Kontribusi semiotika terhadap



Yüklə 0,53 Mb.
səhifə5/6
tarix31.10.2018
ölçüsü0,53 Mb.
#77407
1   2   3   4   5   6

BAB IV

TANDA
Sifat Sewenang-wenang (Arbitrary) Tanda

Fondasi lain yang diletakkan Saussure bagi kajian semiotika adalah konsepnya tentang sifat sewenang-wenang (arbitrary) tanda. Berdasarkan padangan Saussure, dalam satu sistem pertandaan, tanda merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem konvensi. Tanda ini sendiri merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari bentuk yang menandakan sesuatu yang disebutnya signifiant atau signifier atau penanda, dan gagasan atau makna yang disampaikan disebut signifie atau signified atau petanda.

Menurut Saussure, hubungan antara penanda dan petanda dalam rantai pertandaan pada umumnya bersifat sewenang-wenang, artinya, tidak ada hubungan alamiah antara bentuk atau penanda dengan makna atau petanda. Hanya kesepakatan atau konvensi sosial sajalah yang mengatur, misalnya, kata pasar itu adalah tempat untuk belanja, bukan tempat untuk tidur. Mengambil contoh lain dari hubungan sosial ibadah, dapat dijelaskan bahwa adanya konvensi sosial yang mengatur, bahwa menepuk tangan adalah tanda yang digunakan oleh makmum wanita untuk menandai kekeliruan imam dalam salat. Imamnya sendiri memahami, bahwa tepuk tangan itu adalah teguran dari makmum wanita, oleh karena berdasarkan konvensi tanda itu di satu pihak, berbeda dengan siulan, suitan, teriakan, atau peluit, dan di pihak lain, berbeda dengan tanda subhanallah yang digunakan makmum pria. Oleh sebab itulah, Saussure kemudian beragumen, bahwa masalah bahasa itu pada dasarnya tak lebih dari masalah sistem perbedaan (difference) seperti tersebut di atas.

Permasalahan yang muncul dari konsep sewenang-wenang Saussure ini adalah, bahwa bila semua bahasa mengandung – sebagai unsur dasarnya – tanda-tanda yang bersifat sewenang-wenang ini (arbitrary sign), maka ruang lingkup semiotika tentunya tidak cukup luas untuk bisa berhadapan dengan berbagai bentuk tanda yang tidak selalu bersifat sewenang-wenang, seperti yang telah dicontohkan. Pembagian tanda oleh Charles S Peirce atas ikon (icon), indeks (index) dari simbol (symbol), dalam hal ini, sangat membantu dalam memperluas lingkup kajian semiotika ini. Ikon adalah jenis tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat keserupaan atau tiruan tak sempurna, seperti pada fotografi. Pada indeks, hubungan antara penanda dan petanda ini bersifat sebab/akibat, seperti antara asap dan api. Pada simbol (lebih tepat disebut tanda sebenarnya) hubungan ini bersifat sewenang-wenang, seperti yang dimaksudkan Saussure.

Meskipun demikian, apa pun jenis tanda yang digunakan dalam sistem pertandaan, menurut semiotika struktural, ia tetap harus menyandarkan dirinya pada hubungan struktural dalam sistem langue. Barthes dalam hal ini, di dalam bukunya Mythologies, memperkuat keberadaan fondasi ini, dengan mengusulkan dua tingkatan pertandaan, yaitu yang disebutnya tingkat bahasa (language) dan tingkat mitos atau ideologis. Pada tingkat bahasa, kesatuan antara penanda dan petanda membentuk tanda. Selajutnya, pada tingkat kedua, tanda pada tingkat pertama tadi menjadi penanda baru, yang melalui kesatuannya dengan petanda baru membentuk tanda. Di sini dapat dilihat, bahwa makna pada tingkat bahasa (semiotika) bersandar pada sistem makna pada tingkat ideologis, dengan segala kode-kodenya yang telah melembaga. Hal ini bisa digambarkan lewat contoh jilbab. Pakaian jilbab pada tingkat semiotika dapat menandai kesopanan atau ketertutupan tubuh. Makna kesopanan ini, selanjutnya pada tingkat ideologis, dapat pula menandai kepatuhan, kesalehan, dan sebagainya. Dapat di sini dijelaskan, bahwa ketika seorang wanita mengenakan jilbab, ia jelas tidak sekedar berpikir tentang fungsi utilitas jilbab sebagai penutup tubuh, tetapi ada satu gagasan lebih tinggi yang menyertainya, seperti konsep kesalehan.

Roland Barthes, menandai berbagai kategori kode berdasarkan batas epistemologisnya, seperti kode gaya (gaya fashion, gaya furniture), kode citraan visual (iklan film, dan sebagainya), kode tingkah laku (upacara, etika, bahasa tubuh, dan sebagainya), kode iodeologi (agama, lembaga moral, strukrtur keluarga), kode narasi (mitos, komik).

Peirce melihat tanda (representamen) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari objek referensinya serta memahami subjek atas tanda (interpretant). “Tanda”, menurut pandangan Peirce adalah “… something which tands to somebody for something in some resprect or capacity”. Tampak pada definisi Peirce ini peran subjek (somebody) sebagai bagian tak terisahkan dari pertandaan, yang menjadi landasan bagi semiotika komunikasi. “Semiotika komunikasi”, menurut Umberto Eco dalam A Theory of Semiotics, adalah semiotika yang menekankan aspek “produksi mata” (sign production), ketimbang “sistem tanda (sign system). Sebagai sebuah “mesin produksi makna” semiotika komunikasi sangat bertumpu pada pekerjaan tanda (labor), yang memilih tanda dari bahan baku tanda-tanda yang ada dan mengkombinasikannya, dalam rangka memproduksi sebuah ekspresi bahasa memakna.

Bila Saussure dianggap mengabaikan subjek sebagai agen perubahan sistem bahasa, Peirce sebaliknya melihat subyek sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan darI proses signifikasi. Model triadic yang digunakan Peirce (representamen + Object + interpretant = sign) memperlihatkan peran besar subyek ini dalam proses transformasi bahasa. “Tanda” dalam pandangan Peirce selalu berada di dalam proses perubahan tanpa henti, yang disebut proses semiosis tak berbatas. Akan tetapi sifat kesewenangan tanda selalu ada.



BAB V

SEMIOTIKA DEKONSTRUKTIF


  1. Pembaharuan Semiotika Dekonstruktif

Sebelum membicarakan pembaharuan semiotika dekonstruktif perlu membicarakan terlebih dahulu semiotika signifikasi secara garis besar untuk mengetahui tipologi semiotika diantaranya semiotika signifikasi.

Sebagaimana dipahami oleh para ahli semiotika, bahwa terdapat dua tradisi yang besar yang mengikuti pandangan dua filsuf besar, yaitu filsuf bahasa Ferdinand de Saussure yang merupakan bapak linguistik modern dan Charles Sanders Peirce yang memiliki latar belakang filsafat pragmatisme, logika dan bahasa. Semiotika yang mengikuti tradisi Saussure lebih dikenal dengan istilah semiologi, sedangkan tradisi Peirce dipopulerkan dengan istilah semiotika. Pandangan filsafat Saussure tentang bahasa menyebutkan bahwa hakikat bahasa adalah merupakan suatu sistem tanda, oleh karena itu bahasa merupakan sarana komunikasi manusia maka bahasa juga sebagai sistem tanda dalam komunikasi manusia.

Jika bahasa sebagai sistem tanda dalam komunikasi sosial manusia maka implisit dalam pengertian tersebut terdapat sebuah relasi, bahwa bila tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial, maka tanda juga merupakan bagian dari aturan-aturan dalam kehidupan sosial yang belaku. Oleh karena itu dalam semiotika terdapat pengertian sistem tanda (sign system) dan sistem sosial (social system) yang keduanya saling berhubungan. Saussure tidak mengakui bahwa bahasa memiliki keteraturan secara alamiah, melainkan dalam bahasa terdapat konvensi sosial (social convention), dan bahasa adalah sebagai konvensi yang arbitrer. Meskipun demikian karena keterkaitannya sistem tanda bahasa dengan sistem sosial, maka konvensi juga mengatur tanda secara sosial. Hal inilah yang memungkinkan bahasa sebagai sarana komunikasi sosial yang memiliki aturan tertentu yang disepakati bersama.

Berkaitan dengan hal ini, Saussure mengusulkan dua model analisis bahasa, yaitu analisis bahasa sebagai sebuah sistem (language), dan bahasa sebagaimana ia digunakan secara nyata oleh individu-individu dalam berkomunikasi secara sosial (parole). Perbedaan antara langue dan parole ini sangat sentral dalam pemikiran bahasa Saussure, oleh karena, sebagaimana dikemukakan oleh Jonathan Culler, ia mempunyai konsekuensi lebih luas pada bidang-bidang di luar linguistik, disebabkan secara esensial ia merupakan perbedaan antara “institusi” dan “event”, antara sistem yang memungkinkan berbagai tindak tanduk sosial, dan contoh-contoh aktual tingkah laku itu sendiri, atau dengan analogi yang lebih ekstrim, antara sebuah “kitab suci” dan bagaimana setiap orang “mengamalkannya”.

Apa yang secara epistemologi disebut “semiotika signifikasi”, pada prinsipnya adalah semiotika pada tingkat langue, sementara “semiotika komunikasi”, adalah semiotika pada tingkat parole. Meskipun demikian, analogi institusi dan event, sistem vs tindakan, pedoman dan pengamalannya untuk menjelaskan dua model analisis bahasa Saussure tersebut, bisa menjebak pada kerangka pikir relasi horisontal atau relasi “salah arah”, yang dogmatis dan hegemonis antara yang pertama dan yang kedua. Akan tetapi bertentangan dengan pandangan tersebut, yang akan dijelaskan nanti – Saussure justru melihat relasi antara langue dan parole sebagai relasi yang saling menghidupkan dan saling mengembangkan.

Dalam kerangka langue, Saussure menjelaskan “tanda” sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang seperti halnya selembar kertas yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan “bentuk” atau “ekspresi”; dan bidang petanda (signified), untuk menjelaskan “konsep” atau “makna”. Dalam melihat relasi pertandaan ini, Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial (social convention), yang mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya. Relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi inilah yang disebut sebagai signifikasi (signification). Semiotika signifikasi, dengan demikian, adalah semiotika yang mempelajari relasi elemen-elemen tanda di dalam sebuah sistem, berdasarkan aturan main dan konvensi tertentu. Meskipun demikian, signifikasi tidaklah sederhana sebagai relasi antara penanda dan petanda. Sesungguhnya ada beberapa tingkat relasi tersebut, mulai dari yang sederhana sampai yang sangat kompleks. Kompleksitas relasi ini digambarkan oleh Roland Barthes lewat “tingkatan signifikasi” (staggered systems), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat. Barthes menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan, yaitu denotasi (denotation) dan konotasi (connotation). “Denotasi” adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Sementara, “konotasi” adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan tafsiran). Selain itu, Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatanya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos sebagaimana diungkapkan dalam pemahaman semiotika Barthes adalah sistem pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai suatu yang dianggap alamiah.

Dari pembahasan tersebut kita bisa melihat bila semiotika Saussure berupaya menyingkap struktur bahasa maka semiotika dekonstruktif mengkritik atas tergantungnya bahasa pada lague, pada struktur dan kode, maka semiotika menjadi sangat strategis, lalu apa semiotika dekonstruktif?

Istilah dekonstruksi seringkali diasosiasikan dengan filsuf Perancis Jacques Derrida. Istilah ini acapkali diketemukan pada pada berbagai ranah pemikiran seperti dalam filsafat dan teori kesusastraan kontemporer (lih. misalnya pada Raman Selden, 1991; Jonathan Culler, 1994; dan Philip Rice & Patricia Waugh (ed,), 1996). Lalu apa sesungguhnya yang dimaksud dengan dekonstruksi itu?

Kata “dekonstruksi” dalam bahasa Indonesia merupakan adaptasi dari kata deconstruction dalam bahasa Inggris yang juga merupakan adaptasi dari kata Perancis deconstruction. Jacques Derrida menjelaskan kata deconstruction merupakan kata bentukan dari bentuk kata dasar kerja deconstruire.

Derrida menunjukkan bahwa dekonstruksi juga memiliki kaitan yang erat dengan beberapa pemikiran dari para pemikir sebelum Derrida, ini dapat diperlihatkan dengan Derrida meletakkan dekonstruksi yang ia maksudkan dalam konteks Destruction dan Abbau menurut pengertian dari Heidegger (lebih lanjut lih. Michael Inwood, 2000). Dekonstruksi bagi Derrida bukanlah destruksi yang berarti penghancuran atau peniadaan. Derrida menggunakan kata dekonstruksi untuk menjelaskan dua gerakan yang berlangsung yakni pengacakan dan juga penataan ulang.

Derrida sendiri tidak pernah memberikan definisi dekonstruksi secara eksplisit, namun secara implisit ia menggunakannya. Ia menggunakan cara dekonstruksi ini selalu dalam suatu konteks tertentu, misalnya ketika membicarakan sesuatu hal, seperti ketika membahas permikiran seorang tokoh. Untuk membahas masalah dekonstruksi ini, beberapa ahli lalu berusaha menjelaskan dan menyimpulkan apakah yang dimaksud dengan dekonstruksi. Jonathan Culler (1994: 85) menyatakan bahwa dekonstruksi dapat dipresentasikan sebagai sebuah pendirian filosofis, untuk hal-hal yang lain seperti strategi politis dan strategi intelektual, atau sebagai suatu cara membaca atau membahas teks. Pendapat Culler mengenai hubungan antara dekonstruksi dan teori sastra, secara garis besar dapat dinyatakan bahwa perhatian utama dari dekonstruksi adalah membaca filsafat secara retorik dan membaca (teks) sastra secara filosofis.

Senada dengan pandangan di atas, dekonstruksi tidak hanya suatu cara untuik membaca hal-hal yang tersurat dalam teks, tetapi juga menyingkapkan hal-hal yang tersirat di dalam teks. Di dalam teks senantiasa konsep utama yang menekan konsep oposisinya, yang pada kenyataannya keduanya saling mengandaikan namun yang satu dianggap lebih penting dari yang lain dan membentuk suatu hirarki. Dekonstruksi berusaha menyingkapkan oposisi dan hirarki yang terjadi. Setelah oposisi yang terjadi disingkapkan, maka langkah selanjutnya adalah membalikkan dan meruntuhkan hirarki yang ada tersebut. Operasi seperti ini tentunya akan menghasilkan sesuatu yakni: ketidak-berketentuan (undecidability). Tidak ada sesuatu yang bersifat definitif.

Cara seperti ini tentu saja menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang tak terhindarkan, terutama dalam masalah pemaknaan teks. Akibat dari dekonstruksi maka apakah teks memiliki makna yang definitif? Lalu bagaimana dengan makna dari kata “dekonstruksi” itu sendiri? Jika demikian halnya maka dengan sendirinya sulit untuk mencari makna definitif dari kata “dekonstruksi”.

Sulit untuk menjelaskan dekonstruksi dengan cara konvensional, yakni memakai prosedur serta terminologi sistematis yang lazim dalam filsafat yang telah terinstitusionalisasikan. Namun beberapa berusaha menjelaskannya dengan cara yang non konvensional. Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Peter V. Zima berikut:

Pertama-tama seseorang dapat menganggap dekonstruksi sebagai sebuah usaha untuk membebaskan pemikiran kritis dari filsafat yang telah mengalami institusianalisasi dan mempertanyakan secara radikal konsep-konsep yang dominan demikian pula halnya terminologi sistematis.
Jika demikian halnya sulit dan mustahil untuk membahas dekonstruksi guna keperluan akademis, seperti sebuah tesis pada penelitian ini.

Kata “dekonstruksi” merupakan sebuah kata yang problematik. Persoalan ini dikemukakan sendiri oleh Derrida dalam suratnya kepada Tokoshiko Izutsu, seorang ahli mengenai Islam berkebangsaan Jepang dalam “Lettre a un ami japonais”. Derrida mengajukan pertanyaan: dapatkan dekonstruksi didefinisikan? Dapatkah kata itu diterjemahkan, misalnya ke dalam bahasa Jepang?

Derrida menyatakan kata “dekonstruksi” terlalu sulit untuk didefinisikan dan diterjemahkan karena beberapa hal.

Pertama, term-term apapun yang digunakan untuk menterjemahkan atau mendefinisikannya dengan menawarkan suatu makna ataupun konsep yang bersifat definitif, dengan sendirinya menjadikan hal tersebut terbuka bagi berlangsungnya suatu operasi dekonstruktif.

Kedua, Derrida menolak adanya konsep yang terlepas atau melampaui kata-kata. Ia menolak adanya suatu konsep dekonstruksi yang hadir ke dunia yang berada di luar kata-kata yang terangkum di dalam berbagai frasa ataupun kalimat. Untuk menjelaskan suatu kata dibutuhkan kata-kata yang lain, dan yang ada hanya kata-kata serta tidak ada yang berada di luar kata-kata; maka tidak ada suatu konsep yang berada di luar serta melampaui kata-kata.

Penggunaan istilah dekonstruksi dipakai oleh kaum postrukturalis yaitu Derrida, dia mengadakan pembaharuan semiotika. Apa yang tampak – dan sering dituduhkan – pada pemikiran semiotika struktural Sassurean adalah, bahwa bahasa di sini tak lebih dari layaknya sebuah sistem mekanik. Subjek harus menggunakannya berdasarkan khazanah tanda-tanda yang telah tersedia dan dengan seperangkat kode yang telah disepakati, kalau ia ingin menjadi anggota komunitas bahasa. Dengan mengambil analogi dasi sistem Syariah, subjek pengguna bahasa harus menggunakan bahasa secara taqlid, yakni mengikuti secara final kode-kode yang tersedia. Apa yang tampak absen dari pemikiran semiotika struktural adalah kemungkinan-kemungkinan pembaharuan, kreativitas, dan produktivitas dalam bahasa. Atau kalau dirumuskan dalam satu kata Syariah, absennya peluang ijtihad dalam wacana bahasa. Adalah kekosongan inilah yang ingin diisi oleh para pemikir postrukturalis, khususnya pemikir semiotika dekonstruktif, seperti Jacques Derrida dan Julia Kristeva.

Bila semiotika struktural Saussurean berupaya menyingkap struktur bahasa, semiotika dekonstruktif berupaya menyingkap keterbatasan struktur. Butir-butir krtitis yang diajukan oleh para pemikir postrukturalis adalah, bahwa bagi pendukung prostrukturalis: 1) bahasa tidak sekedar masalah perbedaan (difference), melainkan difference, 2) penanda dan petanda tidak merupakan satu kesatuan tak terpisahkan, melainkan dua hal yang terpisah, 3) petanda (makna) tidak harus diterima sebagai konvensi, ia harus dibongkar dan didekonstruksi, dan 4) hubungan antara penanda dan petanda tidak bersifat simetris atau baku, akan tetapi terbuka bagi permainan bebas – sebuah permainan yang akan membawa pada pembaharuan.

Baik Derrida maupun Kristeva mengkritik atas terlalu bergantungnya bahasa pada langue, pada struktur dan kode, sehingga setiap tanda pada akhirnya harus bermuara pada kebenaran makna tunggal, pada logos (kebenaran maha benar), termasuk pada Tuhan. Menurut Derrida, sejarah pemikiran tentang struktur di dalam tradisi filsafat Barat tak lebih dari sejarah peralihan dari satu fondasi atau pusat (center) ke fondasi atau pusat lainnya – tempat segala tanda dan segala makna menyandarkan dirinya. Fondasi atau pusat ini, bisa berupa apa yang disebut hakikat (essence), eksistensi, substansi, subjek, transendentalis, kesadaran (consciousness), manusia atau Tuhan.

Kecenderungan untuk menyandarkan tanda dan makna pada fondasi atau pusat ini disebut oleh Derrida sebagai kecenderungan logosentrisme dalam bahasa, yaitu kecenderungan pada kebenaran final, kebenaran tertinggi, kebenaran metafisika. Apa yang kemudian dilakukan Derrida adalah membongkar semua kecenderungan metafisika ini. Dengan mempeti-eskan petanda bersama sandaran langue, logos dan metafisikanya, dengan membongkar rantai hubungan yang stabil antara penanda dan petanda, Derrida melalui filsafat semiotika dekonstruktifnya memusatkan diri pada permainan penanda (signifier).

Istilah yang digunakan Derrida untuk menjelaskan permainan ini adalah gram atau jejak (trace) dan difference. Gram adalah struktur sekaligus pergerakan – atau dapat ditafsirkan sebagai struktur yang bergerak, tidak seperti struktur Saussurean yang stabil – yang tidak lagi dimungkinkan dipandang berdasarkan hubungan langue dan parole yang stabil, serta di dalamnya proses pembaharuan terus menerus dapat dilakukan. Difference adalah permainan sistematis perbedaan (difference), yakni sebuah pergerakan dari satu penanda ke penanda lainnya – dengan lenyapnya petanda – sehingga menghasilkan perbedaan-perbedaan baru.

Dengan mempeti-eskan petanda, Derrida mempeti-eskan pula konvensi-konvensi yang mengontrol bahasa, serta membuka wacana bahasa seperti layaknya sebuah hutan rimba penafsiran, yang di dalamnya bahasa tidak lagi bergantung pada konvensi langue, logos, tetapi pada tafsiran itu sendiri.

Dengan teknik pembongkaran yang mirip Derrida, Kristeva melalui semiotika revolusioner-nya mengembangkan kemungkinan bentuk-bentuk avant-garde dan subversif dalam bahasa. Kristeva melihat, bahwa semiotika struktural adalah satu wacana yang hanya menawarkan makna tunggal dan stabil, sebab dalam proses produksi tanda atau pertandaan, ia menolak kehadiran subyek sebagai agen perubahan dalam bahasa. Dalam semiotika struktural, tersirat pada pemikiran Saussure keinginannnya untuk mempertahankan stabilitas dalam bahasa. Sebaliknya, apa yang didambakan Kristeva adalah revolusi dan pembaharuan terus-menerus.

Untuk itu, Kristeva membedakan antara dua model pemaknaan dalam wacana bahasa, yaitu 1) signifikasi, yaitu permaknaan, dimana makna-makna dilembagakan dan dikontrol secara sosial lewat konvensi, dan 2) signifiance, yaitu pemaknaan yang menghasilkan makna-makna yang subvensif dan kreatif, suatu proses penciptaan yang tanpa batas dan tak terbatas, proses penyaluran kapasitas-kapasitas subjektivitas pada diri manusia melalui ungkapan bahasa. Signifiance merupakan penggalian batas terjadi dari kapasitas subjek, sekaligus pembongkaran batas terjauh konvensi sosial dalam satu komunitas bahasa. Semiotika revolusiner, menurut Kristeva adalah satu wacana pengguncangan – kalau tidak boleh disebut penghancuran – identitas-identitas makna transeden. Apa yang diinginkan melalui semiotika revolusioner bukanlah kemantapan makna dan identitas, melainkan penciptaan semacam krisis dan pengguncangan segala sesuatu yang telah melembaga secara sosial.


  1. Kontribusi Semiotika Terhadap Ilmu-ilmu Agama

Semiotika (semiotics) didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure di dalam Course in General Linguistics, sebagai “ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial”. Implisit dalam definisi Saussure adalah prinsip, bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main (rule) atau kode sosial (social code) yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif.

Saussure juga menjelaskan perbedaan antara dia model analisis dalam penelitian bahasa, yaitu analisis diakronik (diachronic) dan analisis sinkronik (synchronic). Analisis diakronik adalah analisis tentang perubahan historis bahasa, yaitu bahasa dalam dimensi waktu, perkembangan dan perubahannya. Analisis sinkronik, adalah analisis yang di dalamnya kita mengambil irisan sejarah dan mengkaji struktur bahasa hanya pada satu momen waktu tertentu saja, bukan dalam konteks perubahan historisnya. Apa yang disebut pendekatan strukturalisme (structuralism) dalam bahasa, adalah pendekatan yang melihat hanya struktur bahasa, dan mengabaikan konteks waktu, perubahan, dan sejarahnya.

Penggunaan semiotika sebagai metode pembacaan di dalam berbagai cabang keilmuan dimungkinkan, oleh karena itu kecenderungan dewasa ini untuk memandang sebagai diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, seni, dan desain sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka ia dapat pula dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan, oleh karena luasnya pengertian tanda itu sendiri, Saussure, misalnya menjelaskan tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dapat dipisahkan dari dua bidang – seperti halnya selembar kertas – yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi; dan bidang petanda (signified), untuk menjelaskan konsep atau makna.

Berkaitan dengan piramida pertandaan Saussure ini (tanda / penanda / petanda), Saussure menekankan perlunya semacam konvensi sosial (social convention) di kalangan komunitas bahasa, yang mengatur makna sebuah tanda. Satu kata mempunyai makna tertentu disebabkan adanya kesepakatan sosial di antara komunitas pengguna bahasa.

Meskipun demikian, di dalam masyarakat informasi dewasa ini terjadi perubahan mendasar tentang bagaimana tanda dan objek sebagai tanda dipandang dan digunakan. Perubahan ini disebabkan, bahwa arus pertukaran tanda (sign exchange) atau objek dewasa ini tidak lagi berpusat di dalam satu komunitas tertutup, akan tetapi, melibatkan persinggungan di antatra berbagai komunitas, kebudayaan dan idelogi. Jean Baudrillard, di dalam berbagai karyanya mencoba melihat secara kritis kompleksitas penggunaan objek dan sistem objek (the system of objects) dalam konteks nilai tandanya (sign value) di dalam masyarakat kapitalis dewasa ini, yang merupakan sebuah bidang penelitian sendiri yang sangat kompleks.

Di dalam konteks strukturalisme bahasa, tanda tidak dapat di lihat hanya secara individu, akan tetapi dalam relasi dan kombinasinya dengan tanda-tanda lainnya di dalam sebuah sistem. Analisis tanda berdasarkan sistem atau kombinasi yang lebih besar ini (kalimat, buku, kitab) melibatkan apa yang disebut aturan pengkombinasian (rule of combination), yang terdiri dari dua aksis, yaitu aksis paradignatik (paradigmatic), yaitu perbendaharaan tanda atau kata (seperti kamus), serta aksis sintagmatik (syntagmatic), yaitu cara pemilihan dan pengkombinasian tanda-tanda, berdasarkan aturan (rule) atau kode tertentu sehingga dapat menghasilkan sebuah ekspresi bermakna.

Dalam hal ini seperti telah disebutkan terdahulu bahwa bahasa adalah suatu sistem yang didalamnya terkandung parole dan langue, serta semiotika memaparkan proses tanda. Akan tetapi dikotomi semiotika antara signifikasi dan signifiance, sekaligus menggambarkan dikotomi antara langue dan parole, dan pada tingkat filosofis antara paham idealisme dan materialisme. Ada kecenderungan pada wacana bahasa di Barat untuk melihat dikotomi ini sebagai layaknya pilihan multiple choice – yakni memilih salah satu kutub ekstrim. Misalnya, demi menjunjung tinggi kreativitas dalam bahasa, maka segala bentuk konvensi dan kode-kode sosial diabaikan dan didekonstruksi, sehingga berkembanglah produksi tanda secara anarkis.

Islam, seperti yang dapat dibuktikan tidak melihat dua hal yang berseberangan ini sebagai satu dikotomi atau oposisi biner seperti pilihan ganda, melainkan dua hal yang berkaitan secara hirarkis saja. Pada tingkat hirarki yang tertinggi, ada makna-makna transendensi yang wajib diterima dan diyakini; sedangkan pada tingkat yang lebih rendah, ada makna-makna yang bisa diproduksi secara kreatif. Islam melihat dua hal ini sebagai sesuatu yang dapat dipadukan dan saling mengisi dengan harmonis.

Posisi hirarkis – tapi saling mengisi – pertandaan dan pemaknaan dalam Islam ini dapat dijelaskan sebagai berikut:


  1. Mengikuti sebagai sesuatu yang wajib konvensi atau kode yang telah ditegaskan, secara eksplisit (dalam Al Qur’an dan sunnah Nabi), menerimanya sebagai sesuatu yang transenden, dan sekaligus menjadikannya sebagai satu sistem kepercayaan atau ideologis, serta berupaya mengekspresikannya melalui sistem signifikasi bahasa (tauhid, rukun iman).

  2. Menggali kemungkinan-kemungkinan pembaharuan penanda (signifier) atau petanda (signified) melalui pintu ijtihad, untuk hal-hal yang belum ditegaskan secara eksplisit (dalam Al Qur’an dan sunnah Rasul), serta terbuka bagi interpretasi (ritual, bank, makanan, pakaian, dan sebagainya), dengan mengunakan model signifiance, sejauh tetap menguji kompatibilitasnya (tidak bertentangan) dengan kode-kode yang lebih tinggi.

Sebagai contoh dari proses pertandaan yang saling mengisi ini adalah pada dunia fashion sebagai salah satu sistem semiotika. Pakaian di dalam Islam sebagai satu tanda harus bersandar pada sistem tanda pada tingkat ideologis, berlandaskan konvensi dan kode tertinggi (kesopanan, kepatuhan), dan ini harus tercermin pada pertandaan. Akan tetapi, proses penafsiran pakaian sebagai satu sistem bahasa pada tingkat yang lebih rendah, misalnya dikaitkan dengan konteks musim, tren, mode dapat dilakukan melalui proses dekonstruksi secara bebas dari makna yang konvensional; melalui permainan dekonstruksi dan signifiance bentuk, warna, motif yang kreatif, selama ia tidak bertentangan dengan kode ideologis. Di sini pertandaan bisa bersifat sewenang-wenang. Hal yang sama dapat dilihat pada kubah sebagai tanda yang memberikan identitas Islam, padahal tanda ini bersifat konversi semata.

Dikaitkan dengan dua tingkatan pertandaan yang dikemukakan oleh Barthes, maka sistem pertandaan dalam fashion Islam dapat digambarkan sebagai berikut:



Bahasa

Penanda 1

Pakaian


Petanda 1

Elegan, dst






Ideologi

Tanda 1

Penanda 2



Petanda 2

Kesalehan, dst






Tanda 2

Konsepnya adalah, bahwa merubah tanda melalui pilihan-pilihan dan kombinasi bentuk menghasilkan keragaman makna-hangat, elegan, jiwa muda dan seterusnya, tetapi dengan tidak menanggalkan makna kesalehan di dalamnya.

Namun tidak semua tanda dapat diubah dengan cara sewenang-wenang, khususnya tanda-tanda yang berkaitan dengan rantai komunikasi manusia-Tuhan. Komunikasi manusia/Tuhan, khususnya dalam kerangka ibadah muamalah, memiliki bentuk atau gerakan ritual dan rukun tertentu, yang secara semiotika dapat dianggap sebagai seperangkat randa berdasarkan konvensi. Yang jadi masalah adalah, bahwa tidak semua tanda dalam rukun ibadah ini besifat sewenang-wenang. Di antara tanda ini ada yang bersifat ikonik atau indek. Merubah bentuk rukun ibadah yang bersifat ikonik ini akan merubah konteks dan makna secara keseluruhan. Contohnya rukun ibadah haji, melontar jumrah sebagai berikut:





Bahasa

Penanda 1

Lontar jumrah



Petanda 1

Mengusir iblis






Ideologi

Tanda 1

Penanda 2



Petanda 2

Kemuliaan/ketinggian derajat manusia






Tanda 2

Melontar jumrah adalah satu bentuk pertandaan yang merupakan tiruan ikonik dari Nabi Ibrahim a.s. yang melempari iblis yang mengganggunya. Walaupun, dengan asumsi makna yang sama, yaitu mengusir iblis, akan tetapi, penanda – dalam hal ini adalah melontar kerikil tidak bisa dengan sewenang-wenang diganti secara kreatif, misalnya dengan ketapel, panah, atau pistol, meskipun semuanya boleh jadi akan menggiring pada makna ideologis ketinggian derajat manusia. Hal yang sama juga berlaku pada rukun shalat, misalnya rukun sujud diganti hanya dengan ibadah dalam hati. Merubah tanda yang telah eksplisit kodenya ini akan merubah makna ibadah itu sendiri.

Demikian juga di maqam Ibrahim. Apa yang dikerjakan penuh makna dan tanda-tanda. Setelah tujuh kali mengelilingi Ka’bah selesailah acara thawaf. Mengapakah tujuh kali? Angka tujuh bukanlah sekedar jumlah dari penjumlahan enam dengan satu. Angka tujuh ini mengingatkan kita kepada tujuh lapisan langit. Thawaf, pengorbananmu untuk umat manusia, adalah sebuah gerakan abadi di atas jalan manusia. Itulah yang dinamakan Haji, bukan ziarah. Tidaklah thawaf ini benar-benar mencerminkan eksistensi? Tidakkah thawaf ini merupakan translasi aktual dan interpretasi yang tepat dari tauhid?

Di Maqam Ibrahim engkau harus melakukan shalat dua rakaat. Dimanakah Maqam Ibrahim itu? Maqam Ibrahim adalah sebuah batu di mana terdapat jejak kakinya. Di atas batu inilah ia berdiri untuk meletakkan batu landasan Ka’bah (Hajar-ul-Aswad). Di atas batu inilah ia berdiri ketika membangun Ka’bah. Mengertikah engkau? Tidakkah engkau merasa gentar? Berada di Maqam Ibrahim berarti mengambil-alih posisinya! Siapakah yang hendak mengambil-alih posisi Ibrahim? Engkau!

Tidaklah sulit bagi kita untuk menyadari apa yang telah dilakukan tauhid terhadap manusia. Mungkin tauhid akan membuat engkau sedemikian hinanya, seolah-olah engkau bukan apa-apa, menyangkal engkau “sebagaimana adanya”, dan “melemparkan lumpur ke mukamu”. Tetapi tauhid dapat mengangkat engkau ke tingkatan spiritualitas yang tertinggi sehingga engkau berada di sisi Allah, di dalam rumah-Nya, di atas jalan-Nya, dan menjadi anggota keluarga-Nya. Tauhid adalah akibat dari pelemparan, penyangkalan, penghinaan, dan perbudakan terhadap dirimu ketika melakukan thawaf. Allah menginginkan agar engkau bersujud kepada-Nya dan setelah itu barulah Dia berseru kepadamu: “Wahai manusia yang tulus! Wahai Sahabat! Teman-Ku, kepercayaan-Ku, penjaga amanah-Ku, dan pendengar kata-kata-Ku! Wahai tujuan Penciptaan dan Sahabat pribadi-Ku….!”.

Kira-kira satu jam yang lalu engkau berdiri di pinggiran “sungai” ini, dan memikirkan dirimu sendiri, menonton orang ramai, dan tidak bergabung dengan mereka. Ketika itu engkat adalah partikel yang tak berguna dan dimurkai Allah; ketika itu engkau hanyalah “segumpal tanah”.

Di dalam sejarah manusia Ibrahim adalah tokoh pemberontak yang menentang penyembahan berhala dan menegakkan monotheisme di atas dunia ini. Walaupun tubuhnya telah letih karena menanggung penderitaan, nabi dan pemimpin yang bertanggung jawab ini mempunyai pikiran yang tajam. Meskipun hatinya penuh dengan cinta, ia membawa kampak di tangannya! Agama memancar dari pusat kekafiran dan mata air tauhid yang bening memancar dari comberan politheisme!

Ibrahim, manusia pertama yang memerangi penyembahan berhala ini, dibesarkan di rumah Azar seorang ahli pembuat berhala untuk kaumnya. Di samping penyembahan berhala dan Nimrod, Ibrahim juga memerangi kebodohan dan penindasan. Sebagai pemimpin gerakan yang menentang semua itu ia sangat memusuhi kehinaan. Dialah sumber harapan dan dambaan; dialah manusia yang berkeyakinan teguh dan penegak tauhid yang murni.

Disamping Maqam Ibrahim, kemudian melakukan shalat thawaf di Maqam Ibrahim melakukan sa’y. Sa’y adalah suatu petanda yang merupakan tiruan ikonik Nabi Ibrahim a.s. juga merupakan sebuah pencarian dan dalam melakukan Sa’y segala bentuk dan pola lebur, dan eksistensi manusia polos sebagai pertanda, Sa’y merupakan petanda perjuangan fisik.

Setelah selesai melakukan shalat thawaf di Maqam Ibrahim, engkau harus pergi ke “Mas’a”, jalan di antara bukit-bukit Shafa dan Marwa yang panjangnya kira-kira seperempat mil. Dengan bermula dari puncak Shafa “berlari-larilah” engkau dari bukit yang satu ke bukit lainnya sebanyak tujuh kali. Ketika diantara kedua bukit tersebut engkau melalui tempat-tempat yang sama tingginya dengan Ka’bah, engkau harus melakukan “harwalah” dan setelah itu engkau berjalan seperti biasa menuju ke kaki bukit Marwa.

Sa’y adalah sebuah pencarian. Jadi ia adalah gerakan yang memiliki tujuan dan digambarkan dengan gerak berlari-lari serta bergegas-gegas. Ketika melakukan thawaf engkau berperan sebagai Hajar, dan ketika berada di Maqam Ibrahim sebagai Ibrahim. Kemudian ketika melakukan Sa’y, untuk kedua kalinya engkau berperan sebagai Hajar.

Di sinilah terlihat persatuan yang sesungguhnya karena di dalam melakukan Sa’y ini segala bentuk, pola, warna, derajat, kepribadian, batas, perbedaan, dan jarak dihancurkan. Yang kita saksikan adalah manusia-manusia yang polos. Kecuali keyakinan, kepercayaan, dan aksi tak ada sesuatupun yang menonjol. Tidak ada tokoh-tokoh yang dikemukakan. Ibrahim, Ismail, dan Hajar hanyalah sekedar nama-nama, kata-kata, dan sambol-simbol. Apapun yang ada bergerak secara terus menerus – humanitas dan spiritualitas dan di antara keduanya yang ada hanyalah disiplin. Selanjutnya, inilah yang dikatakan sebagai haji, tekad untuk melakukan gerak abadi ke suatu arah yang tertentu. Demikian pulalah pergerakan seluruh alam semesta ini.

Ketika melakukan Sa’y ini engkau berperan sebagai Hajar, seorang budak perempuan dari Ethiopia yang hina dan menghamba kepada Sarah. Itulah semua kualifikasi-kualifikasinya di dalam sistem sosial manusia yang pantheisme tetapi bukan monotheisme (tauhid). Sahaya perempuan ini mempunyai hubungan yang akrab dengan Allah. Dialah ibu dari nabi-nabi-Nya yang besar dan dialah wakil dari makhluk-makhluk-Nya yang cantik jelita. Di dalam pertunjukan haji ini, Hajar adalah pribadi yang terpenting, sedang di dalam rumah Allah ia adalah satu-satunya wanita, seorang ibu.

Allah menyuruh Hajar untuk patuh kepada-Nya dan Dia akan memelihara Hajar bersama puteranya. Allah akan menjaga mereka, memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, dan menjamin masa depan mereka. Wahai Hajar, teladan kepasrahan dan kepatuhan yang sangat teguh di dalam keyakinan dan yang bersandar kepada cinta, sesungguhnya engkau akan terlindung di bawah naungan payung-Ku! Hajar menyerah kepada kehendak Allah: ia meninggalkan puteranya di lembah ini. Demikianlah yang diperintahkan Allah dan demikianlah perintah Cinta. Tetapi Hajar yang merupakan teladan kepasrahan itu tidak “duduk berdiam diri”. Ia bangkit; sendirian ia berlari-lari dari satu bukit tandus ke bukit tandus lainnya untuk mencari air. Ia terus mencari, bergerak dan berjuang. Tekadnya adalah bersandar kepada dirinya sendiri, kepada kakinya, kepada kemauannya, dan kepada pikirannya. Hajar adalah seorang wanita yang bertanggung-jawab. Ia adalah seorang ibu yang mencinta, sendirian, mengelana, mencari, dan menanggungkan penderitaan serta kekuatiran. Tanpa pembela dan tempat berteduh ia terlunta-lunta, terasing dari masyarakat, tidak mempunyai kelas, tidak mempunyai ras, dan tidak berdaya. Tetapi ia mempunyai pengharapan! Ia adalah seorang budak yang kesepiah, seorang korban, seorang asing yang terbuang dan dibenci. Sebagai seorang manusia yang ditolak oleh sistem kapitalis-aristokrat serta dibenci oleh bangsa-bangsa, kelas-kelas, ras-ras, dan keluarga budak perempuan hitam ini hidup sebatang kara dengan anak di pelukannya. Ia berada jauh sekali dari kampung halamannya. Mengelana di padang pasir yang asing ini ia bagaikan dipenjara oleh bukit-bukit di sekelilingnya. Sendirian dan gelisah tetapi penuh harap dan tekad ia mencari air dari satu tempat ke tempat lainnya.

Sendirian … berlari ke puncak-puncak bukit (tidak duduk termangu dan menangis putus asa) untuk mencari air.


Hajar inilah promotor tradisi Ibrahim. Ia bukan seorang dewa tetapi seorang hamba yang hina. Ia tidak mengharapkan belas kasih dari “api” tetapi dari “air”. Air? Ya, air! Yang diharapkannya bukanlah hal-hal yang ghaib, hal-hal yang metafisis, cinta, kepasrahan, kepatuhan, jiwa, pandangan filosofis, sorga, dan akhirat. Tidak, bukan semua itu! Yang diharapkan adalah sederhana sekali: air untuk diminum yang memancar dari dalam tanah, dan yang benar-benar nyata! Air yang mengalir di dalam bumi inilah yang sangat kita butuhkan di dalam hidup ini. Tubuh membutuhkan air karena air tersebut akan berubah menjadi darah. Susu ibulah yang dapat memuaskan dahaga seorang bayi. Pencarian air ini melambangkan pencarian kehidupan materil di atas dunia, sedang kehidupan materil ini adalah kebutuhan nyata manusia yang menunjukkan hubungan di antara manusia dengan alam. Demikianlah cara mendapatkan sorga di atas dunia dan menikmatinya di dalam kehidupan ini.

Sa’y adalah tanda perjuangan fisik. Sa’y berarti mengerahkan tenaga di dalam pencaran air dan roti untuk menghilangkan lapar dan dahaga yang engkau tanggungkan beserta anak-anakmu. Inilah cara untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Puteramu kehausan dan sedang menantikan kedatanganmu di tengah padang pasir yang kering; oleh karena itu engkau harus menemukan mata air (telaga) agar engkau dapat memberikan air kepadanya. Sa’y adalah perjuangan mencari hal-hal yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhanmu dari alam; Sa’y adalah usaha untuk memperoleh air dari batu-batuan.

Sa’y : Benar-benar bersifat materil; kebutuhan materil; tujuan materil; dan aksi materil.

Ekonomi : Alam dan kerja

Kebutuhan : Materil dan manusia

Sangatlah mengherankan bahwa walaupun sangat berbeda namun diantara thawaf dengan Sa’y hanya ada jarak beberapa langkah atau beberapa saat, tetapi disitu dua hal yang tak dapat di pisahkan yaitu penanda dan petanda.

Thawaf : Cinta yang mutlak.

Sa’y : Akal yang mutlak.

Thawaf : Semuanya adalah “Dia”.

Sa’y : Semuanya adalah “engkau”.

Thawaf : Hanya kehendak Allah.

Sa’y : Hanya kehendakmu.

Thawaf : Bagaikan kupu-kupu yang berputar-putar menghampiri nyala lilin sehingga tubuhnya terbakar dan hangus sedang abunya diterbangkan angin – hilang di dalam cinta dan mati di dalam cahaya.

Sa’y : Bagaikan elang yang melayang-layang di atas bukit kelam dengan mengepak-ngepakkan sayapnya yang kuat untuk mencari makan dan menyambar mangsanya yang berada di antara batu-batuan. Ia menaklukkan langit dan bumi. Angin yang bertiup menerpa sayapnya sehingga ia dapat dengan leluasa terbang di angkasa. Ambisinya adalah menaklukkan langit. Di bawah rentangan sayapnya bumi terlihat sedemikian hinanya. Bumi takluk kepada tatapan matanya yang tajam serta awas.

Thawaf : Manusia yang mencintai kebenaran.

Sa’y : Manusia yang berdiri sendiri berdasarkan hal-hal yang nyata.

Thawaf : Manusia yang dimuliakan.

Sa’y : Manusia yang perkasa.

Thawaf : Cinta; ibadah; spirit, moralitas; keindahan; kebajikan; kesucian; nilai-nilai; kebenaran; agama; kesalehan; penderitaan; pengorbanan; pengabdian; kehinaan; penghambaan; persepsi; petunjuk; kepasrahan; kebesaran dan kehendak Allah; metafisika; hal-hal yang gaib, perjuangan demi orang-orang lain, demi akhirat, dan demi Allah; dan segala sesuatu yang menggerakkan hati manusia-manusia Timur serta dicintai mereka.

Sa’y : Ilmu pengetahuan, logika, kebutuhan hidup, fakta, objektif, bumi, materil, alam, hak istimewa, akal-pikiran, sains, industri, politik, keuntungan, kesenangan, ekonomi, peradaban, tubuh, kemerdekaan, kemauan, kekuasaan di atas dunia … untuk diri sendiri. Dan segala yang diperjuangkan oleh manusia-manusia Barat.

Thawaf : Hanya Allah.

Sa’y : Hanya manusia.

Thawaf : Hanya jiwa.

Sa’y : Hanya raga,

Thawaf : Duka cita di dalam “kehidupan” dan kekuatiran di dalam menghadapi “Akhirat”.

Sa’y : Suka cita di dalam “kehidupan” dan kenikmatan di atas “dunia”.

Thawaf : Mencari “dahaga”.

Sa’y : Mencari “air”.

Thawaf : Kupu-kupu.

Sa’y : Elang

Haji adalah perpaduan thawaf dengan Sa’y yang menghilangkan kontradiksi-kontradiksi yang selalu membingungkan ummat manusia di sepanjang zaman.

Yang manakah yang harus di pilih? Materialisme atau idealisme? Rasionalisme atau petunjuk Ilahi? Dunia atau akhirat? Epicureanisme atau ascetisme? Kehendak Allah atau kehendak manusia? Bersandar kepada Allah atau kepada manusia? Bersandar kepada Allah atau kepada diri sendiri?


Allah (Tuhan yang disembah Ibrahim) memberikan jawaban: Ambillah keduanya! Inilah sebuah pelajaran yang tidak disampaikan dengan kata-kata, persepsi, sains, atau filsafat tetapi dengan contoh yang berupa manusia. Contoh yang harus dipelajari oleh para filosof, saintis, dan pemikir yang mencari keyakinan dan fakta-fakta ini adalah seorang perempuan, seorang budak hitam dari Ethiopia, dan seorang Ibu: Hajar.

Karena “cinta” kepada Allah Hajar pasrah kepada kehendak-Nya yang mutlak. Dengan membawa puteranya ia pergi meninggalkan kota dan negerinya ke tempat yang jauh terpencil. Kemudian ia meniggalkan puteranya itu di lembah yang gersang dan sepi ini (Mekkah). Ia pasrah kepada Allah dan Kasih-Nya. Dengan keyakinan yang teguh ia menyangkal semua jalan pemikiran yang logis dan rasional. Inilah yang dikatakan sebagai thawaf.

Yang perlu dipahami dalam kajian ilmu-ilmu agama – khususnya kajian yang berhubungan dengan tanda dan komunikasi – adalah, bahwa memang ada tanda-tanda yang wajib diterima secara ideologis sebagai bersifat transenden; akan tetapi, ada pula tanda-tanda, atau kode yang pada kenyataannya telah diterima secara sosial sebagai satu keputusan final, sebagai taqlid, padahal sesungguhnya tanda-tanda dan kode tersebut terbuka bagi interpretasi, bagi dekonstruksi – atau istilah syiahnya yang lebih tepat adalah ijtihad.

Ijtihad dari segi etimologi berasal dari kata “juhd” yang berarti “kesungguhan” atau “kemampuan”. Ijtihada-yajtahidu-ijtihaadan, yang berarti badzlul juhdim yakni mengerahkan segenap kemampuan dan kesanggupan. Penggunaan kata “ijtahada” digunakan dalam urusan yang sangat berat atau sulit, bukan digunakan dalam suatu perbuatan yang ringan atau mudah. Istilah ijtihad tidak terdapat dalam Al Qur’an, tetapi akar katanya terdapat pada surat At-Taubah ayat 79, yakni kata “juhd” yang berarti kesanggupan. Dari kata “juhd” tersebut menjadi “jihad”, yakni kesanggupan untuk berusaha mendapatkan kebenaran dan menegakkannnya. Kesanggupan mendapatkan dan menegakkan kebenaran itu disebut jihad dalam arti umum. Hal ini telah diperintahkan oleh Allah SWT dalam berbagai ayat Al Qur’an, antara lain surat Al Furqon ayat 25. Juga tedapat dalam surat Al-Ankabut ayat 69 yang berupa janji Allah SWT untuk memberikan petunjuk-Nya bagi orang yang sungguh-sungguh melakukan jihad yang diperintahkan.

Kata “jihad” dan “ijtihad” keduanya berasal dari tiga huruf, yakni jim, ha’, dan dal, yang mengandung arti mencurahkan kemampuan atau menghilangkan kesulitan. Sebagaimana tersebut di atas, kata ijtihad bersasaran untuk mengenal pertunjuk agama Allah SWT. Kata ijtihad bergerak dalam bidang pemikiran dan penelitian. Sedangkan kata jihad bergerak dalam ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku, yang keduanya saling melengkapi. Pemikiran ijtihad boleh jadi akan hilang apabila tidak ada semangat yang kuat yang didorong oleh semangat jihad. Demikian pula jihad akan kehilangan semangat kalau tidak didorong oleh ilmu yang menyinari untuk tetap berlangsungnya melakukan jihad. Adapun jihad dalam pengertian khusus dapat juga diproyeksikan pada usaha yang disebut ijtihad, yakni menggali hukum dari sumbernya yang akan menerangi jalan jihad dalam arti luas.

Kata ijtihad juga terdapat dalam Hadis, antara lain yang artinya “apabila hakim itu memutuskan suatu perkara dengan berijtihad dan ijtihadnya benar, maka baginya dua pahala. Dan apabila memutuskan (perkara itu) dengan berijtihad dan salah (ijtihadnya), maka baginya satu pahala”. (HR Imam yang enam dan Imam Ahmad).

Di dalam Al Qur’an ada kata-kata yang disamakan dengan ijtihad yaitu kata istambath dalam bentuk mudhari’nya yakni “yastambithu”. Kata tersebut terdapat dalam surat An-Nisa ayat 83. Ayat tersebut erat hubungannya dengan isi sebelumnya yakni agar kaum muslimin mau merenungkan isi kandungan Al Qur’an sehingga dalam memahami Al Qur’an itu tidak mengalami kesalahan. Kemudian ayat 83 itu menjelaskan bahwa orang-orang yang melakukan istambath terhadap Al Qur’an dengan mengembalikan kepada prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. dan ahlul halli wal aqdi, maka dapat memahami makna yang sebenarnya dalam ayat itu.

Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa pengertian istimbath itu lebih umum daripada pengertian ijtihad. Karena kata ijtihad dalam hadis digunakan secara khusus yakni dalam pengertian hukum. Ijtihad menurut ahli ushul fiqh, adalah ijtihad yang digunakan secara khusus yakni bagi hakim dalam mendapatkan hukum penyelesaian persengketaan, kemudian pengertian itu diperluas oleh para ahli atau mujtahid dalam mendapatkan hukum.

Berdasarkan kenyataan sejarah perkembangan ilmu, pengertian ijtihad menurut ahli ushul selalu berkembang. Apabila definisi yang lain dihubungkan sampai pada pengertian yang memadai dalam pengertian yang sempurna, inipun masih terbatas pada masalah hukum saja dan ini sesuai dengan apa yang disebut hadis di atas. Perkembangan pengerttian ijtihad menurut pengamatan saya menuju pada pengertian yang lebih sempurna, antara lain dapat diikuti sebagai berikut:


  1. Menurut Iman Al-Baidhawiy (w. 483 H). “Ijtihad ialah mencurahkan kesungguhan atau kesanggupan dalam mendapatkan hukum-hukum syara’”.

  2. Menurut Al-Amidy (w. 631 H). “Ijtihad ialah mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum-hukum syara’ yang sifatnya dzanniy, dimana diri mujtahid merasa tidak mampu lagi untuk menambah kekuatannya lagi”.

  3. Menurut An-Nasafiy (w. 710 H). “Ijtihad ialah mencurahkan segenap kesungguhan atau kemampuan dalam mendapatkan hukum syara’ dengan suatu metode”.

  4. Menurut Ibnul Humam (wafat tahun 861 H). “Ijtihad ialah mencurahkan segenap kemampuan oleh para ahli hukum Islam dalam hukum syara’ yang bersifat zhanniy”.

Pengertian ijtihad yang demikian tidak mengalami perubahan berlangsung sampai abad 14 H. Ijtihad disini terbatas pada pengeluaran hukum yang langsung dari dalilnya. Sedangkan menurut implementasinya masih ada satu macam ijtihad, yakni ijtihad bir-Ra’y. Menurut Abdul Wahab Khalaf yang hidup akhir abad 14 H mengemukakan bahwa ijtihad bir-Ra’y adalah mencurahkan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum suatu kejadian yang tidak ada nashnya secara langsung dengan cara berpikir mempergunakan sarana yang telah ditunjukkan oleh syara’ untuk menetapkan hukum terhadap masalah yang tidak ada nashnya. Definisi ijtihad yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf tersebut pelaksanaanya telah dilakukan oleh para sahabat sepeninggal Rasulullah saw.

Dengan mengamati istilah itjihad tersebut di atas, dapat kita ketahui bahwa ijtihad itu dalam pelaksanaanya mengandung unsur-unsur sebagai berikut:



  1. Ada usaha sungguh-sungguh yang maksimal

  2. Usaha itu dilakukan oleh seorang yang mempunyai kualifikasi untuk melakukannya.

  3. Usaha itu dilakukan dalam masalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia.

  4. Pelaksanaan ijtihad itu dilakukan dengan menggunakan metode.

  5. Pelaksanaan ijtihad itu dilakukan terhadap masalah hukum yang dalilnya belum dapat dipahami secara tegas dan jelas, dan juga persoalan yang dalil tidak menyebutkan hukumnya baik Al Qur’an maupun as-Sunnah, sedangkan permasalahan itu memerlukan penentuan hukumnya.

Dari unsur-unsur tersebut, oleh ulama ahli ashul diartikan bahwa ijtihad itu adalah usaha yang dilakukan oleh mujtahid sampai batas maksimal dalam usaha pengambilan ketentuan hukum dari Al Qur’an atau as-Sunnah yang mengandung makna kurang jelas, sehingga dapat diambil kesimpulan hukumnya dari celah-celah makna yang tidak jelas tersebut. Mengambil makna yang sudah jelas baik dari Al Qur’an maupun as-Sunnah tidak tergolong usaha ijtihad, tetapi istimbath mengingat usaha itu merupakan usaha yang tidak berat, karena maknanya sudah transparan. Sedangkan ijtihad adalah mendapatkan hukum dari Al Qur’an maupun as-Sunnah yang kurang jelas petunjuknya, dengan cara mencari kejelasan yang dimaksud oleh Al Qur’an maupun as-Sunnah tersebut. Namun oleh sebagian ahli ushul ada yang menyamakan antara ijtihad dan istimbath itu.

Dalam proyeksi usaha pencarian hukum dengan sungguh-sungguh juga dilakukan ijtihad terhadap masalah yang tidak langsung disebut hukumnya oleh Al Qur’an maupun as-Sunnah, dimana masalah itu mengandung persamaan dengan yang ada dalam Al Qur’an dan as-Sunnah. Untuk mengambil ketentuan hukum yang demikian perlu ada usaha yang maksimal dalam mencari sebab-sebab (illah) yang dijadikan dasar penarikan hukum yang ada pada nash untuk ditarik pada hukum ynag belum jelas ketentuannya, usaha seperti ini disebut ijtihad dengan cara qiyas atau analogi.

Kesungguhan pencarian hukum juga dapat dilakukan pada penentuan hukum suatu masalah yang tidak disebutkan sama sekali hukumnya oleh nash, namun masalah itu perlu ditentukan hukumnya mengingat ketentuan itu diperlukan pemecahannya untuk menghadapi persoalan hidup sehari-hari, yakni ditempuh dengan jalan ijtihad berdasarkan maslahah. Ijtihad ini dilakukan dalam rangka menggali hukum dengan dasar tujuan penetapan hukum secara umum yakni kemaslahatan.

Adapun persoalan yang akan saya soroti dalam kesempatan ini adalah:



  1. Pengembangan pemikiran terhadap makna ijtihad.

  2. Pengembangan pemikiran sekitar perilaku ijtihad.

  3. Pengembangan pemikiran terhadap metode ijtihad, khususnya ijtihad istilahiy.

Pengembangan pemikiran makna ijtihad pada akhir-akhir ini banyak dilakukan orang yang menggunakan istilah ijtihad bukan sebagaimana pengertian ijtihad yang dikemukakan oleh ahli ushul fiqh yakni terbatas pada pada permasalahan hukum saja. Penggunaan istilah ijtihad berkembang dalam arti yang lebih luas berbeda dengan yang tersurat dalam hadis-hadis pada umumnya, yang terfokus pada masalah hukum saja dan ijtihad sendiri masuk lingkup syariah.

Bagi orang yang menggunakan istilah ijtihad dalam arti yang lebih luas itu sebenarnya tidaklah menyimpang dari segi bahasa. Karena kata ijtihad dari segi bahasa adalah usaha yang sunguh-sungguh untuk mendapatkan sesuatu (makna). Kita diperintahkan memahami ajaran Islam dari sumber pokoknya, yakni Al Qur’an dengan sungguh-sungguh. Al Qur’an mencela terhadap orang yang tidak menggunakan fikiran dalam memahami isi kandungan Al Qur’an, hal itu terdapat dalam surat An Nisa ayat 82 dan juga surat Muhammad ayat 24. Celaan yang terdapat dalam surat An Nisa ayat 82 tersebut mengandung motivasi bagi orang mukmin agar benar-benar memahami isi kandungan Al Qur’an dan meyakininya bahwa Al Qur’an itu wahyu yang berasal dari Allah SWT. Sedangkan celaan yang terdapat dalam surat Muhammad ayat 24 tersebut mengandung motivasi agar manusia membuka hati dan filkirannya.

Abdullah Ahmed An-Na’im, di dalam bukunya Toward an Islamic Reformation, melihat kemungkinan dekonstruksi ini dalam Syariah. Bagi An-Na’im, Syariah adalah aktivitas umat manusia yang bersifat total, meliputi moral, teologi, etika, aspirasi spiritual, ibadah formal, dan ritual. Akan tetapi, berdasarkan sumber-sumber yang ada, dikatakan oleh An-Na’im, bahwa Syariah seperti yang dipahami umat Islam tidaklah bersifat Illahiyah (wahyu langsung dari Allah), melainkan satu proses penafsiran dari Al Qur’an dan sunnah nabi.

Dilihat dari sudut pandang semiotika, syariah mengandung didalam aspek-aspeknya, konvensi atau kode-kode, serta seperangkat tanda dan cara pengungkapannya. Namun, konvensi tersebut dihasilkan berdasarkan penafsiran. Di dalam Islam, ada empat sumber Syariah, yaitu Al Qur’an, Sunnah Nabi, Ijma’, dan Qiyas. Empat sumber ini sekaligus menggambarkan empat tingkatan atau hirarki pemaknaan dan pertandaan. Jika dari sumber pertama, tanda belum memperlihatkan kode dan makna yang eksplisit, maka makna dan kode tersebut harus dicari pada sunnah Nabi, dan seterusnya. Ijma’, yaitu penyusunan konsensus atau kesepakatan sosial, dan qiyas, pengambilan keputusan melalui analogi, sangat bergantung pada pembongkaran dan dekonstruksi kode-kode yang telah ada dan menyusunnya kembali secara sistematis. Keduanya sangat bergantung pula pada seperangkat tanda tak eksplisit dari Al Qur’an dan sunnah Nabi, sehingga dari sini dilakukan titik berangkat bagi penafsiran baru. Bahkan, dalam Syariah, menurut An-Na’im, dimungkinkan adanya tafsiran yang bersifat arbitrer, melalu metode istihsan.

Selain pada ilmu Syariah, sumbangan semiotika yang sangat potensil dan kaya, tetapi belum banyak digali, adalah pada ilmu-ilmu dakwah, khususnya dalam kaitanya dengan peran media massa di dalamnya. Selama ini, ada satu kenyataan dan kesimpulan yang amat perlu disayangkan, bahwa semiotika, di satu pihak, telah menjadi satu metoda yang amat ampuh dalam promosi, periklanan, komoditi, dan industri tontotan kapitalisme Barat yang di dalamnya banyak disertai dengan ekses-ekses dekonstruksi moral, etika, dan budaya demi perputaran modal, di lain pihak, Islam belum berperan nyata di dalam pemanfaatannya. Dalam hal ini, Islam wajib memuat media massa ini dengan tanda, kode, dan makna, yang konvensional pada tingkat ideologis, tetapi kreatrif dan produktif pada tingkat bahasa/semiotika. Tugas cendekiawan Muslim adalah membangun tanda-tanda baru yang kreatif dan dinamis ini untuk merefleksikan pesan-pesan Al Qur’an dalam berbagai wacana media, yang pengendaliannya akhir-akhir ini tidak seimbang dan cenderung menuju titik ekstrik pengumbaran hasrat.

Seperti yang kita ketahui bahwa media massa menjadi alat untuk membentuk opini publik bahkan menjadi “agama semu” masyarakat industri dan menjadi ideologi yang dapat menyusup ke dalam media massa untuk kepentingan tertentu. Oleh karena itu dakwah harus mengkritisi mekanisme ideologi di dalam media dengan tanda-tanda tertentu, dan di sini pentingnya semiotika dalam dakwah untuk membongkar media massa yang ditunggangi oleh ideologi tertentu.

Joachim Wach dalam bukunya yang berjudul The Comperative Study of Religious, mengatakan bahwa ada empat bentuk pseudo religion (agama semu), yaitu marxisme, biologisme, racisme dan statism. Keempat tersebut mempunyai credo dan sangat mapan, yang pertama credonya adalah meterialism, yang kedua sexual drive, yang ketiga penyembahan ethnic, political, dan yang keempat glorification of the state.

Pandangan Joachim Wach tersebut kemudian ditambah oleh George Gerbner, seorang pakar di bidang media massa yang mengatakan bahwa media massa telah menjadi “agama resmi” masyarakat industri. Karena itu, muncul asumsi bahwa news as ideology dan sebagai konsekuensinya lahirlah upaya penafsiran sepihak dalam tingkah yang ekstrim juga pemisahan makna. Apalagi kalau ia membawa beban-beban ideologi yang akan mendistorsi bahasa media, dan ini menjadi persoalan yang cukup serius.

Persoalan ideologis pada media muncul ketika apa yang disampaikan media (dunia representasi), tatkala dikaitkan dengan kenyataan sosial (dunia nyata), memunculkan bebagai problematika ideologis di dalam kehidupan sosial dan budaya. Pertanyaan-pertanyaan ideologis yang sering muncul mengenai politik media adalah, misalnya: apakah media merupakan cermin atau refleksi dari realitas? Atau, apakah ia sebaliknya menjadi cermin dari separuh realitas, dan menjadi topeng separuh realitas lainnya? Apakah media melukiskan realitas atau sebaliknya mendistorsi realitas.

Ketika media dikendalikan oleh berbagai kepentingan ideologis di baliknya – maka, ketimbang menjadi cermin realitas (mirror of reality), media sering dituduh sebagai perumus realitas (definer of reality) sesuai dengan ideologi yang melandasinya. Beroperasinya ideologi di balik media, tidak dapat dipisahkan dari mekanisme ketersembunyian (invisibility) dan ketidaksadaran (unconsciousness), yang merupakan kondisi dari keberhasilan sebuah ideologi. Artinya, sebuah ideologi itu menyusup dan menanamkan pengaruhnya lewat media secara tersembunyi (tidak terlihat dan halus), dan ia merubah pandangan setiap orang secara tidak sadar. Ada berbagai mekanisme beroperasinya ideologi di dalam media, yang diantaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, mekanisme oposisi biner (binary opposition), yaitu mekanisme penciptaan distribusi makna simbolik berdasarkan sistem kategori pasangan (binary) yang bersifat polaristik dan kaku. Setiap hal digeneralisir dan diredusir sedemikian rupa, sehingga ia hanya dapat berada pada satu kutub (makna simbolik) yang ekstrim, kalau tidak pada kutub ekstrim di seberangnya.

Kedua, kecenderungan pembenaran diri sendiri semacam ini pada penguasa ketika diartikulasikan di dalam media, menciptakan sebuah media yang di dalamnya beroperasi apa yang di dalam teori politik informasi disebut sebagai kekerasan simbolik (symbolic violence), yaitu sebuah bentuk kekerasan yang halus dan tak tampak, yang menyembunyikan dibaliknya pemaksaan dominasi.

Ketiga, mekanisme de re/de dicto. De re berarti tentang suatu hal, sedangkan de dicto berarti tentang apa yang dikatakan (mengenai sesuatu hal). De re mengandung transparansi serta kejelasan fakta dan referensi, sedangkan de dicto mengandung kekaburan dan ambiguitas fakta dan referensi. Media misalnya, menciptakan de dicto, ketika ia menulis sebagai judul headline-nya, Presiden Mengeluarkan Dekrit. Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah presiden akan mengeluarkan dekrit bila situasi dianggap darurat. Tindakan yang akan dilakukan diredusir oleh media, seolah-olah tindakan tersebut telah dilakukan, semata untuk menciptakan daya tarik dan provokasi terhadap pembaca. Distorsi dan pengaburan makna semacam itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari media dewasa ini, yang terperangkap di dalam paradigma provokasi (kapitalistik), semata untuk mempertahankan rating atau oplah.

Keempat, disfemisme di dalam bahasa di pers dikenal istilah disfemisme, yaitu peningkatan efek simbolik (juga psikologis) sebuah fakta, lewat tanda atau bahasa hiperbolis, sehingga efek tanda jauh lebih besar dari fakta yang sebenarnya. Meskipun demikian, ada perbedaan antara tanda superlatif dan disfemisme. Bila disfemisme melebih-lebihkan fakta pada batas tertentu, tanda superlatif menarik fakta ke arah titik terjauh yang melampaui batas, atau titik paling ekstrim, lewat penggunaan tanda dan unsur visual lainnya yang melewati batas, yang dibantu oleh kemampuan teknologi pencitraan dan imagologi dalam merekayasa citraan, sehingga makna sebuah peristiwa menjadi sangat ekstrim. Tanda-tanda superlatif semacam ini dengan mudah dapat ditemukan di dalam film-film perang atau action Hollywood, yang di dalamnya hasrat kekerasan, gairah seks, efek ketakutan, dan rona kematian ditarik ke arah perwujudan simbolik yang paling ekstrim, sehingga semuanya melampaui apa yang dapat dibayangkan akal sehat atau yang mungkin ada di dunia realitas. Tanda superlatif, berdasarkan pemikiran Baudrillard, adalah tanda yang murni hiper-pure hyper-signs.

Kelima, tanda ekstrim (superlative sign). Tanda ekstrim adalah tanda yang ditampilkan dalam sebuah model pertandaan yang ekstrim (hyper-signification), khususnya lewat efek-efek modulasi pertandaan dan makna (modulation effect) yang jauh lebih besar ketimbang apa yang ada di dalam realitas sendiri, semacam intensifikasi realitas, peningkatan efek, ekstrimitas makna (extremity). Tanda [A”] digunakan untuk menjelaskan realitas yang sesungguhnya tak lebih dari [A]. Ada efek pelipatgandaan (multiplicity) pada sebuah tanda – semacam multiplikasi efek – yang menghasilkan sebuah ungkapan hiperbolis atau superlatif.

Bertolak dari itu, akhirnya perlu kita telaah bersama mengenai asumsi news as ideology, dan sebagai konsekuensinya lahirlah upaya penafsiran sepihak – dalam tingkat yang ekstrem juga pemiskinan makna – pada realitas sosial. Dengan makna baru tadi ada upaya untuk mengkonsepsikan realitas secara simplistis lewat kehadiran media (tidak hanya berupa media massa dalam pengertian yang konvensional tapi justru merembes ke seluruh ekspresi manusia). Maka, tidak jarang, “wajah” yang kita saksikan sesungguhnya hanyalah surface bukan substance. Ini kelemahan ketika sesuatu dimediakan, apalagi kalau ia membawa beban-beban ideologis yang akan mendistorsi bahasa media.

Ketika Marshall McLuhann melontarkan ide spektakulernya, medium is the message, ia disinyalir telah menyulut pemahaman radikal menyoroti kehadiran media. Dalam pengertian yang sering bersifat ideologis ini, media hadir tidak hanya sebagai penyalir ampuh muatan-muatan ideologis. Dengan kata lain, media tidak hanya menjadi transmiter ideologi, tapi sekaligus telah menjelma menjadi ideologi itu sendiri (medium means ideology).

Karena media akan dianggap sebagai ancaman, bilamana logika pesan media mesti tunduk kepada sekelompok orang yang disinyalir akan mengendalikan pikiran orang dalam memahami realitas. Singkatnya, dengan beban-beban ideologis tadi, realitas yang tampil di media acapkali bukan menggambarkan otentisitas dunia, tapi justru kepalsuan. Padahal kita tahu, atmosfer budaya yang memuat realitas yang palsu ini seringkali membawa luka sejarah sepanjang generasi.

Konsekuensi selanjutnya, pikiran manusia mengenai realitas yang telah terdistorsi tadi tidak pernah menyentuh alam bawah sadar mereka. Pesan-pesan media yang mereka konsumsi telah mengalami “sterilisasi” melalui konvensi-konvensi kognitif yang mentransformasikan seluruh ide ambisius pemilik atau pengendali media dalam kemasan paket industrialisasi media. Logika tekno-rasionalitas mulai meresapi pikiran orang-orang yang mungkin sehari-hari kurang memiliki saluran komunikasi alternatif yang dapat mengartikulasikan pikirannya dalam memahami realitas yang telah terdistorsi tadi.

Logika industrialisasi itulah – menurut istilah yang dilontarkan penyair dan filosof Jerman yang mewakili tradisi kritis, Hans Magnus Enzensberger (1962) – yang menandakan era “industrialisasi pikiran”. Media akhirnya tidak lebih sebagai tools of the mind-making industry, suatu gerakan berdasa-muka yang ditandai meningkatnya cara hidup yang diawasi dengan amat ketat (regimentation) dan eksploitasi pikiran manusia atau yang disebut Enzensberger sebagai immaterial exploitation. Immaterial exploitation telah menciptakan realitas-realitas antifisial di dalam media yang disebut hiperealitas.

Istilah hiperealitas media (hyper-reality of media) digunakan oleh Jean Baudrillard untuk menjelaskan perekayasaan (dalam pengertian distorsi) makna di dalam media. Hiperealitas media menciptakan satu kondisi sedemikian rupa, sehingga di dalamnya kesemuan dianggap lebih nyata daripada kenyataan; kepalsuan dianggap lebih benar daripada kebenaan; isu lebih dipercaya ketimbang informasi; rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Kita tidak dapat lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara isu dan realitas.

Selain hubungan semiotika dalam ilmu dakwah khususnya media massa, semiotika memberikan kontribusi terhadap sufisme, khususnya estetika kesufian. Sufisme yang oleh Annemarie Schemmel disebut mystical dimension of Islam didalamnya kaya dengan nuansa simbol dan tanda, sastra sebagai ungkapan bahasa sebagai contoh estetika kesufian dengan judul “Tuhan begitu dekat” karya Abdul Hadi WM. Beliau menggunakan semiotika dalam analisisnya. Faruk menganalisis sajak tersebut dengan menggunakan pendekatan semiotika.

Kata semiotika dalam bahasa Indonesia diturunkan dari bahasa Inggris: semiotics, yang berasal dari bahasa Yunani: semeion, yang berarti tanda. Nama lain semiotika adalah semiologi. Para penutur bahasa menjadi istilah yang umum. Istilah semiotika ini menjadi populer berkat buah pemikiran seorang filsuf dan ahli logika Charles Sanders Peirce. Ia menyamakan pengertian semiotika dengan logika. Peirce mengembangkan semiotika dalam hubungannya dengan filsafat pragmatisme. Sedangkan di lingkungan kebudayaan Perancis dan para penutur bangsa Eropa uang lain, nama semiologi lebih dikenal dan dipahaminya. Hal ini berkat jasa baik “Bapak Semiotika Modern”, Ferdinan de Saussure, yang berhasil meletakkan dasar-dasar semoiologi kebahasaan dan psikologi sosial bagi perkembangan ilmu semiotika.

Dalam pertumbuhan selanjutnya, semiotika dikembangkan menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri, antara lain, Charles Morris, Roman Jakobson, Jonathan Culler, Roland Barthes, Umberto Eco, Jurij J Lotman, dan Michael Riffaterre. Kemudian, teori semiotika yang akan diacu dalam analisis sajak “Tuhan, Kita Begitu Dekat” adalah teori semiotika yang dikembangkan oleh Michael Riffaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978). Ia menganggap bahwa puisi adalah sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa. Sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa, puisi berbicara mengenai sesuai hal dengan maksud yang lain. Artinya, puisi berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang digunakan pun hal berbeda dari bahasa sehari-hari. Laras bahasa puisi tersebut disebabkan oleh penggubahan (displacing) makna, penciptaan (creating) makna baru, dan perusakan (distorting) makna kebahasaan sehari-hari. Bahasa sehari-hari itu bersifat mimetik sehingga membangun arti (meaning) yang beraneka ragam dan menampakan adanya keterpecahan atau ketakgramatikalan (ungramatikalitas). Sebaliknya, bahasa puisi itu bersifat semiotik sehingga membangun makna (significance) tunggal dan memusat.

Sebagai wujud ekspresi kebahasaan, puisi hanya dapat dipahami maknanya apabila pembacanya menguasai konvensi bahasa. Pertama kali yang harus dimiliki pembaca adalah mengiasai kode bahasa puisi yang dibacanya. Namun, pembacaan atas dasar konvensi bahasa itu, yang oleh Riffaterre disebut dengan pembacaan heuristik (1978: 5), tidaklah mencukupi untuk menagami makna yang sesungguhnya sebuah puisi. Dari pembacaan heuristik itu selanjutnya pembaca harus bergerak lebih jauh ke pembacaan hermeneutik (1978: 6). Pembacaan hermeneutik ini mendasarkan pada konvensi sastra dan budaya. Artinya, dari pemahaman makna kebahasaan yang masih beraneka ragam dan menampakkan adanya keterpecahan (semiotika tataran pertama), pembaca puisi harus bergerak lebih jauh untuk memperoleh kesatuan makna puisi secara menyeluruh (semiotika tataran kedua). Gerak pembacaan puisi lebih jauh itu dimungkinkan karena pembaca di dorong oleh adanya hambatan dalam pembacaan semiotika pada tataran yang pertama tersebut. Dalam pembacaan semiotika tataran pertama yang bertumpu pada tahap pembacaan heuristik itu banyak ditemukan arti yang beraneka ragam, keterpecahan makna, dan tampak berserak-serak tak beraturan atau ungramatikalitas (ketakgramatikalan). Itulah sebabnya pembacaan harus dilakukan dalam dua tataran.

Selanjutnya, Riffaterre menjelaskan bahwa memahami puisi itu seperti sebuah donat. Sesuatu yang hadir secara tekstual adalah daging donatnya. Sedangkan sesuatu yang tidak hadir secara tekstual adalah ruang kosong berbentuk bundar yang berada di tengahnya dan sekaligus menopang dan membentuk daging donat menjadi donat. Adapun ruang kosong yang tidak hadir secara tekstual itu menentukan sebuah puisi menjadi puisi. Ruang kosong seperti itu oleh Riffaterre disebut sebagai hipogram. Hipogran ini oleh Riffaterre dibedakan atas dua jenis, yaitu hipogram potensial (yang terkandung dalam arti kias atau majas bahasa sehari-hari, seperti presoposisi dan sistem deskriptif) dan hipogram aktual (yang berupa teks-teks atau wacana yang sudah ada sebelumnya yang dapat menjadi referensi atau acuan puisi tersebut).

Demikian juga ungkapan agama cinta oleh Ibnu Arabi. Agama cinta atau agama universal itu nampak pada ungkapan syair Ibnu al-‘Arabi yang dikutip oleh Nicholson halaman 05 sebagai berikut:

“My heart has become capable of every form; it is a pasture for gazalles and a convent for Christian monks.

And a temple for idols and the pilgrim’s Ka’ba, and the tables of the Tora and the book of the Koran.

I follow the religion of Love, whichever way bis camels take. My religion and my faith is the true religion.”


“Hatiku telah mampu untuk setiap bentuk; dialah padang bagi kijang dan sebuah biara bagi nasrani, dan dialah pura bagi berhala dan Ka’ba bagi berhaji.

Dia adalah lembar dari taurat dan kitab Aur’an yang suci.

Aku mengikuti agama cinta, kemanapun onta-onta cinta itu berangkat ke sana jualah agama dan imanku melekat.
Memang kaum sufi dalam kaitannya dengan semiotika sering menggunakan ayat Al Qur’an surat 41 ayat 53: “akan kami tunjukkan pada mereka ayat-ayat Kami di cakrawala (afaq = sfera-sfera lingkungan) dan di dalam diri-diri mereka (anfusibim = komponen-komponen ekosistem) sehingga jelas bagi mereka kebenaran itu”. Seandainya konsep agama yang dibangun oleh Ibnu al-‘Arabi hanya berhenti pada dataran terungkapnya Tuhan Transenden (Allah al-Munazzab), Yang Satu lagi Tunggal (al-Ahad al-Wahid); berhenti pada dataran tersingkapnya tabir ilahiyah yang terbungkus dalam “kotak” ke-Dia-annya (Das Ding an sich, buwayya) ke dalam berbagai nama ketuhanan secara beraneka ragam, yang terdapat pada pelbagai agama atau bentuk kepercayaan terhadap-Nya. Asumsi ini memungkinkan hardirnya paradigma kesatuan asasi agama dalam keanekaan yang banyak di kecam oleh kaum revivalis atau kaum fundamentalis masih perlu kita kritisi.

Berdasarkan studi di bidang haji, syariah dan dakwah serta sufisme, tersebut diatas dapat disimpulkan, bahwa semiotika pada kenyataannya dapat memberikan sumbangan yang cukup kaya dalam upaya menyoroti fenomena-fenomena keilmuan, khususnya ilmu-ilmu agama yang berkaitan dengan komunikasi dan pertandan. Islam mementingkan, baik sisi konvensi, kode dan stabilitas makna-makna, tapi sekaligus sisi-sisi kreativitas dan produktivitas, melalui perpadua keduanya, sehingga mengindarkan diri dari bersikap ekstrim dan anarkis dalam bahasa. Di dalam Islam, bahasa itu wajib bersifat konvensional untuk tanda dan kode-kode yang telah eksplisit dalam Al Qur’an dan sunnah Nabi, akan tetapi sekaligus wajib bersifat kreatif dan produktif lewat pintu ijtihad, untuk tanda dan kode-kode yang belum eksplisit.



Yüklə 0,53 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə