berikut: al-Islam wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin Sallallahu ‘alaihi wasallama lisa’adati al-dunya wa al-akhirah (Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat). Jadi, inti Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Kita percaya bahwa wahyu itu terdiri atas dua macam: wahyu yang berbentuk Al Qur’an dan wahyu yang berbentuk hadis, Sunnah nabi Muhammad saw.

Persoalan-persoalan di sekitar Al Qur’an yang dapat dijadikan sasaran penelitian itu banyak sekali. Kalau kita lihat kitab-kitab Ulumul Qur’an, banyak sekali didaftar persoalan-persoalan di sekitar Al Qur’an itu.

Tujuan studi Al Qur’an bukan mempertanyakan kebenaran Al Qur’an sebagai wahyu, tetapi misalnya mempertanyakan: bagaimana cara membaca Al Qur’an, kenapa cara membacanya begitu, berapa macam jenis bacaan itu, siapa yang menggunakan jenis-jenis bacaan tertentu, apa kaitannya dengan bacaan sebelumnya, apa sesungguhnya yang melatar belakangi lahirnya suatu ayat, apa maksud ayat itu. Maka lahirlah misalnya tafsir maudu’i yang merupakan salah satu bentuk jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas. Pertanyaan selanjutnya, kalau dahulu dipahami begitu, apakah sekarang harus dipahami sama ataukah perlu pemahaman baru.

Mengenai nasikh-mansukh, orang juga masih terus berbeda pendapat. Meskipun kita ambil pendapat bahwa ada ayat Al Qur’an yang di mansukh, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai jumlah ayat yang di mansukh. Awalnya, jumlah ayat yang di mansukh adalah 115 ayat, kemudian turun menjadi 60 ayat, sekarang turun lagi menjadi 16 ayat. Itu merupakan persoalan yang penting untuk diteliti. Menurut al-Itqen, paling kurang ada 80 topik persoalan yang perlu diteliti dalam persoalan-persoalan berkait dengan Al Qur’an.

Topik yang sudah umum adalah Ilmu Tafsir, studi tekstual dan kontekstual. Sekarang ada juga studi hermeneutika Al Qur’an. Apa hermeneutika Al Qur’an itu, dan bagaimana penerapannya dalam Islam? Istilah ini memang baru, yang kemungkinan besar belum dikenal oleh para mufassir terdahulu. Satu hal lagi juga patut diperhatikan dalam studi Al Qur’an, yaitu studi interdisipliner mengenai Al Qur’an. Sebab Al Qur’an selain berbicara mengenai keimanan, ibadah, atruan-aturan, juga berbicara tentang sebagian isyarat-isyarat ilmu pengetahuan. Maka ilmu-ilmu seperti sosiologi, botani, dan semacamnya, perlu dipelajari untuk memahami ayat-ayat Al Qur’an. Persoalan utamanya adalah, bagaimana kaitan antara ilmu Al Qur’an dengan ilmu-ilmu lain. Di sinilah dibutuhkan studi interdisipliner.

Selanjutnya, Islam sebagai wahyu yang dicerminkan dalam hadis-hadis nabi Muhammad saw. Persoalan di sekitar hadis tidak perlu dikemukakan banyak. Bagaimana dalam buku hadis pertama, Al-Muwatta’, yang dikumpulkan ternyata hanya memuat sekitar 700 hadis, termasuk sunnah sahabat. Sementara itu oleh Imam Bukhari yang datang belakangan dicatat 4.000 hadis, dan oleh Imam Muslim diatat 6.000 hadis. Lalu oleh Imam Ahmad bin Hanbal dicatat 8.500 hadis. Kenapa ada pertambahan jumlah semacam itu? Kemudian ada hadis shahih, hadis mutawatir, hadis mashur, dan hadis ahad. Wilayah-wilayah inilah antara lain yang dapat dijadikan kajian. Kita melihat, bahwa orang sekarang mempunyai perlengkapan yang lebih untuk melakukan seleksi hadis. Sebab sekarang misalnya kita memiliki komputer. Mungkin juga perlu dipikirkan pendapat Fazlur Rahman, yang menyarankan penggunaan pendekatan historical criticism terhadap hadis. Mungkin metode ini tidak dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi, tetapi sangat mngkin bisa dilakukan oleh kelompok. Kita mengetahui dalam sejarah adanya upaya pemalsuan hadis. Kita juga mengetahui bahwa Imam Bukhari, Imam Muslim atau Imam Malik lebih dahulu melakukan wudhu’ dan shalat sebelum mencatat hadisnya. Hal ini dilakukan sebagai usaha kehati-hatian. Imam Muslim dalam pengantarnya mengatakan, tadinya hadis yang dikumpulkannya ada 300.000 (tiga ratus ribu) buah. Tetapi setelah diseleksi menjadi 6.000 buah. Pertanyaannya, dari mana dan sudah meresap ke mana saja sisanya itu? Persoalan-persoalan seperti ini merupakan wilayah yang bisa dilakukan kajian-kajian hermeneutika dan historical criticism terhadap hadis. Kita dapat meneliti matan hadis, rijalul hadis, atau perawi hadis tertentu. Kita juga dapat meneliti buku-buku syarah hadis tertentu. Ilmu yang sudah baku yang membahas persoalan hadis adalah Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah. Ilmu-ilmu ini perlu terus dikembangkan.

Sama seperti kajian terhadap Al Qur’an yang membutuhkan studi interdisipliner, dalam hadis pun usaha ini perlu dilakukan. Hadis mengenai psikologi, pendidikan, iptek dan sebagainya, perlu dikelompokkan dan dibandingkan dengan hasil penemuan ilmu modern hadis mengenai idza waqa’a al-dzubabu fi inai ahadikum falyaqmishu (ketika sadar lalat terjatuh ke dalam bejanamu, maka benamkanlah), telah diterangkan misalnya dalam kitab Subulu al-Salam, bahwa sebabnya adalah di sayap kanan mengandung ini dan di sayap kiri mengandung itu. Sebetulnya penjelasan terhadap hadis ini memerlukan satu upaya untuk mencoba mengadakan studi interdisipliner terhadap hadis, barangkali memerlukan ilmu entemologi, ilmu tentang serangga.

Sebagian imam sebetulnya sudah melakukan pengelompokkan hadis tanpa harus mengumumkannya. Imam Nawawi al-Dimasyqi telah menulis buku hadis Arba’in yang singkat. Beliau juga menulis Syarah Muslim yang panjang lebar. Pertanyaannya, kenapa beliau memilih Arba’in. Secara persis tidak bisa ditemukan jawabannya, sebab beliau tidak pernah menjelaskannya secara tegas. Tetapi jawaban yang bisa diberikan dan masih bersifat kemungkinan ialah, beliau ingin mengatakan, kalau mau mencari inti-intinya, maka cukuplah yang empat puluh itu saja dulu. Ini beliau lakukan mungkin karena pertimbangan beliau selaku guru, atau mungkin juga karena pertimbangan Ilmu Hadis Riwayah dan Dirayah tadi. Pendek kata, perlu kajian lebih lanjut dalam bidang ini.

Persoalan lain, kita menerima hadis-hadis yang dicantumkan dalam kitab-kitab seperti fikih dan semacamnya sebelum hadis dibukukan oleh para perawi hadis. Pertanyaannya, adakah kesenjangan antara hadis yang masuk pada Kutuba al-Sittah dengan hadis yang terdapat dalam kitab lain yang lahir sebelumnya? Ini adalah wilayah lain yang dapat kita jadikan objek studi. Misalnya, apakah hadis-hadis dalam kitab Al-‘Umm atau Al-Risalah yang ditulis Imam Syafi’i sebelum masa para perawi hadis, imam Muslim atau imam Bukhari, telah tertampung semuanya dalam Kutubu al-Sittah. Contoh lain, hadis-hadis dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din. Sebagai karya yang datang belakangan dari masa hidup Imam Bukhari dan Muslim, dapat diteliti, apakah hadis-hadis yang ada di dalamnya seluruhnya tercantum dalam Kutubu al-Sittah atau tidak. Itu semua merupakan bagian dari pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan studi dalam bidang hadis.

Perlu ditegaskan, ternyata ada bagian dari Islam yang merupakan produk sejarah. Di atas sudah disebutkan, teologi Syi’ah adalah bagian dari wajah Islam produk sejarah. Konsep Khulafa al-Rasyidin adalah produk sejarah, karena nama ini muncul belakangan. Seluruh bangunan sejarah Islam klasik, tengah dan modern adalah produk sejarah. Orang dapat berkata, andaikata Islam tidak berhenti di Viena mungkin sejarah Islam di Eropa akan lain. Andaikata Islam terus di Spanyol, sejarahnya lain lagi. Andaikata Islam tidak bergumul dengan budaya Jawa, sejarahnya di Indonesia akan lain lagi. Andaikata Inggris tidak datang ke India, sejarah Islam di anak benua itu akan lain lagi. Demikianlah sebagian wajah Islam di berbagai belahan dunia adalah produk sejarah. Paham Mu’tazilah, kembali kepada pemikiran, sebetulnya juga produk sejarah.



Andaikata khalifah al-Mansur tidak meminta imam Malik menulis Al-Muwatta’, kitab hadis semacam itu mungkin tidak ada; karena itu, Al-Muwatta’ sebagai kumpulan hadis juga merupakan produk sejarah. Sejarah politik, ekonomi, dan sosial Islam, sejarah regional Islam di Pakistan, di Asia Tenggara, di Indonesia, di Brunai Darussalam, dan di manapun juga adalah bagian dari Islam sebagai produk sejarah. Demikian juga filsafat Islam, kalam, fikih, ushul fikih juga produk sejarah. Tasawuf, dan akhlak, sebagai ilmu, adalah produk sejarah. Akhlak sebagai nilai bersumber dari wahyu, tetapi sebagai ilmu yang disistematisir akhlak adalah produk sejarah. Kebudayaan Islam klasik, tengah, modern, arsitektur Islam, seni lukis, musik, bentuk-bentuk masjid Timur Tengah, di Jawa, bentuk pagoda dan di Cina serta kesamaannya dengan bentuk beberapa masjid di Jawa merupakan bagian kebudayaan Islam yang dapat dijadikan objek studi dan penelitian. Demikian juga seni dan metode baca Al Qur’an yang berkembang di Indonesia, adalah produk sejarah. Naskah-naskah Islam, seperti undang-undang Malaka, serat-serat keagamaan di berbagai tempat, seperti di Jawa dan luar Jawa, Maroko, Kairo dan dimana-mana adalah produk sejarah.


  1. Obyek-obyek Ilmu Agama

Orang sering pula menganalogikan keberadaan “agama” dengan keberadaan “bahasa” terutama dalam dataran ontologis-metafisis. Orang tidak dapat menolak atau menghindari kenyataan adanya pluralitas bahasa (lughah, language). Namun, kenyataan adanya keanekaragaman bahasa yang dimiliki oleh identitas kelompok manusia tidaklah dapat dijadikan argumen untuk mengajukan tuntutan bahwa bahasa “Jawa” (proper noun) lebih sempurna, lebih baik, dan seterusnya, daripada bahasa “Bugis” (proper noun). Dari segi tata bahasa, kosa kata, bahkan detail ungkapan yang digunakan oleh masing-masing bahasa memang dapat berbeda-beda sehingga mempelajari gramatika salah satu bahasa dapat saja lebih sulit daripada bahasa lain, namun dalam keanekaragaman ungkapan bahasa tersebut terjalin dan teranyam kandungan”makna” dan “fungsi” yang sama, yaitu alat komunikasi antar satu dengan lainnya. Tampak di situ dimensi universalitas dan sekaligus partikularitas dari bahasa. Yang menyatukan dan menyamakan yang satu dengan lainnya, adalah fungsi dan makna yang dikandung di belakang partikularitas yang berbeda-beda tersebut. Di tinjau dari sudut pemahaman seperti itu adalah cukup naif untuk mengklaimbahwa bahasa Indonesia adalah lebih unggul daripada bahasa Cina atau bahasa Persi lebih sempurna daripada bahasa Arab dan begitu seterusnya. Masing-masing mempunyai fungsi dan makna yang sama, hanya saja bentuk partikularitas ungkapan masing-masing bahasa memang berbeda antara yang satu dan lainnya. Dan perbedaan itu bukanlah merupakan alasan untuk menegasikan yang satu dan lainnya. Dalam banyak hal, pemilikan agama tertentu oleh seseorang atau kelompok (having a religion) dan keberagamaan manusia pada umumnya (religiousity) adalah sangat berbeda secara intelektual, meskipun antara keduanya tidak dapat dan tidak perlu dipertentangkan sama sekali. Religiositas atau keberagamaan manusia pada umumnya adalah bersifat universal, infinite (tidak terbatas, tidak tersekat-sekat), transhistoris (melewati batas-batas pagar historitas-kesejarahan manusia), namun religiositas yang begitu mendalam – abstrak, pada hakikatnya, tidak dapat dipahami dan tidak dapat di nikmati oleh manusia tanpa sepenuhnya terlibat dalam bentuk religiositas yang konkret, terbatas, tersekat, historis, terkurung oleh ruang dan waktu tertentu secara subjektif. Kedua dimensi religiositas tersebut, menurut penulis, mempunyai hubungan yang bersifat dialektis, dalam arti saling mengisi, melengkapi, memperkokoh, memanfaatkan, bahkan juga saling mengkritik dan mengontrol. Hubungan antara keduanya, barangkali, juga dapat diumpamakan seperti hubungan antara “pure sciences” (ilmu-ilmu dasar) dan “applied science” (ilmu-ilmu terapan).

Applied Science – untuk padanan having a religion yang partikularistik – seperti teknik, kedokteran, pertanian, dan sebagainya, bagaimana pun mandirinya, juga tidak dapat menegasikan apalagi sampai mengeliminir peran dan keberadaan pure science – untuk padanan religiosity – yang universal, seperti matematik, fisika, biologi. Justru pure science-lah yang menjadi landasan dasar dan topangan pokok yang tak tergoyahkan bagi keberadaan ilmu-ilmu teknik, kedokteran, pertanian, permesinan dan sebagainya. Kita tidak dapat membayangkan adanya ilmu-ilmu dalam ruang lingkup Applied sciences tanpa adanya yang menjadi landasan dasarnya. Ketidakjelasan hubungan antara wilayah pure science (religiousity) dan applied science (having a religion) seringkali menjadi pangkal tolak kerumitan dan ketidakmesraan hubungan antara umat beragama dalam era pluralitas agama, era globalisasi informasi seperti saat sekarang ini.

Memang tidak mudah membicarakan obyek ilmu-ilmu agama di era tersebut. Seperti cabang-cabang ilmu agama yang lain, menurut Eliade melihat bahwa ilmu agama yang dianutnya menggarap fakta religius, berkecimpung dalam data religius dan bersibuk-sibuk dengan fenomena serta ungkapan-ungkapan religius. Maka apa yang digarap oleh ilmu itu adalah kumpulan kegiatan, faham dan sistem religius yang sangat berbeda satu sama lain, bahkan campur aduk tidak menentu. Ilmu agama harus menggarap berbagai macam ritus, mitos, dewa-dewi, obyek-obyek suci, lambang, sistem gambaran dunia, pikiran-pikiran spekulatif, orang-orang, binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan dan tempat-tempat suci, dan lain-lain.

Fakta religius itu berasal dari berbagai sumber: sumber lisan dari para tokoh agama, catatan-catatan lepas dari para pengembara atau misionaris, hasil-hasil pemikiran yang dapat disadap dari kesusasteraan, bangunan-bagunan suci, tulisan-tulisan kuno, dan apa saja yang masih hidup dalam tradisi, semua bahan itu tersimpan dalam kehidupan religius bangsa-bangsa yang oleh Eliade disebut tradisional, primitif, arkais, etnografis, pra-modern, yaitu bangsa-bangsa di Afrika, Asia, Australia, Amerika asli dan Eropa kuno, yang masih hidup dalam kebudayaan nomadis, berburu, pengumpul makanan, agrikultural.

Fakta religius yang mesti digarap oleh ilmu agama itu merupakan fakta yang kompleks sifatnya, bukan saja karena bermacam ragam bentuknya, asal-usulnya, hakekatnya, tetapi juga karena fakta agama itu merupakan fakta manusiawi. Sifat fakta religius yang sedemikian itu merupakan tantangan besar bagi ahli ilmu agama. Sebab ilmu itu tidak hanya bertujuan mempelajari satu macam agama melainkan banyak agama. Namun dalam pikiran Eliade, semua itu harus ditangani sebab hanya dengan demikian ilmu agama akan mencapai maksudnya.

Seperti telah dikatakan di muka, ilmu agama mau menggarap fakta religius dari segi religius: mau menangkap arti dan makna yang mendasari fakta religius. Maka dalam seluruh usahanya dalam menyelidiki agama Eliade mempunyai maksud yang sama. Untuk mencapai tujuannya itu Eliade berpendapat bahwa fakta religius harus didekati dan dipelajari seperti adanya, dalam dirinya sendiri, dari seginya sendiri, sebagai bersifat religius. Meminjam penjelasan yang diberikan Dhavamony, ilmu agama yang dianut Eliade memandang fakta religius sebagai fakta yang bersifat religius dan memusatkan perhatiannya pada pengertian religius atas fakta yang diselidikinya.

Sadut pandangan ilmu-ilmu agama, sebagaimana dimengerti Eliade, menjadi jelas tampak manakala Eliade membahas masing-masing fakta religius secara khusus. Berhadapan dengan lambang, Eliade menaruh perhatian kepada lambang-lambang religius yang merupakan bagian dari pengalaman religius dan mau menggali arti religiusnya. Menghadapi berbagai macam mitos, Eliade berusaha mencari arti dan maknanya yang paling dalam. Berhadapan dengan para dukun atau shaman yang mempunyai kekuatan yang luar biasa dan mempunyai pengaruh besar di kalangan masyarakat primitif, Eliade mau mencari nilai religius dari keadaan itu. Berhadapan dengan berbagai macam upacara inisiasi, Eliade hanya memperhatikan dan menggali arti religius yang terkandung di sana.

Untuk lebih menampakkan keistimewaan sudut pandangan dari ilmu yang dianutnya, Eliade membandingkan sudut pandangan ilmunya itu dengan sudut pandangan cabang-cabang ilmu agama yang lain. Membandingkan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu agama biasa, Eliade berkata, bahwa berbeda dengan ilmu agama biasa yang hanya bersibuk-sibuk dengan mencatat fakta historis, ilmu agama mencoba mendapatkan pengertian mendalam mengenai fakta religius yang digarapnya. Ahli etnologi sudah akan puas apabila dia telah menemukan hubungan bentuk-bentuk religius tertentu dengan bentuk-bentuk kebudayaan. Sedang ahli ilmu agama masih harus bertanya apakah makna bentuk-bentuk religius itu dan apa sebab bentuk-bentuk itu tersebar di daerah yang begitu luas. Dalam mempelajari lambang dan mitos misalnya, ahli psikologi agama hanya berusaha menangkap dinamisme bahwa sadar yang ada di belakang lambang dan mitos tertentu. Sedang ahli ilmu agama harus menafsirkan lambang dan mitos itu sebagai ungkapan kultural dan religius.

Ini tidak berarti bahwa cabang-cabang ilmu agama itu tidak ada gunanya. Sama sekali tidak. Bahkan menurut Eliade, ilmu agama malah mendapatkan sumbangan yang besar daripada cabang-cabang ilmu agama itu. Satu per satu disebutnya sebagaimana masing-masing cabang ilmu agama itu menyumbang kepada sejarah ilmu-ilmu agama.

Ilmu agama yang biasa telah menyajikan data historis dari suatu agama, bagaimana agama itu telah lahir, berkembang, berubah hingga menjadi seperti keadaannya yang sekarang. Dengan demikian ahli ilmu agama tidak usah mengadakan penyelidikan historis sendiri. Sosiologi agama menolong mereka yang berkecimpung di dalam ilmu-ilmu agama dengan memberikan data sosiologis yang memudahkan para ahli ilmu agama mengenai konteks hidup dari dokumen-dokumen yang mereka selidiki dan melindungi mereka dari kesalahan membuat penafsiran secara abstrak mengenai masalah agama. Psikologi agama telah berjasa bagi ilmu-ilmu agama terutama karena psikologi agama telah membuktikan bahwa gambaran-gambaran mental dan lambang-lambang keagamaan selalu menyampaikan arti dan makna meskipun pikiran kita tidak selalu menyadari arti dan makna yang disampaikan itu. Bersandar pada hasil penemuan ilmu psikologi agama, ilmu agama dapat langsung menafsirkan arti gambaran-gambaran mental dan lambang-lambang itu tanpa usaha menanyakan masyarakat yang memiliki gambaran-gambaran itu mengerti atau tidak.

Mengingat sifat fakta religius yang kompleks di satu pihak dan tujuan serta sudut pandangan yang diambil oleh ilmu-ilmu agama di lain pihak Eliade berpendapat bahwa untuk mencapai maksudnya ilmu-ilmu agama harus mengintegrasikan hasil-hasil penyelidikan cabang-cabang ilmu agama yang lain. Untuk ini dipergunakan metode-metode yang umum dipakai oleh masing-masing cabang ilmu agama itu, tetapi juga metode yang khusus menjadi milik ilmu-ilmu agama. Karena secara metodologis, ilmu-ilmu agama bermula dengan metode komparatif, diikuti oleh metode historis, disambung oleh metode fenomenologis. Eliade memanfaatkan ketiga metode itu. Namun karena ilmu-ilmu agama juga merupakan cabang ilmu agama yang khusus, ilmu agama mempunyai metode yang khusus pula. Eliade menyebut metode yang khusus dipergunakan oleh ilmu-ilmu agama itu dengan nama metode hermeneutik.

Menurut Prof. Dr. H. Mukti Ali mengatakan bahwa dalam mengkaji ilmu-ilmu agama harus ada pendekatan sistesis. Hal ini disampaikan sebagai berikut: berpegang pada pendirian tentang keharusan adanya pendekatan sintesis, maka kami berpendapat bahwa pendekatan-pendekatan ilmiah, yaitu pendekatan-pendekatan historis, arkeologis, filologis, sosiologis, fenomenologis, tipologis, dan sebagainya, harus disertai dengan pendekatan yang khas agamn, yaitu “dogmatis”. Dengan itu maka pendekatan “religio-scientific” atau “scientific-cum-doctrinair” atau “ilmiah-agamis” harus kita pergunakan dalam mendekati agama itu.

Adapun obyek perbandingan agama adalah pengalaman agama. Pangkal tolak kita adalah asumsi bahwa pengalaman agama yang subyektif diobyektifkan dalam pelbagai macam ekspresi; dan bahwa ekspresi-ekspresi ini mempunyai struktur positif yang dapat dipelajari.

Pengalaman agama diekspresikan dalam tiga bentuk pertama, “teoretis” atau “intelektualistis”, termasuk di dalamnya teologi, kosmologi, dan antropologi; kedua: “praktis” atau “amalan”, yaitu ibadah.

Ekspresi teoretis pengalaman agama yang terutama adalah mitos, doktrin, dan dogma. Ekspresi teoretis bisa berbentuk simbol, oral, dan juga tulisan. Yang disebut belakangan ini ada yang terbilang kepada kitab suci, ada yang klasik. Untuk keperluan memahami Kitab Suci diperlukan literatur yang sifatnya menjelaskan; termasuk dalam kelompok literatur ini adalah Talmud, Zend dalam Pahlevi, juga Hadits. Di India dikenal sebagai smrti, di kalangan Protestan tulisan-tulisan Luther dan Calvin. Agama-agama besar mempunyai juga credo, yaitu suatu ungkapan pendek tentang keyakinan, “syahadat dua belas” dalam agama Kristen, dan “dua syahadat” dalam Islam, dan “shema” dalam Yahudi.




  1. Yüklə 0,53 Mb.

    Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə