Kontribusi semiotika terhadap



Yüklə 0,53 Mb.
səhifə3/6
tarix31.10.2018
ölçüsü0,53 Mb.
#77407
1   2   3   4   5   6

Ilmu Agama dan Semiotika

Seperti telah disebutkan terdahulu pendekatan yang dilakukan pendekatan historis, antropologi, sosiologi dan teologi, namun pendekatan semiotika tidak disebut. Padahal semiotika yang mengkaji tanda-tanda sangat penting disamping simbol-simbol dalam agama. Penggunaan semiotika dalam kajian ilmu-ilmu agama sangat strategis. Ayat pertama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad berisi tentang perintah untuk membaca. Dengan mengenyampingkan postulat ilmu tafsir klasik yang dikuasai oleh ulama-ulama Arab, turunnya ayat ini dapat dilihat sebagai patokan keberaksaraan dengan penekanan sebentuk religiositas dalam praktek kebudayaan. Keberaksaraaan ini pun kemudian akan melahirkan tradisi tekstual atau pencatatan-pencatatan melalui simbol-simbol yang terbaca melalui sistem komunikasi umum. Atau melalui pandangan yang lain, ayat ini membangun kerangka asumsi bahwa beraksaraan dan keterbacaan itu serta melalui proses pengaksaraan dan pembacaan, firman-firman Tuhan dapat dihadirkan ke dalam realitas kemanusiaan.

Namun ketika firman-firman Tuhan telah disistematisasi menjadi agama, dalam hal ini Islam, pranata-pranata keagamaan kerap tidak bertaut dengan kehidupan. Ketidakbertautan ini terlihat melalui berkembangnya berbagai masalah hidup yang tidak terjawab melalui nilai-nilai keagamaan. Dalam banyak kasus, agama dan keghidupan tampak berjalan sendiri-sendiri. Sementara firman-firman Tuhan menuntut adanya suatu pertautan antara spiritualitas keagamaan dengan spiritualitas – sebut saja – budaya dalam kehidupan.

Firman pertama Tuhan kepada Nabi Muhammad memperlihatkan adanya suatu sistem keberaksaraan yang menjadi hal pokok dalam Islam. Dalam hal ini dunia dipandang sebagai realitas tekstual (tektual dalam terminologi semiotika dan strukturalisme) dan dari tekstualitas itu dunia adalah sesuatu yang harus dibaca dan dari pembacaan tersebut lahirlah tafsiran atau produk pembacaan. Bukan sesuatu yang diterima begitu saja dan memandang setiap kemudaratan sebagai hukuman Tuhan. Memandang dunia sebagai sebuah himpunan teks yang di dalamnya terdiri dari berbagai teks yang saling berkait dalam membentuk suatu kontekstualitas, membuat sesuatu yang terindera melalui proses pembacaan dan penafsiran membutuhkan keluwesan dan kelenturan alat tafsirnya agar tidak menjurus pada pemaksaan dan pemapanan makna yang akhirnya hanya dikuasai oleh kelompok-kelompok yang oleh Foucault disebut sebagai Agen Kebenaran. Pandangan-pandangan lain akan berposisi sebagai liyan (the other) sehingga suara dan hasil tafsirnya dianggap tidak ada atau disebut Sartre dengan tak hadir dalam kehadiran, sehingga bidah (pembaharuan dan inovasi) kemudian dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif dan merusak. Hal ini dengan sendirinya melahirkan obyek-obyek pembacaan sebagai sebuah doktrin yang tak dapat didekatkan dengan perubahan-perubahan yang senantiasa terjadi dalam hidup.

Memperlakukan teks-teks normatif Islam dengan cara demikian pun akan menempatkan tafsir-tafsir keislaman sebagai berhala-berhala peradaban yang akan segera kadaluwarsa dan akan tersimpan di museum arkeologi. Dengan demikian, menempatkan Islam sebagai obyek tafsir adalah upaya untuk mengkontekstualkan ajaran Islam dan makna-makna serta pesan-pesan yang terkandung dalam sumber-sumber normatifnya. Dengan cara seperti inilah ajaran Islam akan menemukan manfaat bagi kehidupan manusia dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan dalam kehidupan yang maslahat. Bukan dengan berteriak-teriak perihal dosa dan pahala karena semua itu adalah wewenang dan hak prerogatif Tuhan. Tugas manusia adalah menafsirkan dan menjalankan hasil tafsiran tersebut. Dari hal tersebutkan penelitian mengenai semiotika ini – sebagai ilmu tafsir dalam sistem kebahasaan manusia – digelar.

Untuk melihat bahasa yang pada dasarnya bukan sekedar alat untuk bercakap-cakap melalui bunyi yang keluar dari pita suara ini, lahirlah Strukturalisme dalam kebahasaan yang kemudian berkembang menjadi Semiotika atau Semiologi.

Istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti “tanda” atau “seme” yang berarti penafsiran tanda. Istilah “semeion” ini belum berkembang pada awalnya berakar pada tradisi studi klasik dan skolastik atas seni retorika, poetika dan logika. Nampaknya istilah “semeion” itu diderivasikan dari istilah kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial. “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal yang lain, misalnya asap menandakan adanya api.

Semiotika adalah ilmu tanda yaitu metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Tanda-tanda terletak di mana-mana, kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Tanda dalam pengertian ini bukanlah hanya sekedar harfiah melainkan lebih luas misalnya struktur karya sastra, struktur film, bangunan, nyanyian burung, dan segala sesuatu dapat dianggap sebagai tanda dalam kehidupan manusia. Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa maka huruf, kata, frasa, klausa dan kalimat tidak pernah memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam hubungannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakannya (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Dalam penelitian sastra misalnya kerap diperhatikan hubungan antara tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan tanda dengan apa yang ditandakannya (semantik). Sebuah teks apakah itu surat cinta, makalah, iklan, cerpen, puisi, pidato presiden, poster politik, komik, kartun, serta ungkapan bahasa lainnya yang merupakan suatu tanda, dapat dilihat dalam suatu aktivitas penanda yaitu suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan objek dengan interpretasi.

Semiotika atau semiologi menurut istilah Barthes, pada prinsipnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity), memaknai hal-hal, segala sesuatu (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam arti dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, melainkan juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) adalah hubungan antara suau objek atau idea dan suatu tanda. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat treori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk non verbal teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentang tanda merujuk kepada semiotika.

Dengan tanda-tanda kita mencoba mencari keteraturan di tengah-tengah dunia yang serba beragam ini, agar setidaknya kita dapat memiliki pegangan. Menurut Pines apa yang dikerjakan semiotika adalah memberikan kejelasan kepada manusia untuk menguraikan aturan-aturan dalam suatu kehidupan dan membawa manusia pada suatu kesadaran dalam kehidupan ini. Hal ini kiranya sejalan dengan tesis dari Wittgenstein, yang mengembangkan teori “language games”, bahwa dalam kehidupan itu terdapat berbagai macam konteks kehidupan, yang masing-masing kehidupan memiliki aturannya sendiri-sendiri (rule of the game), dan aturan itu terkandung dalam ungkapan bahasa dalam kehidupan. Jadi semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi dengan menggunakan tanda (sign) dan berdasarkan pada sign system (code). Sementara Cobley dan Jansz (1999: 4), menjelaskannya bahwa semiotika adalah sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengkaji dan menganalisis tanda, yaitu bagaimana tanda-tanda dalam kehidupan manusia itu atau bagaimana sistem penandaan itu berfungsi. Peirce menjelaskan bahwa semiotika adalah sebagai bidang ilmu yang mengkaji hubungan di antara tanda, objek dan makna, sementara Carles Moris menyebutnya sebagai suatu proses tanda ketika sesuatu merupakan tanda bagi beberapa organisme.

Berdasarkan tingkatan hubungan semiotika, Nauta membedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu syntactic level (tingkatan sintaktik), semantic level (tingkatan semantik) dan pragnatic level (tingkatan pragmatik). Berdasarkan lingkup pembahasannya semiotika dibedakan atas tiga macam, yaitu semiotika murni (pure), semiotika deskriptif (descriptive) dan semiotika terapan (applied). Pure semiotic membahas tentang dasar filosofis semiotika, yaitu berkaitan dengan metabahasa, dalam arti hakikat bahasa secara universal. Pembahasan tentang hakikat bahasa sebagaimana dikembangkan oleh Saussure, bahwa bahasa adalah sebagai suatu sistem tanda, sedangkan bagi Peirce tentang hakikat tanda dalam hubungannya dengan objek, ground serta penafsir. Buku-buku yang membahas tentang semiotika murni antara lain A Theory of Semiotic karya Umberto Eco (1976), dan The Meaning of Information (1972) karya Doede Nauta. Adapun descriptive semiotic, adalah lingkup semiotika yang membahas tentang semiotika tertentu, misalnya sistem tanda tertentu atau bahasa tertentu secara desktiptif. Sedangkan applied semiotik, adalah lingkup semiotika yang membahas tentang penerapan semiotika pada bidang atau konteks tertentu, misalnya dalam kaitannya dengan sistem tanda sosial, sastra, komunikasi, periklanan dan lain sebagainya.

Berdasarkan pembahasan di atas sebenarnya perkembangan semiotika di ilhami oleh dua orang filsuf bahasa yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Dengan lain perkataan dasar ontologis dan epistemologis semiotika diletakkan oleh dua tokoh tersebut. Meskipun kedua tokoh tersebut memberikan dasar-dasar paradigmatik tentang semiotika, namun sebenarnya di antara ke dua tokoh tersebut tidak terdapat hubungan kausalitas. Kedua filsuf tersebut memang hidup sezaman, namun dalam pembahasan tentang semiotika mendasarkan pada landasan paradigmatik yang berbeda. Semiotika Peirce diwarnai oleh filsafat pragmatisme dan logika, sehingga konsep semiotikanya juga sangat dilandasi oleh dasar-dasar logika dan aspek pragmatis. Ia merancang semiotika sebagai suatu teori yang baru sama sekali, dengan konsep-konsep yang baru dan tipologi yang sangat rinci. Berbeda dengan Peirce, Saussure adalah seorang ahli linguistik, bahkan oleh kalangan linguis dunia, ia dianggap sebagai Bapak Linguistik Modern. Baginya bahasa adalah merupakan suatu sistem tanda, dan merancang konsep yang sangat canggih tentang ilmu bahasa beserta aspek terapannya. Oleh karena itu konsep Saussure tentang hakikat bahasa merupakan bahasa merupakan paradigma bagi sistem linguistik modern. Saussure menyadari bahwa sistem tanda yang disebut bahasa hanyalah salah satu di antara sistem tanda lainnya dalam kehidupan manusia. Dalam satu kalimat ia mengungkapkan gagasan, bahwa pada suatu saat harus ada satu teori tentang tanda yang mencakup semua sistem itu, dan mengusulkan dan menyebut teorinya dengan “Semiologi”.

Kenyataan bahwa di antara Saussure dan Peirce keduanya tidak saling mengenal, menunjukkan bahwa meskipun istilah semiotika (menurut Peirce) dan semiologi (menurut Saussure) berbeda, namun mengacu pada pengertian yang sama. Namun pandangan filosofisnya memiliki perbedaan, atau dengan perkataan lain memiliki kekhasannya masing-masing. Kekhasan dan perbedaan itu dikarenakan pada latar belakang filosofis yang berbeda. Peirce mendasarkan semiotika pada tradisi filsafatnya sendiri yaitu pragmatisme dan logika, sedangkan Saussure mendasarkan semiotika pada filsafat bahasanya, yang merupakan dasar epistemologis linguistik umum.

Menurut Peirce semiotika didasarkan pada logika, karena logika mempelajari bagaimana orang bernalar, sedangkan pernalaran menurut Peirce dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Kita mempunyai kemungkinan yang luas dalam keanekaragaman tanda-tanda, dan di antara tanda-tanda linguistik merupakan kategori yang penting, tetapi bukan satu-satunya kategori. Dengan mengembangkan semiotika, Peirce memusatkan perhatian pada berfungsinya tanda pada umumnya. Ia memberi tempat yang penting pada linguistik, namun bukan satu-satunya. Hal yang berlaku bagi tanda pada umumnya berlaku pula bagi tanda linguistik, tapi tidak sebaliknya. Menurut Peirce, tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tesebut. Dengan demikian sebenarnya Peirce telah menciptakan teori umum untuk tanda-tanda. Secara lebih tegas ia telah memberikan dasar-dasar yang kuat pada teori tersebut dalam tulisan yang tersebar dalam berbagai teks dan dikumpulkan dua puluh lima tahun setelah kematiannya dalam Ouvres Completes (karya lengkap). Teks-teks tersebut mengandung pengulangan dan pembetulan dan hal ini menjadi tugas penganut semiotika Peirce untuk menemukan koherensi dan menyaring hal-hal yang penting. Peirce menghendaki agar teorinya yang bersifat umum ini dapat diterapkan pada segala macam tanda, dan untuk mencapai tujuan tersebut, ia memerlukan konsep-konsep baru. Untuk melengkapi konsep itu ia menciptakan kata-kata baru yang diciptakannya sendiri.

Dalam semiotika bahasa dilihat sebagai sebuah konstruksi yang menciptakan berbagai macam pemaknaan atau pemaknaan tertentu atau konsep tertentu karena:

[…] bahasa bukanlah sesuatu yang bebas nilai dan otonom. Akan tetapi bahasa merupakan medan bagi sebuah wacana dalam melakukan interaksi, pengukuhkan dan juga penolakan. Artinya, bahasa adalah wacana representasi yang kemudian menampakkan praktek-praktek kebahasaan seperti, menulis dan bertutur. Tulisan dan tuturan hanyalah beberapa bentuk bahasa yang telah dikonkritkan yang kemudian tampak […] dalam melakukan proses pemaknaan.
Dengan demikian, mengkaji keislaman melalui semiotika akan tampak suatu rekam jejak tentang upaya manusia untuk memahami firman Tuhan yang terlebih dahulu hadir melalui proses hermeneutika antara Tuhan dan Nabi Muhammad.

Beberapa diantaranya, semiotika akan melihat bagaimana teks-teks keislaman ditafsirkan dan dari hasil tasir tersebut lahir pemaknaan yang kemudian dihimpun menjadi sebuah religiusitas keislaman. Melalui proses penafsiran itu pun, semiotika akan dapat mengkaji perihal bagaimana sebuah hasil tafsir membentuk makna-makna khusus tentang Islam, bentuk keislaman dan juga melihat bagaimana nilai-nilai keislaman yang telah ditafsirkan diterapkan dalam masyarakat. Dan kemudian melalui penafsiran atas makna-makna yang terkandung dalam obyek penelitian; keislaman, semiotika pun akan membuka peluang untuk terjadinya pembaharuan dalam penerapan nilai-nilai Islam agar aplikatif dan mendatangkan kemaslahatan terhadap kehidupan.

Dalam semiotika, firman pertama yang memerintahkan pemeluk untuk membaca akan dipahami sebagai upaya untuk memperoleh pemahaman terhadap teks-teks lain yang beredar dan hadir dalam kehidupan guna memberi nilai utuh terhadap kehidupan. Pada tahap lanjutannya, karena semiotika pun berkenaan dengan upaya penafsiran atas berbagai simbol yang muncul, akan hadir berbagai hasil tafsir yang kerap kali merupakan dialektika dari tafsir-tafsir yang lahir dari teks yang sama yang telah hadir terlebih dahulu. Dengan demikian, semiotika dalam proses kerjanya pun akan membuka terjadinya proses dialog antara berbagai paham yang hadir dalam peradaban manusia. Artinya, setiap makna dan beban makna yang telah diproduksi melalui penafsiran, dan menciptakan berbagai bentuk pertautan yang nantinya pun akan menghasilkan berbagai bentuk baru atas konsep-konsep yang telah ada.

Perintah membaca yang disampaikan Tuhan kepada Nabi Muhammad dapat disimak sebagai kompetensi semiotika untuk melakukan studi-studi keislaman atas berbagai bentuk rekam kebahasaanya. Secara hermeneutis, Tuhan “mewujudkan” firman-Nya melalui bentuk-bentuk kebahasaan untuk bercakap-cakap dengan manusia. Artinya, ketika Tuhan menurunkan wahyunya dalam bentuk Firman kepada Manusia, dalam hal ini adalah Nabi Musa, Nabi Isa dan terakhir Nabi Muhammad, firman-firman tersebut terekam melalui aktivitas kebahasaan manusia sehingga perintah membaca pada wahyu pertama yang disampaikan kepada Nabi Muhammad, semiotika masuk untuk ambil peran dalam menelusuri pemaknaan atas Iqra’ dengan apa yang ada secara kontekstual dalam dan melalui iqra’ tersebut. Dalam semiotika, iqra’ inilah yang dipandang sebagai pesan, atau dalam terminologi keagamaan, sebagai firman Tuhan yang hendak disampaikan kepada manusia.

Hal ini sangat memungkinkan dilakukan oleh semiotika karena, berdasarkan paparan ringkas di atas, semiotika akan menelusuri kaitan antara konsep (teologi-firman) dengan makna yang tercipta atas itu dan bagaimana pemaknaan tersebut muncul. Secara sistematis langkah kerja semiotika terhadap pengkajian keislaman dapat diamati melalui bagan berikut ini:


  1. Konsep/Keislaman

  2. Penanda dan Petanda/Teks-teks Keislaman

  3. Tanda/Simbol

  4. Penafsiran

  5. Pemaknaan

Uratan ini menggambarkan bahwa makna yang melekat dalam pesan/firman Tuhan melalui Al Qur’an membangun konteks sosial dan dapat termaknakan ketika konteks-konteks kemanusiaan (sejarah, kebudayaan dan aspek kebahasaan) terbuka sebagai wilayah tafsir dan tasrif. Dalam hal ini, bertolak belakang dengan positivisme pengetahuan modern, semiotika sama sekali tidak meragukan teks-teks normatif keagamaan yang dalam hal ini adalah teks keislaman yang dapat diperoleh dari Al Qur’an dan hadis. Semiotika menilik wujud kebahasaan wahyu Tuhan melalui rekam firman-firman yang hadir dalam aspek antropologis. Artinya, ketika membaca teks-teks keagamaan, semiotika memilah firman menjadi sistem pencatatan yang ada dalam Al Qur’an seperti ayat sebagai tanda, peristiwa-peristiwa teologis sebagai simbol yang merupakan konsep Al Qur’an yang merupakan sistem penanda.

Dengan demikian, semiotika tidak sekedar memandang makna-makna atas teks-teks keagamaan sebagai sesuatu yang sudah tersedia dari awal begitu teks itu terbahasakan melalui bahasa manusia. Namun yang lebih penting adalah, bagaimana makna tersebut hadir melalui konsep-konsep kebahasaan yang dijalankan oleh manusia. Maka, semiotika sebagai alat tafsir atas praktek kebahasaan memiliki peluang yang sangat luas dalam mengkaji teks-teks keagamaan baik teks normatif primer, Al Qur’an atau teks normatif sekunder, Hadis. Dalam hal ini, Abu Zaid memaparkan bahwa, jika teks-teks agama merupakan teks-teks manusiawi lantaran ia terkait dengan bahasa dan peradaban dalam rentang masa sejarah tertentu, yaitu masa formatisasi dan produksinya, maka teks-teks tersebut sudah barang tentu merupakan teks-teks historis dalam pengertian bahwa maknanya tidak terlepas dari sistem bahasa-budaya di mana teks dianggap sebagai bagian dirinya.

Semiotika, sebagaimana dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure dalam Course in General Linguistic, adalah “ilmu yang mempelajari peran tanda (sign) sebagai bagian dari kehidupan sosial”. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari struktur, jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, semiotika mempelajari di antara komponen-komponen tanda, serta relasi antara komponen-komponen tersebut dengan masyarakat penggunanya. Dalam hal ini, ada berbagai prinsip yang sangat mendasar pada pemikiran Saussure mengenai teori semiotika.

Pertama, prinsip struktural. Saussure memandang relasi tanda sebagai relasi struktural, yang di dalamnya tanda di lihat sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material, yang oleh Ronald Barthes – sebagai penerus Saussure – disebut penanda (signifier) dan sesuatu yang bersifat konseptual, yang disebut petanda (signified). Dalam kaitan inilah, semiotika yang dikembangkan Saussure biasa disebut semiotika struktural (structural semiotics), dan kecenderungan ke arah pemikiran struktur ini disebut strukturalisme (structuralism). Strukturalisme dalam semiotika tidak menaruh perhatian pada relasi kausalitas antara suatu tanda dan causa prima-nya, antara bahasa dan realitas yang direpresentasikannya, melainkan pada relasi secara total unsur-unsur yang ada di dalam sebuah sistem (bahasa). Sehingga, yang diutamakan bukanlah unsur itu sendiri, melainkan relasi di antara unsur-unsur tersebut. Apa yang disebut makna tidak dapat ditemukan sebagai bagian intrinsik dari sebuah unsur, melainkan sebagai akibat dari relasi total yang ada dengan unsur-unsur lain secara total.

Kedua, prinsip kesatuan (unitiy). Sebuah tanda merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara bidang penanda yang bersifat konkrit atau material (suara, tulisan, gambar, objek) dan bidang petanda (konsep, ide, gagasan, makna), seperti dua sisi dari selembar kertas yang tidak mungkin dipisahkan. Meskipun penanda yang abstrak dan non material tersebut bukan bagian intrinsik dari sebuah penanda, akan tetapi oleh Saussure ia dianggap hadir (present) bersama-sama penandanya yang konkrit, dan kehadirannya adalah absolut. Dengan demikian, ada kecenderungan metafisik (metaphysics) pada konsep semiotika Saussure, di mana sesuatu yang bersifat non fisik (petanda, konsep, makna, kebenaran) dianggap hadir di dalam sesuatu yang bersifat fisik (penanda).

Ketiga, prinsip konvensional (conventional). Relasi struktural antara sebuah penanda dan pertanda dalam hal ini, sangat bergantung pada apa yang disebut konvensi (convention), yaitu kesepakatan sosial tentang bahasa (tanda dan makna) di antara komunitas bahasa. Hanya karena adanya konvensi yang memungkinkan tanda memiliki dimensi sosial, dan dapat digunakan di dalam wacana komunikasi sosial. Sebab, tanpa konvensi tidak akan ada komunitas bahasa, dan tidak akan ada komunikasi. Tanda disebut konvensional, dalam pengertian, bahwa relasi antara penanda dan petandanya disepakati sebagai sebuah konvensi sosial.

Keempat, prinsip sinkronik (synchronic). Keterpakuan pada relasi struktural menempatkan semiotika struktural sebagai sebuah kecenderungan kajian sinkronik, yaitu kajian tanda sebagai sebuah sistem yang tetap di dalam konteks waktu yang dianggap konstan, stabil, dan tidak berubah. Semiotika struktural, dengan demikian, mengabaikan dinamika, perubahan, serta transformasi bahasa itu sendiri di dalam masyarakat. Penekanan semiotika struktural pada apa yang disebut Saussure langue (atau sistem bahasa), oleh beberapa pemikir dianggap telah melupakannya pada sifat berubah, dinamis, produktif, dan transformatif dari parole (penggunaan bahasa secara aktual dalam masyarakat).

Kelima, prinsip representasi (representation). Semiotika struktural dapat dilihat sebagai sebuah bentuk representasi, dalam pengertian sebuah tanda merepresentasikan suatu realitas, yang menjadi rujukan atau referensinya. Sebuah tanda bunga, misalnya, mewakili sesuatu di dalam dunia realitas, sehingga hubungan tanda dan realitas lebih bersifat mewakili, dengan perkataan lain, keberadaan tanda sangat bergantung pada keberadaan realitas yang direpresentasikannya. Realitas mendahului sebuah tanda, dan menentukan bentuk dan perwujudanya. Ketiadaan realitas berakibat logis pada ketiadaan tanda.

Keenam, prinsip kontinuitas (continuity). Ada kecenderungan pada semiotika struktural untuk melihat relasi antara sistem tanda dan penggunaannya secara sosial sebagai sebuah continuum, yang dalam konteks semiotika dapat disebut sebagai semiotic continuum, yaitu sebuah relasi waktu yang berkelanjutan dalam bahasa, yang di dalamnya berbagai tindak penggunaan bahasa selalu secara berkelanjutan mengacu pada sebuah sistem atau struktur yang tidak pernah berubah, sehingga di dalamnya tidak dimungkinkan adanya perubahan radikal pada tanda, kode, dan makna. Perubahan hanya dimungkinkan secara sangat evolutif, yaitu perubahan kecil pada berbagai elemen bahasa, sebagai akibat logis dari perubahan sosial itu sendiri.


Yüklə 0,53 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə