Kontribusi semiotika terhadap



Yüklə 0,53 Mb.
səhifə4/6
tarix31.10.2018
ölçüsü0,53 Mb.
#77407
1   2   3   4   5   6

BAB III

STRUKTURALISME
Sebelum membicarakan sumbangan semiotika terhadap ilmu-ilmu agama, perlu kiranya disoroti terlebih dahulu pertentangan filosofis yang melatarbelakangi perbincangan semiotika, khususnya yang berkaitan dengan hubungan antara tanda, makna dan realitas, yaitu antara paham materialisme dan idealisme serta bagaimana kaitannya dengan konsep strukturalisme. Dan ini sangat penting karena dua pandangan filosofis ini akan sangat jelas terhadap reaksi strukturalisme terhadap pemikiran manusia, maka tidak heran bahwa strukturalisme termasuk anti-humanisme dan eksistensialisme serta fenomenologi. Untuk itu akan dikenakan dua pandangan filosofis materialisme dan idealisme kemudian akan dilanjutkan dikotomi antara strukturalisme dengan dua pandangan filosofis yaitu materialisme dan idealisme.


  1. Materialisme

Paham materialisme sebenarnya sudah sangat lama timbul dari pikiran Epikurus (341-270 SM) yang mencoba mencari pokok ciptaan segala yang ada dengan mengatakan bahwa yang ada hanya benda semata-mata. Lebih jelas lagi, teori metafisika dari aliran ini menyatakan bahwa realitas pokok itu tersusun dari substansi yang dinamakan “materi” dan mempunyai sifat-sifat sekunder. Oleh karena itu, ajaran etik paham ini hanya mementingkan kebahagiaan yang bersifat fisik semata-mata.

Meskipun paham materialisme sudah ada dalam pemikiran Epikurus, akan tetapi sebelum dia, sudah ada benih-benih yang ada dalam pandangan beberapa filosof sebelumnya, misalnya Thales yang menganggap segala pokok kenyataan itu adalah air; Anaximandros (610-547 SM) dengan paham appiron; Anaximenes (585-528 SM) yang berkeyakinan bahwa segala pokok penciptaan dari hakikat alam kosmos tak lain adalah hawa; dan Demokretos (450-360 SM) dengan teori atomnya.

Demokretos menjelaskan kejadian dunia menurut materialisme yang lebih rinci. Ia berkata bahwa dunia ini terdiri dari massa atom yang tak dapat dibagi lagi dan tak dapat dipisahkan lagi; semuanya mempunyai kualitas yang sama, hanya berbeda dalam bentuk, bangunan, susunan, besar kecil dan letak tempat dalam cakrawala.

Konsekuensi dari padangan-pandangan tersebut, jika diterapkan pada manusia akan berarti, bahwa jiwa, raga, kemauan dan kehendak manusia, serta hidup dan matinya, semuanya adalah proses kebendaan. Tiap persoalan, benda adalah hal yang primer bagi keyakinan aliran-aliran tersebut, yaitu segala sesuatu harus dikembalikan kepada benda. Pikiran, gerak-gerik manusia, cinta, rasa keadilan, dan seluruh ungkapan manusia semuanya dipecahkan dalam proses-proses benda atau materi. Dan manusia menjadu suatu hal yang tak lebih daripada sekedar mesin.

Pandangan yang terakhir ini nampak jelas diungkapkan oleh JO de la Mettrie (1709-1715 M). Dia adalah seorang dokter Perancis, dalam bukunya yang berjudul L’homne machine (Manusia sebagai mesin), menggambarkan manusia dengan sebuah mesin, dan jiwanya disamakan saja dengan fungsi-fungsi mekanis, namun mesin itu lain daripada yang lain, karena mesin manusia dapat memutar sendiri dan dapat menggerakkan sendiri. Dia membuktikan pahamnya dengan memperhatikan jantung seekor katak yang hidup di luar badannya, dan benda itu bergerak sendiri, khususnya otak, dan itu sifat dari benda.

Pandangan yang menganggap manusia itu pada hakikatnya adalah benda, mempunyai pengaruh besar sekali pada sekitar abad ke-18 dan ke-19. Feuerbach, seorang bangsa Jerman yang hidup sekitar 1804-1872 M, adalah tokoh materialisme yang besar. Dia – berbeda dengan idealisme Hegel – menempatkan manusia sebagai sesuatu yang konkret dan bukan hasil perkembangan dari ide semata-mata. Gambaran manusia itu pun semata-mata proses dari benda yang mekanis sifatnya, dan jiwa pun tak lain adalah cetusan dari jasmani. Dia tak menyangkal adanya pengalaman manusia yang berpikir secara rohani, akan tetapi pengalaman itu dipandang olehnya sebagai yang subyektif mengenai hidup sehari-hari. Dan bila diungkap secara ilmu dan filsafat, ternyata menurut Feuerbach, pengalaman yang demikian itu hanya merupakan proses kejadian organis dalam otak. Jadi kesimpulannya, hanya materi yang nyata.

Sebagaimana diketahui, baik Feuerbach ataupun Hegel, tidak mengakui adanya Tuhan. Feuerbach, misalnya, memandang misteri manusia melulu melalui psikologi dengan anggapan yang dinamakan “Tuhan”. Dan melihat betapa sifat egoisnya manusia dalam menjelmakan keinginan-keinginan yang ditimbulkan oleh bahaya-bahaya kehidupannya, kemudian mencari perlindungan untuk dapat merealisir keinginan tersebut. Dan perlindungan itulah yang dinamakan dengan “Tuhan”. Akan tetapi “Tuhan” itu tak lain dari refleksi dari dirinya sendiri yang dianggapnya sebagai yang lain.

Kemudian tampillah Marx, nama lengkapnya Karl Marx, hidup antara 1818-1883 M. Ia adalah murid Hegel. Dia mengecam Feuerbach. Dia mengatakan bahwa hasil yang dicapai oleh materialisme kontemplatif tidak dapat memahami sebagai kegiatan praktis. Maka ia kurang realistis. Meskipun Feuerbach memandang pikiran sebagai cermin kenyataan material, namun materialismenya tidak praktis, artinya non politis. Makanya pendirian materialisme kuno, termasuk Feuerbach, kurang tepat untuk tindakan praktis, sedangkan persoalan yang mendesak bukan hanya menafsirkan dunia, akan tetapi bagaimana merubah dunia.

Permasalahan bagaimana merubah dunia inilah yang merupakan tindakan praktis, dan dengan sendirinya peranan materi berada di atas kesadaran manusia. Bagaimana Marx memandang manusia? Menurutnya hakikat kesadaran manusia itu berubah sejalan dengan tingkah lakunya, kemampuan individunya dalam suatu lingkungan fisik dan historis, dengan cara yang demikian inilah manusia mengubah diri mereka sendiri.

Tingkah laku manusia itu, dalam pandangan Marx, dihubungkan dengan kehidupan dan penyediaan kebutuhan material; bagaimana mencari makan, tempat berlindung, perumahan, pakaian, dan sebagainya. Dan ini merupakan faktor penentu tingkah laku manusia serta kesadarannya. Dan inilah yang menyebabkan perubahan yang dimaksud. Jika hal-hal materi merupakan faktor penentu dari tingkah laku (kesadaran) manusia; maka ia adalah wujud dalil dari teori “materialisme ekonomis”. Dan bila keterangan-keterangan di atas dipandang sebagai faktor penentu gerak sejarah dan perubahan sosial, maka hasilnya dalam paham Marx disebut dengan “materialisme historis”. Dengan demikian, Marx mereduksi manusia dengan harga naluri ekonomis, yaitu bagaimana memproduksi hasil untuk memenuhi hajat materi.

Berhubung manusia itu menurut pandangan Marx selalu bekerja, dan berbuat, sesudah itu melepaskan hasilnya dari dirinya, maka yang demikian itu berarti alienasi. Akan tetapi dengan adanya dialektika, maka manusia harus menghadakan perbuatan, mengadakan produksi, dan membuat sejarah untuk memiliki kembali apa yang dihasilkannya; untuk selanjutnya menemukan dirinya sendiri. Dengan kata lain apa yang dilakukan manusia ditentukan oleh cara-cara produksi. Maka menguasai alat-alat ini berarti menguasai hakekat manusia.

Walaupun demikian, Marx seperti juga Lenin, mengadakan pemisahan tajam antara “mechanistic materialism” dengan “dialectical materialism”; keduanya menolak yang pertama. Dan yang kedua menegaskan kemenangan kebendaan di atas jiwa, karena jiwa timbul di dalam benda dan bukan lantaran ciptaan yang ghaib. Dengan demikian, eksistensi manusia itu semata-mata ada dalam kesadaran yang ditentukan oleh modus kebendaannya.

Penjelasan tersebut diatas dinyatakan oleh Marx yang dikutip oleh Dr. Ruslan Abdulgani sebagai berikut: “It is not the consciousness of man that determines theid being, but on the contrary, it is their social being that determines their consciousness”. [bukannya kesadaran manusia yang menentukan wujudnya, akan tetapi sebaliknya, wujud sosialnya lah yang menentukan kesadaran mereka]. Kalimat ini dengan jelas dapat dipahami; bagaimana hakikat kesadaran manusia atau eksistensinya sangat tergantung dan ditentukan oleh materi atau keberadaan materinya.

Pengertian “the consciousness of man” dalam alam pikiran Marx adalah kesadaran manusia mengenai teori politik, hukum, pandangan keagamaan, filsafat dan moral, ilmu pengetahuan, sosial, seni, psikologi sosial, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan “their social being” atau “man’s social being”, ialah keadaan ekonomnya, bendanya atau harta kekayaannya di dalam masyarakat, dengan segala kompleksitas, inter-relasi dan kontradiksi-kontradiksinya.

Berhubung dalam alam pikiran Marx individu tidak mendapat tempat, dan masyarakatlah yang dipandang sakral, atau dengan kata lain manusia dalam pandangan Marx adalah manusia yang disosialkan, maka dalam menganalisa keadaan keseluruhan “man’s social being” terdapat dua unsur: pertama, adalah tenaga produksi, dan yang kedua, cara produksi. Sedangkan cara produksi merupakan pekerjaan; dan pekerjaan merupakan cerminan bahwa manusia itu makhluk sosial. Pendapat ini bertujuan agar di jaga jangan sampai “masyarakat” sekali lagi dipandang sebagai abstraksi yang berhadapan dengan individu.

Menurut Marx, dengan materialisme historis dapat dimengerti tentang siapakah manusia itu. Jawabnya tak lain adalah pekerja. Dan tenaga-tenaga produktivitas inilah yang penting untuk memenuhi dorongan yang berdasarkan keinginan kebutuhan material ekonominya, dan ini pula yang menggerakkan jalan kesadaran manusia dan sejarahnya pada saat-saat tertentu. Jika cara berproduksi ini membeku, padahal produktivitas manusia maju, maka tenaga produktivitas yang terus maju menjadi milik orang banyak dan milik umum, sehingga berwatak kemasyarakatan; sedangkan hak milik pribadi yang individu sifatnya, dipandang sebagai kapitalis. Berdasarkan hal ini akan timbul pertentangan yang hebat antara yang pertama dan yang kedua, dan pada akhirnya menimbulkan bentrokan sosial yang tak dapat dihindari oleh manusia. Dengan demikian, sejarah perkembangan manusia tidak lagi berjalan secara evolusioner melainkan meloncat secara revolusi. Gerak revolusi ini adalah gerak dialektis-massa rakyat menuju ke susunan pergaulan hidup yang selalu meningkat, baik materi maupun rohaninya.

Dengan keterangan di atas dapat dilihat, betapa manusia dalam pandangan Marx selalu disibukkan dengan revolusi perjuangan kelas, betapa sejarah merupakan arena perjuangan kelas. Dalam ungkapannya: “Seluruh sejarah merupakan sejarah perjuangan klas” – ini merupakan ungkapan yang terkenal dan menjadi “mukadimah Manifesto Komunis”. Dengan teori “perjuangan klas” inilah Marx menjadi tokoh yang mempesona orang banyak dan seolah-olah terkandung antisipasi, di mana pada jaman ketika orang-orang berada dalam suasana dan mengalami kesukaran hidup, maka pada saat itulah Marx menyodorkan janji penyelamatan sosial, yaitu “masyarakat tanpa klas”. Ini merupakan tendensi utopis dari Marx yang menjanjikan sorga di dunia, yang dinamakan “masyarakat komunis”.

Karena itulah dalam memandang manusia – dengan menggunakan dasar-dasar materialisme historisnya – ia adalah penganut “monistik” dan bukan “dualistik”, karena yang terpenting adalam “matter” dan ini yang menentukan kesadaran serta tingkah laku manusia dalam sejarahnya. Dengan “materialistic monistic”, sampailah Marx pada beberapa kesimpulan sebagai berikut: (a) kesadaran dan tingkah laku manusia ditentukan oleh keberadaan materi semata-mata, (b) perkembangan sosial ditandai oleh konflik antar kelas sesuai dengan kesadaran materi dari kelas-kelas itu, yang pada prinsipnya saling bertentangan, (c) sejarah manusia adalah deterministik dan bisa melalui jalan pintas yakni revolusi kaum buruh.




  1. Idealisme

Dari berbagai sebab timbulnya Eksistensialisme, salah satunya adalah reaksi terhadap idealisme, terutama Idealisme Hegel. Berlainan dengan materialisme, aliran (idealisme) ini mamandang yang ada hanyalah cita-cita, Roh dan Akal. Dalam Epistemologi, paham ini mengatakan bahwa ide-ide adalah faktor pokok dalam pengetahuan metafisika dan semua realitas adalah jiwa/roh, sedangkan doktrin etikanya; cita-cita adalah obyek yang harus dicapai dalam tindakan.

Dapat dikatakan bahwa idealisme menurunkan seluruh kenyataan atau realitas pada suatu bentuk yang disebut dengan jiwa atau roh. Dan dalam memandang realitas sebagai roh, pertama kali ia harus dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri manusia, yang menghasilkan kebudayaan yang masuk ke dalam dirinya. Tokoh besar aliran ini adalah Plato, Hegel, Robinson, dan Croce.

Roh dalam aliran idealisme, mempunyai endapan dan dia menjelma diri dalam kebudayaan; yang demikian itu adalah roh yang dikenal. Di antara keduanya dibedakan dalam bentuk ketiga, yakni roh yang obyektif; sebagaimana dia hidup di dalam golongan, suatu bangsa, dan lain sebagainya. Plato adalah pencetus idealisme yang pertama. Bagi dia, ide adalah merupakan realitas yang sebenarnya, sedangkan yang selain ide adalah merupakan bayangan saja dari ide tersebut.

Memang, Descartes dan Spinoza dapat juga disebut sebagai penganut paham idealisme. Meski keduanya mengakui adanya dua substansi yang bersifat kerohanian dan kebendaan, akan tetapi yang pertama lebih berkuasa. Hal ini tampak pada pernyataan Decartes “cogito ergo sum”. [“Aku berpikir, maka Aku ada”]; juga berarti “Aku sedang berpikir, atau Zatku sedang berpikir”. Sedangkan Spinoza menekankan bahwa tampilnya berbagai macam kenyataan yang berbeda itu pada hakekatnya adalah sesuatu yang bersifat rohani, yaitu Subyek Absolut.

Idealisme memandang dengan jelas bahwa manusia adalah makhluk rohani. Bagaimana pun juga di dalam diri manusia, roh itu adalah yang terpenting dan menguasai, sedangkan dalam kenyataan ia berupa kebudayaan. Di sini dapat dipahami bahwa manusia itu dapat bertambah maju dengan berpangkal dari segi ini, di mana kebudayaan adalah sesuatu yang diusahakan. Dan di situ ada hubungan antara manusia dan kebudayaan, manusia dan dunia, juga antara subyek dan obyek. Justru yang demikian itu karena keduanya adalah merupakan zatnya roh. Untuk memenuhi hasrat-hasrat yang paling tinggi dari roh kemanusiaan, idealisme menjadikan manusia bukan sebagai yang asing di dalam keseluruhan yang besar, justru ia merasakan dirinya biasa, seperti di dalam negeri asalnya sendiri.

Idealisme mencapai puncak dan perkembangannya di Jerman dan masih kuat pengaruhnya pada abad ke-19 dan ke-20. Para pemikir idealisme di Jerman yang sangat besar pengaruhnya adalah Fichte, Schelling dan Hegel. Ketiga tokoh ini pada umumnya mempunyai sistem yang berbeda dalam mensifati subyek absolut; Fichte menyebut subyek absolut sebagai “Aku Absolut”, Schelling dengan “Identitas Absolut” dan Hegel dengan “Subyek Absolut” atau “Roh Absolut”. Pengaruh Hegel adalah yang paling dominan padanya, seperti Marx, yang memakai dialektika Hegel untuk filsafatnya, Bertrand Russell, dan Sartre, meskipun semuanya pada akhirnya berseberangan dengan gurunya.

Memang Hegel adalah seorang idealisme tulen dan karangannya pun sangat bermutu; di antara yang terpenting adalah Encyclopaedia of Philosophic Sciences dan The Science of Logic. Dalam buku “Encyclopaedia” dia mengemukakan prinsip tujuan filsafat. Dia mempersoalkan bahwa yang terbatas itu tidak real. Dia juga mendiskusikan hal itu dalam karya The Science of Logic, di mana ia mengatakan: “that philosophical idealism is of the view that the finite is not genuinely real”. [bahwa filsafat idealisme memandang yang terbatas itu tidak nyata]. Hegel pun memandang bahwa manusia adalah sebagai makhluk rohani, wujud manusia terletak di dalam rohnya.

Penting untuk kita ketahui bahwa idealisme itu mempunyai berbagai ragam, hanya persoalannya apakah aliran tersebut lebih memperhatikan manusia atau idenya, manusia itu lebih aktif atau pasif, lebih berbuat atau hanya sekedar menonton saja? Idealisme Jerman cenderung melihat yang pertama, sedangkan Plato melihat yang terakhir sehingga manusia itu terancam oleh kerusakan, oleh suatu bahaya, dan Hegel pun tidak terhindar dari problem itu.

Manusia, bagi Hegel, adalah pangkal Roh yang sedang berkembang, suatu moment-moment di antara rangkaian moment-moment lain dalam kesatuan proses relasi di mana kesadaran bergerak mencapai kesempurnaannya. Konsekuensinya, manusia dalam pandangan Hegel ini bukanlah suatu otonomi yang berpribadi, melainkan bagian semata dari suatu keseluruhan proses penyempurnaan diri dari Roh untuk menjadi absolut. Sehingga manusia tidak mencerminkan kehidupan yang konkret, karena makna dan kedudukannya terserap ke dalam Kesadaran Absolut.

Dalam berbicara tentang apa yang disebut dengan “Roh”, Hegel membedakan antara yang subyektif, obyektif dan yang absolut. Yang disebut dengan Roh subyektif adalah roh yang meliputi suatu bangsa; sedangkan yang obyektif adalah meliputi hukum, moral dan kesosialan – khususnya – sejauh terwujud dalam negara. Dan Roh absolut adalah manifestasi personal dari Roh yang tampak dalam kesenian, agama dan filsafat. Roh Absolut ini tidak statis, melainkan dinamis, hal ini tampak jelas dalam keterangan Reider Thomte sebagai berukut:



The Absolute of Hegel is therefor no static identy but a “dialectic proses” or “logical”progression wich builds upon the contradictory relationship are part of its nature. Throught the dialectic proses the emmanent idea unfold itself and becomes more and more apparent.
Oleh karena itu Roh Absolut bagi Heghel bukanlah identitas yang statis akan tetapi suatu “proses dialektis” atau kemajuan “logis” yang di atasnya dibangun hubungan-hubungan saling bertentangan yang merupakan bagian dari alam ini. Melalui proses yang dialektis, ide immanent membentangkan dirinya dan menjadi lebih nampak.

Dengan proses yang dialektis, tiap dalil (thesis) menimbulkan dalil yang bertentangan dengan dirinya (antithesis), dan keduanya dihilangkan ke dalam fase ketiga yang melingkupi (synthesis). Sedangkan kata “dihilangkan” mempunyai arti dirusakkan, diangkat ke tingkat yang lebih tinggi, atau disimpan.

Begitulah misalnya “Yang-Ada” itu menghasilkan “Yang tak-Ada” dan dengan itu dihilangkan secara sinthesis ke dalam kejadian yang bukan “Yang tak-Ada”, pun bukan pula “Yang Ada”. Proses dunia terdiri dari keadaan, bahwa ide dapat menimbulkan alam yang kelihatannya tidak mempunyai ide atau akal sehat untuk disatukan ke dalam kesadaran roh. Dan roh ini berkembang menurut skema dari roh subyektif menuju roh obyektif yang menampakkan dirinya di dalam bentuk hukum dan kesusilaan seperti terwujud dalam negara. Dalam keadaan terikat dan dihilangkan dalam sinthesis maka kedua fase roh ini menimbulkan puncak dari proses dunia yang disebut sebagai roh Absolut yang memiliki bangunan dalam seni, filsafat, serta agama yang dapat diterima akal sehat baik secara intuitif maupun pemahaman. Ini berarti dengan mengetahui atau menyadari diri sendiri berarti pula menyadari dasar dunia ini.

Melalui tahap-tahap dialektik yang semakin mendalam, Hegel memadang dunia sebagai realitas yang dinamis, yang berkembang “mengasingkan diri”, “menemukan diri” dan “menyadarkan diri”. Hal yang rasionil itu nyata, demikian juga yang nyata itu rasionil; demikian thesis Hegel yang terkenal. Ini berarti bahwa luasnya rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas adalah proses pemikiran yang memikirkan dirinya sendiri, atau dengan perkataan lain seluruh realitas adalah roh yang lambat-laun menjadi sadar akan dirinya sendiri dan menemukan diri dalam manusia.

Oleh karena itu, manusia pun merupakan subyek yang dipandang harus terjadi, harus berkembang, dan harus menemukan diri. Manusia menemukan diri apabila ia menyadari dan memiliki diri sebagai kesadaran dalam dunia obyektif. Hegel memandang filsafatnya sebagai puncak sejarah idealisme. Jadi ia meletakkan segalanya pada subyektivitas. Akan tetapi bagaimana subyek yang sadar itu menemukan diri dan menjadi semakin nyata? Di dalam proses penyadaran diri itu, pekerjaan memainkan peranan yang penting dalam filsafat Hegel. Berlainan dengan Marx, yang menekankan proses penyadaran-diri-subyek ditentukan oleh modus materinya. Bagi Hegel proses kesadaran itu karena subyek yang sadar tampil dalam dunia obyek, termasuk di dalamnya materi.

Manusia mengalami dunia materi sebagai sesuatu yang berubah dan mengalir. Akan tetapi semuanya itu hanyalah obyek yang hanya dapat dilihat saat “Aku” subyek memperhatikannya. Bagi “Aku” subyek, obyek tersebut tidak tetap, mengalir, datang dan pergi, dan tidak mempertahankan dirinya.

Dalam berhadapan dengan obyek yang tidak tetap itulah, akhirnya seseorang menemukan dirinya yang tetap, yaitu “subyek” yang menyadari, entah itu di rumah, di masjid, di kamar mandi atau di kantor. Akan tetapi justru dunia obyek rasanya menjadi lain dan asing serta (nampaknya) mengancam. Untuk mempertahankan diri, maka manusia harus menghacurkannya, tetapi karena itu tidak mungkin, maka dijadikanlah dunia obyek itu sebagai obyektivitas dari keakuan subyek.

Obyektivitas itu dapat tercapai apabila subyek (manusia) mampu mengobyektifkan dirinya dalam benda-benda, dan kemudian memandang ke sana. Dan ini pun baru tercapai dalam kerja. Karena di dalam kerja manusia memberi bentuk kepada benda-benda alam, sehingga benda-benda itu kemudian menjadi manusiawi dan hilang sifat asingnya. Akan tetapi pekerjaan itu tidak sebagai pernyataan diri manusia, bahkan suatu ketika dapat menjadi proses pengasingan diri.

Dari keterangan di atas dapat dilihat bagaimana pandangan idealisme tentang manusia umumnya. Dan Hegel mengemukakan juga suatu phenomenologi langkah-langkah Roh mencapai kesadaran-diri. Dan dalam dialektika perkembangan “kesadaran-diri”, dalam phenomenologi Hegel, akhirnya disadari juga bahwa dirinya menjadi satu dengan seluruh realitas. Seluruh realitas itu menampakkan diri dalam Akal yang tak terbatas, atau dapat disebut juga Roh yang Absolut yang memikirkan dirinya sendiri dan mengaktualisasikan dirinya dalam proses historis. Oleh karena itu, tidak ada tempat realitas yang terbatas dalam pikiran Hegel.

Dalam hal menolak realitas itu, para pengikut idealisme bersatu dengan pendukung agama, sebagaimana dikatakan oleh Hegel sendiri: “… that in denying the reality of the finite, idealist philosophy is one with religion” [… dalam menolak yang terbatas, filsafat idealis bersatu dengan agama]. “For the religion no more admits finitude to be a genuine reality …” [Karena agama tidak mengakui yang terbatas itu menjadi suatu realitas yang sejati].

Bukan suatu keajaiban, jika idealisme menarik perhatian ahli-ahli pikir, dia telah memenuhi hasrat yang paling tinggi dari roh kemanusiaan. Tujuannya adalah untuk mematrikan ide-ide itu ke dalam ide yang tertinggi atau di dalam dasar yang terdalam yang mempunyai watak ketuhanan.

Meski demikian filsafat Hegel tidak bisa dipandang secara keseluruhan pada posisi theistik, sebab dalam satu segi ia menerima bentuk evolusi monistik. Hal tersebut karena adanya keyakinan; adanya kesatuan, bahwa alam semesta dapat ditafsirkan dalam istilah monistik yang merupakan pengejawantahan dari Roh yang Absolut. Manusia dapat merealisir dirinya yang sudah terserap dalam Roh Absolut, kemudian ia mendapatkan bagian dari partisipasinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa idealisme pada umumnya menganggap Roh sebagai “kenyataan yang benar”. Pertama-tama manusia itu merupakan makhluk rohani.




  1. Strukturalisme dan Dikotomi Materialisme VS Idealisme

Menurut paham idealisme ada sesuatu di belakang dan melampaui realitas empiris, yang bersifat transenden. Dalam sistem pertandaan dan komunikasi, makna dari tanda dikatakan bersifat transenden, yakni melampaui realitas pertandaan itu sendiri, misalnya bersifat Illahiyah. Idealisme, dengan demikian, menuntut adanya suatu fondasi atau titik pusat tempat bersandarnya satu sistem makna.

Paham materialisme, sebaliknya menegaskan, bahwa realitas empiris itu berdiri sendiri – dari dan untuk dirinya sendiri – yang telah melingkupi seluruh realitas, serta mengikuti hukumnya sendiri yang bersifat imanen, tanpa campur tangan sesuatu yang melampauinya, termasuk Tuhan. Materialisme berprinsip, bahwa makna dalam sistem komunikasi atau pertandaan diproduksi di dunia sini (oleh manusia) dengan sistem dan kodenya sendiri, tanpa campur tangan kode-kode transendental.

Di samping itu strukturalisme tidak tertarik dengan thesis dari materialisme bahwa kemenangan kebendaan di atas jiwa. Demikian juga strukturalisme tidak tertarik pada idealisme yang menurunkan seluruh kenyataan atas realitas dalam bentuk ide atau paham, yang satu menemukan imanen yang kedua menekankan pada transenden.

Sifat transenden ini dikatakan, melekat pada pemikiran semiotika Saussure, disebabkan pemahamannya, bahwa individu itu tak lebih dari pengguna kode-kode sosial yang telah tersedia. Berdasarkan pemahaman inilah, Saussure tidak tertarik untuk mengkaji bahasa dari sudut sejarah dan perkembangan penggunaan bahasa, melainkan lebih tertarik pada struktur yang menopang bahasa tersebut.

Strukturalisme merupakan filsafat yang muncul dan berkembang di Perancis terutama sejak tahun 1960. Strukturalisme merupakan sekolah dalam filsafat, linguistik, psikiatri, fenomenologi agama, ekonomi dan politik Strukturalisme menyelidiki pola-pola dasar yang tetap (pattern) dalam bahasan-bahasan, agama-agama, sistem-sistem ekonomi dan politik dan dalam karya-karya kesusateraan.

Manusia diselidiki sebagai unsur yang berfungsi dalam berbagai struktur bawah sadar, struktur-struktur politik, sosial dan ekonomi. Manusia dibicarakan sebagai roda kecil dalam suatu mekanisme otonom, lebih otonom daripada manusia sendiri. Fungsi manusia dalam keseluruhan struktur dibandingkan dengan fungsi kata dalam suatu teks. Manusia tidak berbicara sebagai subyek, melainkan lebih “dibicarakan”. Bahasa berbicara melalui manusia. Manusia sebagai makhluk historis dan sebagai subyek bebas yang menjadi tema pokok dalam filsafat eksistensi tidak muncul dalam strukturalisme. Manusia digambarkan sebagai “hasil” struktur-struktur tidak lagi sebagai “pencipta” struktur-struktur itu.

Strukturalisme adalah faham atau pandangan yang menyatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan memiliki suatu struktur yang sama dan tetap. Strukturalisme juga adalah sebuah pembedaan secara tajam mengenai masyarakat dan ilmu kemanusiaan dari tahun 1950 hingga 1970, khususnya terjadi di Perancis. Strukturalisme berasal dari bahasa Inggris, Structuralism; latin struere (membangun), structura berarti bentuk bangunan. Trend metodologis yang menyetapkan riset sebagai tugas menyingkapkan struktur obyek-obyek ini dikembangkan oleh para ahli humaniora. Strukturalisme berkembang pada abad 20, muncul sebagai reaksi terhadap evolusionisme positivis dengan menggunakan metode-metode riset struktural yang dihasilkan oleh matematika, fisika dan ilmu-ilmu lain.

Tujuan strukturalisme adalah mencari struktur terdalam dari realitas yang tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan secara ilmiah (obyektif, ketat dan berjarak). Ciri-ciri itu dapat dilihat strukturnya:



  1. Bahwa yang tidak beraturan hanya di permukaan, namun sesungguhnya di balik itu terdapat sebuah mekanisme generatif yang kurang lebih konstan.

  2. Mekanisme itu selain bersifat konstan, juga terpola dan terorganisasi, terdapat blok-blok unsur yang dikombinasikan dan dipakai untuk menjelaskan yang dipertemukan.

  3. Para peneliti menganggap obyektif, yaitu bisa menjaga jarak terhadap yang sebenarnya dalam penelitian mereka.

  4. Pendekatan dengan memakai sifat bahasa, yaitu mengidentifikasi unsur-unsur yang bersesuaian untuk menyampaikan pesan. Seperti bahasa yang selalu terdapat unsur-unsur mikro untuk menandainya, salah satunya adalah bunyi atau cara pengucapan.

  5. Strukturalisme dianggap melampaui humanisme, karena cenderung mengurangi, mengabaikan bahkan menegasi peran subyek.

Ciri-ciri strukturalisme adalah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek melalui penyelidikan, penyingkapan tabiat, sifat-sifat yang terkait dengan suatu hal melalui pendidikan. Ciri-ciri itu bisa dilihat dari beberapa hal; hirarki, komponen atau unsur-unsur, terdapat metode, model teoritis yang jelas dan distingsi yang jelas.

Para ahli strukturalisme menentang eksistensialisme dan fenomenologi yang mereka anggap terlalu individualistis dan kurang ilmiah. Salah satu yang terkenal adalah pandangan Maurice Meleau-Ponty yang menentang fenomenologi dan eksistensialisme tubuh manusia. Pounty menekankan bahwa hal yang fundamental dalam identitas manusia adalah bahwa kita adalah objek-objek fisik yang masing-masing memiliki kedudukan yang berbeda-beda dan unik dalam ruang dan waktu.

Seperti yang dikemukakan di atas bahwa strukturalisme merupakan salah satu bentuk anti humanisme, padahal filsafat pada saat itu hampir sebagai subyek (manusia) dan manusia mempunyai kedudukan tinggi dan humanisme merupakan puncaknya.

Namun demikian Humanisme yang penuh nada simpatik itu tidak selamanya bertahan. Humanismepun mengalami krisis bahkan gelombang anti Humanisme. Di Perancis kira-kira tahun 1960 timbul aliran strukturalisme disertai dengan anti Humanisme. Dengan lantang aliran ini mencanangkan filsafatnya sebagai gerakan anti Humanisme. Bagi mereka Humanisme sama artinya dengan alienansi, ilusi, mistifikasi, penipuan diri. Dalam pandangan mereka Humanisme adalah kata yang tidak simpatik dan berbau jelek. Bagi strukturalisme, manusia tidak menduduki tempat istimewa. Pada dasarnya ia dibentuk oleh relasi-relasi struktural, seperti setiap makhluk lain.

Sebenarnya Strukturalisme bukan instansi pertama yang menurunkan manusia dari tahtanya. Dalam hal ini kesenian sudah mendahului filsafat strukturalisme. Dalam seni rupa, pelukis Picasso dapat dikemukakan sebagai salah satu contoh terkenal. Kemudian di bidang kesusasteraan justru di Perancis, dimana kita kenal “teater absurd”.

Anti humanisme sebenarnya sudah dimulai sejak strukturalisme Prancis menyerang modernisme. Kecenderungan strukturalisme untuk menelaah bahasa dalam kerangka sistemik membuat subjek menjadi sekedar produk jalinan relasi beragam sistem penandaan bahasa. Di sini subjek tidak lagi dilihat sebagai pusat, melainkan sebagai serangkaian hubungan beragam teks yang jalin menjalin. Asumsi strukturalisme ini memojokkan subjek ke sudut realitas dan bahkan membunuh subjek sebagai penguasa tunggal medan pemaknaan. Kecenderungan anti-humanisme ini di paro abad 20 menguasai dunia filsafat dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan subjek manusia macam ilmu-ilmu sosial misalnya.

Di kalangan kaum postrukturalis, anti-humanisme atau bisa juga dibahasakan sebagai “kematian humanisme”, dipelopori terutama oleh Michel Foucault. Anti-humanisme tidak menggambarkan sebuah kebencian terhadap humanisme melainkan sebuah sistem berpikir yang menggunakan pendekatan kritis, saintifik maupun filosofis, terhadap humanisme dan mencoba menunjukkan bahwa humanisme tak mesti dilihat sebagai sesuatu yang universal. Anti-humanisme berupaya menderegulasikan beragam prinsip dan kaidah tentang manusia yang ditampilkan oleh humanisme dunia Barat. Meskipun demikian pada titik terdalamnya sebetulnya anti-humanisme pun mengandung semacam pembelaan terhadap martabat manusia, dengan caranya sendiri dan kadang tersembunyi. Maka humanisme maupun anti-humanisme sebenarnya memiliki kelemahan dan kekuatannya sendiri.

Anti-humanisme menyelidiki pelbagai gagasan tentang subjek dan individu. Salah satu klaim penting yang menjadi pusat filsafat anti-humanisme adalah bahwa otonomi subjek pada dasarnya merupakan sebuah ilusi. Dua karakter subjek yang diserang oleh anti-humanisme adalah kehendak bebas dan kesadaran. Dari perspektif humanisme individu merupakan agen yang bebas dan mampu secara rasional memutuskan apa yang perlu dilakukannya. Anti-humanisme menolak pendapat ini dan menganggapnya sebagai suatu yang naif karena ia melupakan dimensi ketidaksadaran manusia. Konsep ketidaksadaran, yang awalnya berasal dari filsafat Jerman abad ke 19, membuka peluang bagi anti-humanisme yang menolak anggapan bahwa pikiran sadar manusia adalah yang paling menentukan. Mereka meyakini bahwa ketidaksadaran punya pengaruh yang dominan dalam perilaku dan pikiran manusia dan bahwa kita harus meninggalkan asumsi yang menegaskan bahwa semua tindakan purposif berasal dari kesadaran.

Secara umum dapat dikatakan bahwa anti-humanisme adalah wacana tentang manusia sebagai kontra produksi terhadap wacana humanisme itu sendiri. Dengan kata lain, akhirnya bisa saja kaum postrukturalis ini sebagai “humanisme” juga: humanisme anti-humanisme. Memang ironis. Dan kritik Foucault terhadap modernitas dan humanuisme sejalan dengan pernyataan “kematian manusia”.

Strukturalisme, dalam sejarahnya, dianggap tidak bisa melepaskan diri dari berbagai penjara pusat, yaitu bereproduksi dari satu determinasi pusat ke determinasi pusat berikutnya, yang namanya saja yang berbeda-beda, akan tetapi, pada kenyataannya semua bermuara pada fondasi atau prinsip-prinsip akhir, seperti eidos, arche, telos, energeia, ousia (hakikat, eksistensi, substansi, subjek) transendentalitas, kesadaran, kebajikan, Tuhan, manusia, dan sebagainya. Pusat-pusat tersebut, menurut Derrida, meskipun menyandang sifat-sifat transenden atau melampaui pengalaman, akan tetapi dianggap dapat menjadi fondasi atau jaminan bagi eksistensi sebuah tanda atau sistem pertandaan. Ini yang disebut Derrida sebagai kecenderungan metafisika kehadiran (metaphysic of presence), yaitu sebuah kecenderungan melihat pusat-pusat yang bersifat metafisik tersebut sebagai hadir (present) untuk menjadi jaminan dan fondasi bagi setiap tanda.

Semiotika struktural yang dikembangkan oleh de Saussure dilihat oleh Derrida sangat terpenjara oleh determinasi sifat transendensi dan metafisika kehadiran pusat-pusat tersebut, yang mengendalikan setiap proses pertandaan, sehingga mengakibatkan penutupan (foreclosere) berbagai kemungkinan yang disediakan oleh bahasa dan tanda, yang tidak terpikirkan, tak terbayangkan dan tak terepresentasikan. Tanda-tanda di dalam semiotika struktural de Saussure, akan selalu berujung pada terminal akhir yang disebut Derrida petanda transenden (trancendental signified).

Kecenderungan lain semiotika struktural de Saussure adalah kecenderungan logosentrisme (logocentrism), yaitu kecenderungan bahasa untuk merayakan pusat-pusat metafisik dan makna-makna transenden sebagai terminal makna akhir dan kebenaran akhir (logos). Kecenderungan logosentrisme dalam menyandarkan segala proses pertandaan pada makna dan kebenaran akhir, telah menutup proses permainan dan produktivitas tanda, yang menghambat penafsiran-penafsiran baru (interpretation of interpretation) terhadap tanda, serta akan memerangkap setiap orang pada kecenderungan teologis, yang melihat struktur tanda akan selalu bermuara pada sebuah petanda akhir, yang berujung pada Tuhan.

Derrida lalu membedakan dua cara penafsiran, yang pertama penafsiran restropektif (restropective), yaitu upaya untuk merekonstruksi makna atau kebenaran awal atau orisinil; yang kedua, adalah penafsiran prospektif (prospective), yang secara eksplisit membuka pintu bagi indeterminasi makna, di dalam sebuah permainan bebas (free play). Di satu pihak, ada kecenderungan untuk melihat kebelakang sebuah teks, yaitu mencari makna-makna transenden atau metafisisnya, seperti yang terdapat pada semiotika struktural; di lain pihak, ada tawaran untuk melihat ke depan, yaitu mencoba untuk memberikan tafsir-tafsir baru sebuah teks, dengan melepaskan diri dari setiap bentuk determinasi transenden, logosentris dan tanda-tanda ketuhanan.

Strukturalisme, sebagaimana tersirat dari istilahnya, berkaitan dengan penyingkapan struktur berbagai aspek pemikiran dan tingkah laku manusia. Hakikat dari pendekatan strukturalis adalah, bahwa ia tidak menyoroti memanisme sebab/akibat dari satu fenomena melainkan tertarik pada konsep bahwa atau totalitas yang kompleks dapat dipahami sebagai satu rangkaian unsur-unsur yang saling berkaitan. Sebuah unsur hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan rangkaian secara total. Jadi, apa yang ditekankan dalam strukturalisme bukanlah hakikat dari unsur itu sendiri, melainkan relasi di antara unsur-unsur. Dengan perkataan lain, makna dari setiap unsur pada satu situasi tertentu tidak dapat diungkapkan di dalam unsur itu sendiri, melainkan melalui hubungan antara unsur tersebut dengan unsur-unsur lain. Misalnya, kata ayam berarti ayam seperti yang kita lihat pada realitas, oleh karena itu ia bukan ayan, ayah, ayat, azan, dan seterusnya.

Pemikiran strukturalisme ini secara singkat dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Strukturalisme tidak menganggap penting individu sebagai subjek penciptaan, dan melihatnya lebih sebagai penggunaan kode yang tersedia, 2) Strukturalisme memberikan perhatian yang sedikit pada masalah sebab-akibat, dan memusatkan dirinya pada kajian tentang struktur, 3) Strukturalisme tidak menganggap penting pertanyaan tentang sejarah dan perubahan, dan lebih berkonsentrasi pada kajian hubungan antara seperangkat unsur-unsur di dalam satu sistem pada satu waktu tertentu.



Course in General Linguistics banyak memberikan pengaruh pada paham strukturalisme ini. Adalah karya Saussure inilah yang merupakan fondasi bagi berkembangnya paham strukturalisme di berbagai disiplin, termasuk semiotika. Melalui konsep strukturnya ini, Saussure mengemukakan, bahwa bahasa tidak hanya harus dikaji secara diakronik (diachronic) – dalam pengertian perkembangan historis maknanya, melainkan secara sinkronik (synchronic) – dalam pengertian sebagai hubungan diantara unsur dalam satu wadah waktu yang abadi.

Dalam menjelaskan kajian sinkronik dalam bahasa ini Saussure menggunakan dua konsep yang saling berkaitan, yaitu langue dan parole. Langue (language) adalah sistem bahasa sebagai satu sistem bentuk. Ia adalah sebuah sistem tata konvensi bahasa. Dari sisi individu mana pun yang menggunakannya, sistem ini telah tersedia – pengguna bahasa tidak menciptakan konvensi ini. Walaupun yang menggunakan bahasa beraneka ragam gaya, pilihan, dan kombinasi katanya, ini tidak akan mempengaruhi sistem-sistem ini tidak berubah. Parole, di lain pihak, adalah sisi penggunaan bahasa secara nyata, yang melibatkan pemilihan dan pengkombinasian khazanah kata-kata dan kode yang tersedia, untuk mengungkapkan makna tertentu. Di sini dapat dilihat, bahwa langue itu adalah prasyarat bagi memungkinkannya parole.

Perbedaan antara langue dan parole dalam bahasa ini mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap disiplin keilmuan lain selain semiotika, sebab, ia pada hakekatnya menggambarkan hubungan antara sebuah intuisi dan peristiwa yang dimungkinkan oleh adanya institusi ini; antara sistem yang menopang, dan tingkah laku aktual yang dimungkinkannya. Melalui model bahasa ini, segala praktik sosial dapat dianggap sebagai satu sistem pertukaran tanda dan makna diantara subjek-subjek yang terlibat, yang bersandar pada kode sosial yang telah melembaga. Istilah kode ini sendiri dapat dijelaskan sebagai seperangkat aturan atau konvensi yang disepakati bersama dalam pengkombinasian tanda-tanda untuk memungkinkan disampaikannya pesan.

Claude Levi-Strauss, misalnya, melihat tingkah laku kultural, upacara ritus, hubungan kekerabatan, cara memasak dan menghidangkan masakan, tidak sebagai satu fenomena sosial yang berdiri sendiri dan bersifat intrinsik melainkan dapat dipandang sebagai satu sistem pertandaan dan pemaknaan yang bersandar pada kode sosial tertentu. Hubungan kekerabatan, misalnya, diatur oleh seperangkat kode sosial, yang berkaitan misalnya dengan kode siapa yang boleh atau tidak boleh mengawini siapa di dalam satu masyarakat. Perkawinan menandai posisi seseorang dalam satu masyarakat, dengan demikian, ia juga merupakan tanda.

Roland Barthes melihat fenomena kultural seperti sisten fashion, furniture, periklanan, media massa dan arsitektur sebagai satu sistem tanda, yang dapat menandai posisi sosial tertentu bagi orang yang menggunakannya. Pakaian, misalnya, lewat bentuk, warna, bahan, dan motifnya dapat mengkomunikasikan kepada masyarakat tentang makna-makna status, kelas sosial, ideologi atau kepercayaan pemakainya.


Yüklə 0,53 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©genderi.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

    Ana səhifə